
SEKITAR awal 2008, beberapa rekanan petani berkeluh-kesah kepada Sutopo Ghani Nugroho lantaran langkanya pupuk nonsubsidi di pasaran. Mereka mengira dengan gelar guru besarnya, Topo, demikian biasa dipanggil, bisa menjawab kegalauan petani.
Nyatanya petani sawit dan jagung yang bergelar profesor itu pun pusing tujuh keliling mencari pupuk untuk kebutuhan lahannya sendiri yang mencapai 300-an hektare.
Pada saat itu pupuk subsidi di Lampung memang sedang langka-langkanya. Sementara harga pupuk nonsubsidi melambung tinggi akibat naiknya harga BBM.
Kondisi seperti ini tentu bikin gerah sebagian besar petani, tetapi sebagai guru besar di Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Topo tentu tak habis akal mencari siasat. Ia pun mencoba menggunakan pupuk organik yang memiliki harga lebih murah dari pupuk kimia. Agar biaya yang keluar lebih rendah, Topo meracik pupuk organiknya sendiri dengan memanfaatkan kotoran sapi dari industri penggemukan sapi.
Di sisi lain, sebagai pakar biologi tanah, hati kecil Topo juga memendam kegelisahan. Pasalnya, ketergantungan petani pada pupuk berbahan kimia saat ini sangat tinggi. Sementara pupuk kimia jika digunakan terus-menerus justru menurunkan tingkat kesuburan tanah. Secara makro, subsidi pupuk nonorganik tentu akan menjadi beban anggaran bagi negara.
“Jika kita terus-menerus seperti ini, ketersediaan pupuk akan menjadi persoalan bagi para petani. Baik dari segi ketersediaan maupun dalam hal harga eceran tertinggi (HET). Kondisi tahun 2008 silam benar-benar bikin gerah para petani. Banyak petani gagal produksi akibat tanaman mereka tak lagi bisa diberi pupuk lantaran sudah lewat masa pemupukan,” ujarnya.
Dilema ini tentu menjadi pemikiran yang mendalam bagi Topo. Dia yang seorang profesor sekaligus petani merasa tertantang dengan persoalan ini. “Di Indonesia banyak pakar dan guru besar bidang pertanian yang hebat, tapi seolah-olah tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi persoalan pupuk ini. Padahal petani sangat bergantung pada pupuk,” ujarnya kemarin (4-12).
Kegelisahan Topo lambat laun mulai mendapatkan secercah jalan terang. Dia mulai berpikir bagaimana caranya mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia yang dapat merusak kesehatan tanah dalam jangka waktu panjang. Di sisi lain, dia juga berhasrat membuat pupuk organik dengan biaya rendah sehingga dapat dijual ke petani dengan harga murah. “Dari sisi kebijakan subsidi. Jika kita bisa mengurangi setengah dari kebutuhan total pupuk bersubsidi dampaknya luar biasa sekali,” ujarnya.
Bak gayung bersambut, pemikiran Topo seolah berjalan seiring dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud dibukalah hibah strategis unggulan nasional untuk ketahanan pangan pada sektor pertanian. Ini merupakan hibah penelitian tertinggi dalam level nasional. Pemerintah mengulirkan bantuan dana penelitian mencapai Rp1 miliar untuk tiga tahun penelitian.
Topo pun membuat proposal tentang produksi pupuk organik berkualitas bagus dengan harga murah. Setelah bersaing dengan ribuan proposal secara nasional, idenya yang terpilih. Pupuk ini bukan pupuk organik biasa karena memiliki nilai tambah unsur hara dengan memanfaatkan mikroba pengikat nitrogen (N) dan pelarut pospat (P) dan tentunya dengan bahan baku yang tersedia melimpah di level lokal sehingga biaya produksi bisa jauh lebih murah. Pupuk ini berlabel Organonitropos.
Manfaatkan Limbah Kotoran Sapi
UNTUK membuat pupuk Organonitropos ternyata gampang. Sebab, bahan bakunya mudah diperoleh dan tersedia melimpah ruah. Pasalnya, pupuk organik ini terbuat dengan memanfaatkan limbah kotoran sapi yang cukup banyak di Lampung.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Topo pada enam perusahaan besar di Lampung, volume limbah kotoran sapi per hari bisa mencapai 1.500 ton.
“Kami pun cukup beruntung karena memiliki gunung fosfat di daerah Lampung Tengah. Biasanya gunung fosfat adanya di Indonesia Timur, tapi Lampung ternyata punya. Bahkan dengan kandungan fosfat cukup tinggi hingga 24%. Sementara di Jawa Barat saja hanya di kisaran 18%,” ujarnya.
Penelitian pun dimulai. Topo tentu tidak bisa bekerja sendirian. Empat rekan sejawat turut andil dalam proyek penelitian ini. Mereka adalah Dimyati, Jamalam Lumban Raja, Hanung Lasmono, dan Sugeng Triono.
Tahun pertama ditujukan untuk menemukan formulasi yang tepat dalam meracik kotoran sapi, batuan fosfat serta mikroorganisme yang digunakan agar menjadi pupuk organik dengan kadar yang diinginkan. Sementara tahun kedua fokus pada uji coba lab dan lapangan. Serta tahun ketiga akan dilakukan skala pengujian secara luas.
“Jika tahap ketiga ini berhasil kami lewati, barulah kami bisa mengantongi izin untuk memproduksi secara massal. Dengan demikian, teknologi ciptaan kami ini dapat segera dipatenkan. Kami juga tengah menghitung aspek ekonomi produksi pupuk ini agar tetap menguntungkan namun dengan harga yang terjangkau bagi petani. Kami targetkan pupuk ini bisa dijual di bawah harga urea bersubsidi. Caranya dengan memangkas jalur distribusi dengan bekerja sama dengan kelompok tani,” ujarnya.
Menjawab kegalauan para petani soal pupuk-memupuk, menurutnya, merupakan tanggung jawab moral akademik yang ia miliki. Di sisi lain, dirinya adalah petani. Bertani baginya bukan sekadar bisnis, melainkan juga hobi. Maklumlah ayahandanya dulu juga sorang guru yang juga getol bertani.
Topo pun juga menggeluti pertanian hingga skala bisnis. Pahit getir sudah ia rasakan, mulai dari kebun buah yang diterpa kemarau panjang 2007. Dirinya juga pernah gagal pada bisnis penggemukan sapi pada 1998.
Cerita sebagai petani, menurutnya, baru berbuah manis tatkala dirinya beralih pada usaha perkebunan sawit dan jagung. Sebagai petani dia merasa cukup beruntung sempat menikmati harga sawit dan jagung pada level tertinggi beberapa tahun terakhir.
Meskipun kini bisnis kelapa sawit kembang kempis, Topo masih bisa tersenyum. Paling tidak saat ini ia bisa mempersembahkan pupuk organik ciptaannya untuk menjawab kegalauan para petani.
Sempat Jatuh Bangun sebagai Petani
PROFESOR Sutopo Ghani Nugroho memiliki cerita tersendiri sebagai petani. Sejak kepulangannya usai menyelesaikan program doktor di Nagoya University, Jepang, pada 1991 silam, dia getol membeli tanah berkat uang beasiswa yang ia kumpulkan selama kuliah.
“Pertama kali membeli tanah sekitar tahun 1995. Saat itu saya punya mimpi memiliki kebun buah seperti Taman Buah Mekarsari di Bogor. Saya menanam bermacam-macam buah. Sayangnya hantaman kemarau panjang 1997 membuat mimpi saya berantakan,” ujarnya.
Namun, upaya Topo tidak patah arang. Setelah gagal dengan bisnis kebun buah, Topo mencoba usaha baru penggemukan sapi. Ketika itu ada program CSR dari perusahaan besar dengan memberikan kuota kepada petani plasma. Lantaran kuota tak terpenuhi, Topo menerima tawaran untuk memanfaatkan jatah tersebut.
“Saya jalani bisnis ini tidak lama hanya sampai tiga kali siklus penggemukan sapi. Satu kali siklus lamanya tiga bulan. Saya berhenti lantaran sapi yang saya kelola tidak mengalami pertambahan bobot seperti yang sudah ditargetkan perusahaan inti. Padahal saya secara rutin berlangganan kosentrat dari perusahaan tersebut,” katanya.
Terjun langsung pada bidang pertanian, menurutnya, merupakan warisan sang ayah yang ketika itu merupakan seorang tenaga pendidik tapi juga getol pada bisnis pertanian dan perkebunan. Di sisi lain, sebagai akademisi dirinya merasa patut menguji teori yang ia kuasai di perguruan tinggi dan terjun langsung ke lapangan. “Saya benar-benar merasakan sulitnya jadi petani,” ujarnya.
Terpaan krisis moneter yang melanda Indonesia kala itu juga memukul usahanya. Bahkan, dia sempat terbebani utang dengan bunga bank mencapai 60%. Tapi kepahitan ini tidak berlangsung lama ketika PTPN 7 menawarkan kerja sama pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Sebagai petani Topo memperoleh bibit gratis.
Namun, cerita pahit Topo tidak terus berlanjut. Usahanya baru berbuah manis tatkala dirinya beralih pada usaha perkebunan sawit dan jagung. Sebagai petani dia merasa cukup beruntung sempat menikmati harga sawit dan jagung pada level tertinggi beberapa tahun terakhir.
Meskipun kini bisnis kelapa sawit tengah kembang kempis, Topo masih bisa tersenyum. Paling tidak saat ini ia bisa mempersembahkan pupuk organik ciptaannya untuk menjawab kegalauan para petani. (ABDUL GAFUR/S-1)
BIODATA
Nama : Prof. Dr. Ir. Sutopo G. Nugroho, M.Sc.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan Fungsional : Guru besar
Tempat/Tanggal Lahir : Solo, 29 Oktober 1950
Alamat Rumah : Jl. Tupai No. 115, Kedaton, Bandar Lampung 35141
Alamat Kantor : Jurusan Ilmu Tanah Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojoneoro No. 1 Bandar Lampung
Riwayat Pendidikan
S-1 IPB Bogor untuk Ilmu Tanah (1976) dengan gelar Insinyur Pertanian (Ir.)
S-2 Ghent University, Belgia, untuk Ilmu Tanah (1980) dengan gelar Master of Science (M.Sc.)
S-3 Nagoya University, Jepang, untuk Ilmu Tanah (1991) dengan gelar Doctor of Philoshopy (Ph.D.)
Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Rabu, 5 Desember 2012
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky