Terima kasih semoga Biografi Biodata dan ProfilCak nun, NAh pasti sebagian dari anda sudah banyak yang mngenal dengan tokoh cak nun seorang budayawan dari jombang ini kerap melakukan pidato dengan gaya yang bebeda seakan mempunyai daya tarik tersendiri nahhh bagi agan yang ngefans atau suka dengan cak nun Muhammad Ainun Nadjib Nah untuk mengenalnya berikut sedikit biografi Muhammad Ainun Nadjib untuk anda sekalian untuk lebih mengenalnya..?
 Emha Ainun Najib | 
Biografi Emha Ainun Najib | 
Kisah Perjalanan Emha Ainun Najib | 
Sejarah Emha Ainun Najib
 Muhammad Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib atau yang biasa di kenal 
Emha Ainun Nadjib atau 
Cak Nun   lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat   dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani.   Dia mengenyam  pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di   Yogyakarta  (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi   kemudian dikeluarkan  karena melakukan demo melawan pemerintah pada   pertengahan tahun ketiga  studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah   I, Yogyakarta sampai  tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi   UGM, tapi tidak tamat. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1   Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).
 Lima  tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara  1970-1975  ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu  Landu Paranggi,  seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat  mempengaruhi perjalanan  Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti  lokakarya teater di Filipina  (1980), International Writing Program di  Universitas Iowa, Amerika  Serikat (1984), Festival Penyair  Internasional di Rotterdam, Belanda  (1984) dan Festival Horizonte III  di Berlin Barat, Jerman (1985). Dalam  kesehariannya, Emha terjun  langsung di masyarakat dan melakukan  aktivitas-aktivitas yang merangkum  dan memadukan dinamika kesenian,  agama, pendidikan politik, sinergi  ekonomi guna menumbuhkan  potensialitas rakyat. Di samping aktivitas  rutin bulanan dengan  komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga  berkeliling ke berbagai  wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per  bulan bersama Musik Kiai  Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang  umumnya dilakukan di area  luar gedung. Selain itu ia juga  menyelenggarakan acara Kenduri Cinta  sejak tahun 1990-an yang  dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri  Cinta adalah forum  silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas  sangat terbuka,  nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian  lintas gender.  Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan  berbagai dekonstruksi  pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi,  metoda perhubungan  kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan  solusi-solusi  masalah masyarakat.
 Bersama Grup Musik Kiai  Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan  berkeliling ke berbagai  wilayah nusantara, dengan acara massal yang  umumnya dilakukan di area  luar gedung. Di samping itu, secara rutin  (bulanan) bersama komunitas  Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan  pertemuan sosial melakukan  berbagai dekonstruksi pemahaman atas  nilai-nilai, pola-pola komunikasi,  metoda perhubungan kultural,  pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan  solusi-solusi masalah  masyarakat.
 Dalam berbagai forum komunitas  Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan  mengenai pluralisme sering  muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak  dipanggil kiai itu meluruskan  pemahaman mengenai konsep yang ia sebut  sebagai manajemen keberagaman  itu.  Dia selalu berusaha meluruskan  berbagai salah paham mengenai suatu  hal, baik kesalahan makna etimologi  maupun makna kontekstual. Salah  satunya mengenai dakwah, dunia yang ia  anggap sudah terpolusi.  Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa  yang pantas dan tidak untuk  berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan  kata-kata, melainkan dengan  perilaku. Orang yang berbuatrumah  kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta.  Beberapa kota di Jawa pernah  mereka datangi, untuk satu dua kali  pertunjukan. Selain manggung, ia  juga menjasjid, dan berbagai komunitas  warga tak disebut sebagai  kegiatan dakwah. “Itu hanya be baik sudah  berdakwah,” katanya.
 Karena  itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama Istrinya Novia   Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi dan   kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, maya itu sejak akhir   1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti — yang berpangkalan di ntuk   pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya   secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Karirnya diawali  sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini,  Yogyakarta (1970).  Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa  Kini, Yogyakarta  (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti  (Yogyakarta), dan  grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi  dan kolumnis di  beberapa media.
 Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya  puisi dan teater. Di  antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina  (1980), International  Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984),  Festival Penyair  Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival  Horizonte III  di Berlin Barat, Jerman (1985).
Cak Nun memacu  kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD,  networker kesenian  melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan  mengasilkan beberapa  reportoar serta pementasan drama. Di antaranya:  Geger Wong Ngoyak Macan  (1989, tentang pemerintahan ‘Raja’ Soeharto);  Patung Kekasih (1989,  tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980,  tentang eksploitasi  rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun  (1982, tentang  gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
 Selain itu, bersama Teater  Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir  (1990, di lapangan Gontor  dengan seluruh santri menjadi pemain, serta  35.000 penonton di alun-alun  madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan  secara massal di Yogya,  Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan  Baginda Faruq (1993).
 Juga  mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang  digambarkan  melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku  diterbitkan  oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak  Kanjeng, Duta  Dari Masa Depan. Dia juga termasuk kreatif dalam menulis  puisi.  Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi  (1976);  Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978);  Nyanyian  Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran  (1989);  Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990);  Cahaya Maha  Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993);  Abacadabra (1994);  dan Syair Amaul Husna (1994)
 Selain itu, juga telah menerbitkan  30-an buku esai, di antaranya: Dari  Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang  Membebaskan (1985); Secangkir Kopi  Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur  (1993); Markesot Bertutur Lagi  (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan  Punakawan (1994); Surat Kepada  Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian  Penting dari Desa Saya (1994);  Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat  (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak  Kiai (1995); Bola- Bola Kultural  (1996); Budaya Tanding (1995); Titik  Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun  Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi  Saridin (1997); Kita Pilih  Barokah atau Azab Allah (1997);
Iblis Nusantara Dajjal Dunia  (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998);  Mati Ketawa Cara Refotnasi  (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah  Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah  Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah  (1998); Ikrar Husnul Khatimah  (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi  (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu  (2000); Menelusuri Titik Keimanan  (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001);  Segitiga Cinta (2001); “Kitab  Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan  Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta”  (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun”  (2003); Folklore Madura  (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan  Indonesia (2006, kumpulan  wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan  Sunyi EMHA (Ian L. Betts,  Juni 2006).
 Cak Nun bersama Grup Musik  Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba  putih, ber-shalawat (bernyanyi)  dengan gaya gospel yang kuat dengan  iringan musik gamelan kontemporer  di hadapan jemaah yang berkumpul di  sekitar panggung Masjid Cut Meutia.  Setelah shalat tarawih terdiam,  lalu sayup-sayup terdengar intro lagu  Malam Kudus. Kemudian terdengar  syair, “Sholatullah salamullah/ ’Ala  thoha Rasulillah/ Sholatullah  salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala  yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin  Habibillah…”

 Tepuk  tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu  selesai  dilantunkan. “Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam.  Saya bukan  bernyanyi, saya ber-shalawat,” ujarnya menjawab pertanyaan  yang ada di  benak jemaah masjid. Tampaknya Cak Nun berupaya merombak  cara pikir  masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada  Pagelaran Al Quran  dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia,  Jakarta, Sabtu  (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang  kontroversial. Dalam  berbagai komunitas yang dibentuknya, oase  pemikiran muncul, menyegarkan  hati dan pikiran.
 Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi  Cak Nun bersama  komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya.  Menurut dia, sejak  zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah  dengan pluralisme.   “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural  dan bisa hidup  rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,”  ujar Emha.  Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme.  Menurutnya,  pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda  dengan  Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak  bisa  disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu  semua,”  tutur budayawan intelektual itu.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
http://www.eramuslim.net/?buka=show_biografi&id=24
http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/e/emha_ainun_nadjib/
http://biografi.rumus.web.id/2010/10/biografi-emha-ainun-nadjib.html