Masnuna (1932-…): Benteng Terakhir Sastra Lisan Lampung

BOLEH dibilang, sepanjang hidupnya digunakan mengabdikan diri pada dadi dan seni tradisi Lampung lainnya. Bagi Masnuna, dadi sudah menjadi bagian integral dari hidupnya.

Dialah yang melestarikan sekaligus menjadi penjaga seni dadi –salah satu bentuk sastra lisan Lampung. Ia memang dikenal luas karena kemampuannya melantunkan dadi. Walaupun begitu, ia tidak pernah mau menerima bayaran dari jasanya men-dadi.

Masnuna tetap konsisten mempertahankan keberadaan dadi dan tradisi lisan Lampung lainnya meski seolah tidak mendapat perhatian banyak pihak. Terbukti, hanya dia kini yang mampu men-dadi dengan segenap totalitas.

Generasi muda? “Mereka jelas lebih tertarik dengan orkes, musik pop, atau pesta-pesta yang jauh melenceng dari tradisi,” kata Masnuna.

Akibatnya, kini hampir tidak ada generasi muda yang tertarik mempelajari dadi. Alasannya, sudah ketinggalan zaman dan sulit memahami bahasa dadi. Anaknya pun tidak begitu menguasai. Wajar saja Masnuna prihatin.

Masnuna lahir di Kampung Segalamider, Pubian, Lampung Tengah, tahun 1932. Bakat seninya mengalir dari ayahnya Dalom Muda Sebuway dan ibunya, Siti Aminah yang menganggap seni sastra (tradisi) sebagai sesuatu yang sakral dan karena itu harus dipelajari.

Hidup dalam suasana penjajahan Belanda dan Jepang ikut menempa Masnuna menjadi pribadi yang kukuh dan pantang menyerah. Kegetiran hidup ini banyak mewarnai karya-karyanya.

Karena menganggap seni itu sakral, Masnuna rela berpuasa berhari-hari mengolah vokal agar bisa melengking nyaring dan menyelami dalam air sambil membaca memmang (mantra/doa). “Sekali menyelam dan menahan napas dalam air saya harus melafalkan tujuh mantra,” kata Masnuna.

Prosesi menyelam sambil membaca mantra ini terus-menerus dilakukan rutin sejak kecil untuk mendapatkan nafas yang panjang. Sebab, untuk bisa nyuara (istilah ini dipakai Masnuna untuk menyebut kegiatan melantunkan berbagai sastra lisan seperti dadi, kias, dll), terutama dadi, dibutuhkan suara panjang. Apalagi untuk melantunkan dadi dibutuhkan teknik vokal yang mumpuni.

Maka, jangan heran pendengar dadi yang meluncur dari bibir Masnuna terdengar merdu. Meski Masnuna mengaku biasa-biasa saja saat mendendangkan dadi, orang yang mendengar akan terkesima.

Sejak remaja, sekolah sampai kelas IV sekolah rakyat, hingga menjadi ibu rumah tangga, Masnuna larut dalam seni. Selain dadi, ia mahir juga melantunkan berbagai seni tradisi lisan Lampung Pubian lain. Wajar saja jika peneliti sastra dari Amerika, Tim Smith, saat meneliti sastra lisan Pubian menjadikan Masnuna sebagai salah satu narasumbernya.

Masnuna menikah dengan Abdul Hasan, pemuda asal Tanjungkemala, Pubian, Lampung Tengah. Penikahannya ini tidak menyurutkan langkahnya untuk terus berkesenian. Dia menjadi guru dadi, pisaan, kias, babagh sughat, diker, dan mengaji. Kini, bakat keseniannya ia wariskan kepada putra satu-satunya, Abdul Somad St. Turunan yang menjadi penghulu di Tanjungkemala.

Selain telah tampil dalam berbagai acara adat di Lampung Tengah, Masnuna menjadi seniman andalan dalam acara Ragom Budaya Lampung (RBL), sebuah acara yang menampilkan berbagai kesenian tradisi Lampung di RRI Bandar Lampung setiap Sabtu malam. Dia juga pernah tampil membacakan dadi dalam Kongres III Cerpen Indonesia di Bandar Lampung (2002), Lampung Art Festival II (2003), Pertemuan Dua Arus (2004), dan HUT ke-30 Harian Lampung Post (2004).

Masnuna merasa kian sepuh. Ia makin khawatirkan tentang nasib kesenian tradisi. Sekarang saja, boleh dibilang hanya dia yang bisa melantunkan dadi. “Anak-anak muda makin jauh dari tradisi mereka sendiri,” ujarnya.

‘Dadi’

Dadi, yang dikenal dalam masyarakat adat Lampung marga Pubian, menuntuk teknik pelafalan yang cukup rumit. Untuk melantunkannya membutuhkan pernapasan yang panjang dan lengkingan suara yang tinggi. Sebab, dadi dilantunkan dengan nada-nada tinggi, melengking tinggi, naik-turun.

Dalam bahasa Lampung, dadi mengandung arti sindiran dan makna yang sangat mendalam. Di samping menggunakan bahasa yang halus, ia bisa mengandung dua atau lebih makna. Dadi biasanya dilantunkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang gadis, sebelum atau sesudah acara gawi, bahkan disiapkan dalam pertemuan khusus untuk mengadakan dadi.

Dadi biasa dilantunkan beberapa pasang gadis dan bujang. Di belakang gadis dan bujang ada guru yang mengajarkan jawaban-jawaban sehingga mereka menirukan lagi kosakata yang diajarkan di belakang tadi. Di antara pengajar dan barisan bujang-gadis tadi dibatasi dengan lelit/kebung (tirai pembatas) sehingga yang mengajarkan tidak tampak.

Jika dua kelompok sedang beradu dadi, salah satunya pindah pematang (makna bait yang baru dilantunkan tidak sesuai dengan bait sebelumnya), maka ia dianggap kalah.

Menurut Masnuna, ada enam macam irama dadi: lagu dibi (irama senja), lagu tengah bingi (irama tengah malam), lagu kuwasan (irama menjelang pagi), lagu punia nanoh (irama naik-turun), lagu salah undogh (irama awal ditinggikan, kemudian irama berikutnya rendah), dan lagu ngelumpat (irama tidak beraturan).
Dengarlah Masnuna nyuara:

Batang tebu di tengah ghang
Di ilik-ilik sapi
Salai penyingok idang
Manisan ni mak lagi

Masnuna beribarat tebu di tengah jalan yang diinjak-injak sapi dan tempat lebah yang tak memiliki madu lagi. Secara tersirat dia ingin mengatakan tentang anggapan orang tentang dirinya yang tidak lagi berguna.
Kehidupan yang memprihatinkan, boleh jadi membuat orang memandang dirinya (bisa juga tradisi seni budaya Lampung!) tidak lagi bermanfaat. Lalu,

Lamon haga dikenang
Tantu mak mema dai
Sekigha ya dipandang
Haghapan gila api

Hampir tidak ada sesuatu yang patut menjadi kenangan. Jika memang perlu dilihat, apa yang dapat diharapkan? Ini cerita tentang keterpinggiran, keterbelakangan, dan keterpurukan orang-orang Lampung yang diwakili suara dadi Masnuna. Orang-orang yang kemudian menjadi asing dengan diri sendiri, adat sendiri, kebudayaan sendiri. Orang-orang yang seperti putus harapan, merasa tersingkirkan, dan makin tidak berguna.

Bunga layu dipampang
Tiyak di tengah kali
Ya lapah ngambang kambang
Miba nutuk way mili

Dan, bunga layu dicabang lalu jatuh di tengah sungai. Berjalan terombang-ambing menuruti arus air sungai. Masnuna menggambarkan dengan tepat bagaimana telah terjadi gegar budaya dalam komunitas tradisi orang Lampung. Malu menjadi orang Lampung, tetapi sesungguhnya nilai-nilai baru yang dianggap ideal sebagai pengganti jauh dari teraih.

Jadilah, orang yang serbabingung. Tercerabut dari akar dan lalu kehilangan jati diri. Dalam kondisi ini, terjadilah anomitas, sebuah kondisi masyarakat yang kehilangan nilai. Adat ®MDRV¯mak tipakai®MDNM¯, tetapi menjadi manusia modern juga tidak. Menghadapi kondisi ini, Masnuna hanya berujar lirih:

Sejarah sa dibuang
Kak ghadu kualami
Ibaghat ngubak bawang
Wat bawak mak buisi

Masa lalu telah berlalu ibarat mengupas bawang, ada kulit tapi tiada berisi. Barangkali, Masnuna hendak berkata, berhati-hatilah dalam menjalani kehidupan kepada yang muda-muda. Jangan lupa dengan perjalanan kehidupan (seni-budaya?) agar tidak menjadi sia-sia. Semua itu harus benar-benar dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. n

BIODATA


Nama: MasnunaTempat, tanggal lahir: Kampung Segalamider, Pubian,
Kabupaten Lampung Tengah, tahun 1932.
Suami: Abdul Hasan
Putra: Abdul Somad St. Turunan
Ayah kandung: Dalom Muda Sebuway
Ibu kandung: Siti Aminah

Penampilan:
1. Seniman andalan dalam acara Ragom Budaya Lampung (RBL), sebuah acara yang menampilkan berbagai kesenian tradisi Lampung di RRI Bandar Lampung setiap Sabtu malam.
2. Tampil membacakan dadi dalam Kongres III Cerpen Indonesia di Bandar Lampung (2002), Lampung Art Festival II (2003), Pertemuan Dua Arus (2004), dan HUT ke-30 Harian Lampung Post (2004).



Sumber: 
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 95-99.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart