
TANGGAL 16 Maret 1969, atau bertepatan dengan hari Minggu Pon menurut perhitungan Jawa, lahirlah seorang bayi laki-laki di desa Sawit, sebuah desa kecil di Kecamatan Banyuurip Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bayi laki-laki yang lahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara itu kemudian diberi nama Oyos Saroso H.N.. Penambahan huruf H.N. di belakang namanya bukanlah tanpa arti. Huruf-huruf tersebut merupakan gabungan huruf dari nama kedua orang tuanya, yaitu Hardjo Karsono dan Nuk Sastro Dihardjo.
Lahir di tengah-tengah keluarga yang menjadi abdi negara, Oyos pun diharapkan dapat meneruskan langkah mereka. Ayahnya M.H.K. Hardjo Karsono saat itu adalah seorang lurah di Desa Sawit. Kakak tertuanya, Dachlan H.N., berprofesi pula sebagai lurah di desa kelahirannya. Sudjoko, kakak keduanya, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Sri Suparti H.N., saudara perempuan satu-satunya bekerja sebagai guru negeri di Jawa Tengah. Kakak keempatnya bekerja sebagai petani di desanya. Oleh karena latar belakang keluarga seperti itulah, setelah lulus dari SMPN 2 Brebes, kakak perempuannya memaksa Oyos untuk meneruskan sekolah ke SPG dengan harapan setelah lulus nanti Oyos akan menjadi guru seperti kakak perempuannya itu.
Namun, SPG bukanlah sekolah yang di damba-dambakan oleh Oyos sesungguhnya, karena dia memang tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Saat itu, yang ada di angan remajanya adalah meneruskan sekolah ke SPMA dan berharap dapat menjadi insinyur pertanian. Angannya itu timbul karena seringkali menyaksikan beberapa orang sepupunya yang lulus dari IPB dan sukses sebagai insinyur pertanian. Hal itulah yang menjadikan Oyos sering memimpikan untuk menjadi insinyur pula.
Di luar harapannya untuk menjadi insinyur pertanian, Oyos tidak ingin menentang dan membantah keinginan keluarganya. Oyos akhirnya mengikuti kemauan orang tuanya untuk masuk SPG. Akan tetapi, Oyos tetap tidak dapat membendung keinginannya untuk meneruskan sekolah ke SPMA atau paling tidak ke sekolah umum. Akhirnya Oyos melamar pula ke SMAN 1 Brebes, dengan harapan setelah lulus dari sekolah umum, dia akan melanjutkan ke IPB. Di sekolah ini Oyos dinyatakan lulus dan diterima sebagai siswa SMAN 1 Brebes. Namun nasib berkata lain, Oyos juga diterima di SPG, dan akhirnya tetap mengikuti keinginan kakak perempuan dan orang tuanya. Sejak saat itu, Oyos resmi menjadi siswa SPG.
Menuruti kehendak keluarga bukan berarti pengabdian sepenuhnya bagi Oyos. Meski tidak secara ekstrem, diam-diam Oyos bersikap memberontak, dia mulai menunjukkan rasa tidak sukanya pada dunia keguruan. Ketidaksukaannya itu dilampiaskannya dengan cara menekuni dunia baru, yaitu membaca karya-karya sastra. Untunglah, SPG tempatnya bersekolah memiliki perpustakaan yang besar dan memiliki koleksi buku yang cukup banyak. Hampir setiap hari Oyos menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan, dan hampir semua buku sastra yang ada di sana dibacanya sampai tuntas. Melalui kebiasaan barunya ini Oyos mendapatkan kesenangan tersendiri. Diam-diam dia mulai belajar menulis sastra. Salah satu genre sastra yang ditekuninya dengan serius adalah puisi.
Ketika itu usianya masih 16 tahun dan duduk di kelas 2 SPG. Walau tidak ingat betul kapan dia mulai menuangkan keterpukauannya akan sebuah peristiwa atau pengalaman menjadi sebuah tulisan, tetapi secara pasti dia mengingat ketika pada suatu siang yang panas sekitar tahun 1985, inspirasinya menulis puisi muncul saat membaca majalah Sahabat Pena terbitan Kantor Pos dan Giro Bandung. Majalah yang memuat rubrik cerpen dan puisi tersebut diasuh oleh Korrie Layun Rampan dan Alinafiah Lubis. Selain rubrik karya puisi dan cerpen, majalah itu juga memuat ulasan puisi yang ditulis oleh Korrie Layun Rampan. Akhirnya Oyos memutuskan untuk berlangganan majalah itu dengan menu bacaan yang tak pernah dilewatkannya yaitu, ulasan puisi Korrie Layun Rampan yang sederhana dan tentu saja mudah dipahami. Inilah yang menjadi awal ketertarikannya pada puisi dan memacu Oyos untuk mulai belajar menulis puisi. Kepercayaan diri Oyos semakin besar dengan dimuatnya puisi pertamanya – Oyos Kere Namaku! (1986) – di Sahabat Pena dan sejak itu dia semakin tekun menulis puisi dan mengirimkannya ke berbagai media massa. Semenjak itu pula nama Oyos pun semakin dikenal dalam dunia sastra nusantara.
“Oyos Kere Namaku!” adalah puisi pertama Oyos yang dikirimkannya ke media cetak dan langsung dimuat. Menurut Oyos puisi itu sangat sederhana dan naif, menceritakan tentang kehidupan Oyos sendiri secara lugas, tentang penderitaan seorang lelaki yang berbentuk curahan hati Oyos. Oleh karena pengasuh rubrik itu adalah Korrie Layun Rampan yang sudah memiliki nama besar saat itu, tentulah Oyos merasakan kebanggaan yang sangat besar, apalagi ketika itu Oyos telah membaca semua karya Korrie Layun Rampan.
Sejak puisinya dimuat di majalah Sahabat Pena itulah, Oyos semakin rajin mempelajari sastra. Oyos merasa beruntung dan terbantu karena sekolahnya, SPG, memiliki perpustakaan dengan koleksi buku lengkap, termasuk buku-buku sastra, mulai dari edisi istimewa hingga stensilan, yang asli maupun terjemahan sudah dibacanya tuntas. Karya-karya stensilan yang cukup menarik perhatian Oyos di antaranya beberapa antologi karya penyair Tegal.
Selepas dari SPG, Oyos ditawari kakaknya untuk menjadi guru di sebuah SD, tetapi karena pada dasarnya Oyos tidak pernah bercita-cita menjadi guru, dia menolak permintaan kakaknya itu. Diam-diam Oyos berkeinginan menjadi sastrawan dan pada tahun 1988 Oyos melanjutkan pendidikan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pilihan fakultas yang dimasukinya pun tidak berada jauh dari minat dan kecintaannya pada sastra, yaitu Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Oyos memang mempunyai alasan mengapa ia memilih almamater yang sudah jelas sebagai pencetak guru bahasa dan sastra, bukan tempat mencetak seorang sastrawan, tetapi dia memiliki harapan besar jika kuliah di Jakarta, dia akan mudah bertemu dan bergaul dengan para sastrawan besar, dan dari pergaulan itu Oyos berharap dapat belajar dan menggali potensinya di dunia sastra. Hal itu juga yang menjadi alasannya memilih kuliah di Jakarta, bukannya di Yogya atau Semarang yang lebih dekat dengan tempat tinggal orang tuanya.
Pada awal perkuliahan, Oyos sudah mulai merasakan kebosanan dan kejenuhan dengan kualitas dan cara dosen-dosennya mengajar. Oyos merasa makin frustrasi dan menyadari bahwa IKIP bukanlah pencetak para sastrawan melainkan pendidik. Oyos pun akhirnya mulai mencari kesibukan lain sebagai pelarian dari rasa frustrasinya itu. Berbekal minat yang besar terhadap sastra, Oyos mendapat tempat pelarian yaitu dengan cara aktif di teater, baik teater kampus maupun luar kampus. Bersama teman-teman kuliahnya Oyos membentuk sebuah kelompok teater mahasiswa, yang diberi nama Teater Zat. Teater ini masih tetap aktif hingga kini dan dikelola oleh mahasiswa-mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNJ.
Melalui Teater Zat, Oyos mengasah kepekaan dan minatnya terhadap sastra, khususnya teater. Oleh karena itu, tidaklah heran jika pertunjukan teater yang digelar di berbagai tempat (seperti Taman Ismail Marzuki, Teater Utan Kayu, dan komunitas sastra lainnya) menjadi santapan Oyos dan kawan-kawannya sehari-hari. Kebiasaan baru inilah yang membuat Oyos – yang saat itu tinggal bersama sepupunya – mulai merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk mencoba hidup sendiri. Di manapun Oyos berteduh, baik mencari tempat kos sendiri maupun tidur di kampus, akan dilakoninya selama hal itu tidak mengganggu dan merepotkan orang lain. Di samping itu, Oyos sudah harus mulai memikirkan bagaimana cara menyiasati biaya hidup yang tinggi dan menghasilkan uang untuk keperluan hidupnya. Meski kian beratnya beban hidup, tidak menyurutkan langkah Oyos untuk terus bergelut di dunia teater. Akhirnya pada tahun ke-3 kuliahnya, Oyos mulai aktif di teater luar kampus yaitu Teater Tanah Air yang diasuh oleh Jose Rizal Manua.
Memasuki dunia teater, tidak menyurutkan Oyos untuk menyalurkan hobi membacanya. Saat di Jakarta, Oyos lebih giat mengikuti beberapa pertemuan sastra di komunitas-komunitas sastra di Jakarta. Lama kelamaan setelah banyak membaca dan berdiskusi, Oyos merasa bagian-bagian di otaknya menjadi penuh. Banyak hal menumpuk di otaknya, mulai dari masalah sastra, sosial, politik, puisi, dan peristiwa lain. Berpijak pada masalah-masalah yang terpendam di otaknya tersebut, Oyos mulai berpikir ingin menjadi penulis dan sejak saat itulah Oyos akhirnya memutuskan untuk menekuni dunia tulis-menulis dengan lebih serius.
Beralih dari dunia teater, tahun 1993 mulai mengaplikasikan ilmu dan hobi menulisnya dengan bekerja di Pertamina sebagai editor bahasa. Di samping itu, hobinya berpuisi pun kembali dilakoninya. Berbagai puisinya seringkali menghiasi rubrik di berbagai media massa. Kemudian, iseng-iseng Oyos mengirimkan hasil meditasinya yang berbentuk puisi ke panitia Lomba Cipta Puisi Sanggar Minum Kopi Bali (SMKB) di Denpasar. Beberapa bulan kemudian Oyos memeroleh informasi dari berita di sejumlah media massa bahwa puisinya yang berjudul “Ekstase Kematian” masuk 10 besar puisi terbaik versi SMKB.
Puisi “Ekstase Kematian” diciptakannya ketika dia benar-benar dalam kondisi “mabuk”. Beberapa hari menjelang terciptanya puisi tersebut, menurut Oyos, dia jarang tidur. Dalam sehari semalam dia hanya tidur sekitar 3 – 4 jam, selebihnya waktunya dihabiskan untuk berlatih teater, membaca, dan menulis. Suatu malam menjelang tahun baru 1993, dalam mimpi sekejap antara tidur dan jaga, dia melihat tubuhnya. Dia mati tetapi kematian yang terasa nikmat. Dia tergeragap lalu bangun dan saat itulah dia merasakan kesepian yang sangat.
Jika saat ini Oyos diminta mengulangi menulis puisi seperti puisi “Ekstase Kematian”, dia mengaku tidak bisa. Salah satu alasannya yaitu perbedaan ruang dan waktu ketika dia menghasilkan puisi itu dengan ruang dan waktu yang dihadapinya saat ini. Masalah lain yang turut memengaruhi terciptanya puisi tersebut adalah kondisi ekonominya yang saat itu berada dalam kemiskinan sebagai mahasiswa yang merantau di Jakarta. Puasa Senin dan kamis kerap dijalani untuk menghemat uang saku dan mengasah spiritualnya. Tidak hanya itu, sekali dalam sebulan Oyos juga selalu melakukan ritual puasa memperingati neptu ‘hari lahirnya’. Oyos lahir pada Minggu Pon dan menurut perhitungan pasaran Jawa, setiap Sabtu Pahing, Minggu Pon, dan Senin Wage, Oyos selalu puasa mutih ‘tidak makan yang manis dan asin’.
Kecintaannya pada filsafat Jawa menambah pemahamannya tentang arti hidup. Di hadapan Tuhan, manusia ibarat debu yang siap diterbangkan ke mana saja. Itulah pemahaman Oyos tentang manusia ketika itu. Di kemudian hari, untuk menambah pengetahuannya tentang hidup dan kehidupan, Oyos memutuskan untuk mengambil program ekstensi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta pada tahun 1996.
Kemenangan puisi “Ekstase Kematian” di Bali menjadi awal kebangkitan minat Oyos untuk terus menulis puisi dan memublikasikannya di sejumlah media. Sejak itu, dia senantiasa bersemangat dan rajin mengirimkan puisi ke Republika dan Media Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya dia lebih sering menulis esai sastra. Diakui Oyos bahwa menulis puisi dan esai seperti berebut dan bersaing dengan teman seangkatannya, Nurzain Hae dan Iwan Gunadi. Mereka saling berlomba mengaktualisasikan diri lewat puisi dan esai. Tak jarang isi diskusi mereka bertiga bersama teman-teman lain tiba-tiba muncul di media massa dalam bentuk esai atas nama Oyos Saroso, Nurzain Hae, dan Iwan Gunadi.
Walau demikian, mereka bertiga tetap menjadi sahabat kompak yang sama-sama membangun komunitas sastra di kampus dan di luar kampus. Di kampus, mereka melahirkan sebuah teater yang diberi nama Teater Zat (telah diuraikan sebelumnya) dan forum sastra yang menggelar diskusi setiap hari Sabtu. Oyos sendiri pun pernah memiliki sebuah kelompok diskusi yang diberi nama Kelompok Dialog Atas Angin. Penamaan ini tidak lain karena mereka memang tidak memiliki tempat diskusi yang tetap, artinya mereka bisa berdiskusi di mana dan kapan saja. Di luar kampus, mereka bertiga (Oyos, Nurzain, dan Iwan) sama-sama menjadi inisiator terbentuknya Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Hingga kini, rekan Oyos yang masih bergiat di komunitas tersebut adalah Iwan Gunadi.
Tahun 1996, setelah menyelesaikan pendidikan di IKIP Jakarta, Oyos mulai menekuni profesi barunya sebagai wartawan, sebuah profesi yang tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya sejak kecil hingga remaja. Profesi ini pula yang membawa langkah Oyos menuju pulau Sumatra, tepatnya Lampung. Di Lampung ini Oyos mencoba peruntungannya menjadi wartawan di harian Lampung Post dan menjalani profesi ini selama tiga tahun (1996-1999).
Dalam kepenyairan, tidak seperti penyair lain yang melakukan penghayatan secara total dan romantik, Oyos justru menghayati kepenyairannya dengan sangat santai. Semua puisi Oyos diciptakan berdasarkan rujukan yang jelas, yaitu dunia pengalaman dan perasaan yang kemudian dikawinkan dengan dunia main-main. Bagi Oyos menghasilkan sebuah puisi adalah menciptakan sebuah musikalitas dan kehidupan ini merupakan puisi yang kaya akan musikalitas. Sementara, menulis adalah mengungkapkan segala sesuatu yang diketahuinya secara pasti dan dekat dengan dirinya. Bahkan menurut Oyos dia hanya akan menghasilkan puisi romantis ketika dia betul-betul sedang jatuh cinta. Sebuah perasaan sekaligus peristiwa yang maknanya sangat universal dan sakral bagi Oyos. Oyos juga mengakui bahwa kisah cinta dengan istrinya sedikit banyak dipengaruhi oleh puisinya.
Istri Oyos, Mas Alina, S.H., adalah seorang muli Lampung, lulusan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Berkenalan ketika Oyos menjadi wartawan Lampung Post dan Mas Alina saat itu pun berprofesi sebagai wartawan di media yang sama. Perkenalan mereka dilanjutkan ke jenjang pernikahan pada tahun 1998. Dari pernikahan Oyos dengan Mas Alina kini telah membuahkan sepasang putra dan putri. Anak pertama mereka diberi nama Maulana Hanif Ananditya Ning Prabandaru. Anak kedua pun dinamai tidak kalah unik dan indahnya, Lintang Sabrang Kumala Ning Ratih. Memang nama-nama yang unik, tetapi begitulah Oyos. Baginya setiap tarikan nafasnya adalah puisi dan doa, sehingga nama anak-anaknya pun harus mengandung kedua unsur tersebut.
Aktivitasnya di bidang sastra terkadang membuat Oyos merasa bosan. Meskipun demikian, Oyos mengakui bahwa ia masih rajin mengikuti perkembangan sastra mutakhir, baik sastra lokal maupun nasional, bahkan sastra internasional. Tidak berhenti sampai di sini, Oyos terus menekuni karier di bidang jurnalistik dengan menjadi wartawan di Trans Sumatera dari tahun 1999 hingga 2001, dan terakhir dia mengabdikan diri sebagai wartawan The Jakarta Post dari tahun 2001 hingga 2005.
Karier kewartawanan Oyos bukanlah sebuah kebetulan dan dia mengakui bahwa dunia jurnalistiklah yang menghidupinya. Kecintaannya pada dunia jurnalistik sama besar dengan kecintaannya pada sastra karena melalui dunia jurnalistik kecintaannya pada sastra dapat teraktualisasi. Oleh karena kecintaannya yang begitu besar terhadap jurnalistik dan sastra, selain menjadi kontributor Pantau, Oyos juga tercatat sebagai salah seorang yang turut memprakarsai terbentuknya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung, dan kemudian dipercaya untuk memimpin komunitas ini selama satu periode.
Di pentas sastra Nasional, nama Oyos juga telah diakui. Namanya ditulis dalam Leksikon Susastra Indonesia (Rampan: 2000, 344). Di samping itu, karya-karyanya terkumpul dalam berbagai antologi bersama, di antaranya Batas Diam Matahari (1996), Rahasia Sebatang Lidi (1996), Titik Diam di Mata Karmin (1996), dan Penyair Ujung Pulau (2002). Puisinya antara lain terkumpul dalam Gender (Sanggar Minum Kopi Bali, 1993), Dari Bumi Lada (1997), dan Angkatan 2000 dalam Kesusasteraan Indonesia (2001).
Beberapa judul puisi Oyos, di antaranya Membaca Dunia (1991), Ekstase Kematian (1993), Orasi Perjalanan (1993), Megatruh (1996), Juli (1996), Amnesia 1 dan Amnesia 2 (2004). Selain puisi, Oyos juga membuat Manuskrip naskah teater berjudul “Yang Berumah di Atas Angin” – dipentaskan di Teater Arena, Taman Ismail Maszuki, akhir Desember 1995. Di samping itu, Oyos juga aktif menulis esai yang telah dipublikasikan di sejumlah media nasional dan lokal.
Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 145-153.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky

Naim Emel Prahana
