Iwan Nurdaya-Djafar

Iwan Nurdaya-Djafar, lahir di Tanjungkarang, Bandarlampung, ibu kota Provinsi Lampung, pada tanggal 14 Maret 1959.

Buah hati pasangan Djafar Amid (mantan bupati Lampung Selatan) dengan Siti Kalang itu, kini bersama Cut Hilda Rina—pendamping hidup yang dinikahi pada tanggal 7 Juli 1991—dan telah dikurniai dua putri, yang selalu menyemangati dan tempat curahan kasih sayang, yaitu Rabia Edra Almera 14 tahun dan Selma Ilafi Al Zahra 8 tahun.

Iwan menempuh sekolah dasar di Pangkalpinang, yang ia selesaikan pada tahun 1971. Di masa sekolah dasar, ia bermain dan bergaul sebagaimana anak-anak yang lain. Perpindahan tempat bekerja orang tuanya, dari Tanjungkarang ke Pangkalpinang, menjadikannya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sikap keluwesan dalam bergaul, membantunya dalam mengakrabi lingkungan dan teman-teman baru.

Pendidikan lanjutan tingkat pertama ditempuhnya di SMPN 2 Tanjungkarang yang diselesaikannya pada tahun 1974. Semasa SMP itu, Iwan mengalami banyak pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman baru itu berupa kecintaannya terhadap tulis menulis, seperti menulis puisi.

Iwan mendapatkan pendidikan di SMA Xaverius, Bandarlampung. Ia lulus dari SMA Xaverius pada tahun 1977. Di masa SMA, Iwan mencoba mengembangkan dunia tulis menulisnya, tidak hanya pada puisi saja tetapi sudah mulai menulis prosa.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA Xaverius, Iwan melanjutkan ke Universitas Parahyangan di Bandung, pada fakultas Hukum, jurusan Hukum Tata Negara dan lulus pada tahun 1986. Sejak di universitas, Iwan memulai memperdalam dunia penulisan dan mengirimkannya, seperti pada buletin kampus: Etsha, Pengayoman, dan Socio. Lalu, ia mencoba menyiarkan puisi, cerpen, esai, resensi, dan artikel ilmiah ke dunia lebih luas, seperti di harian Pikiran Rakyat, Lampung Post, Warta Niaga, Merdeka, Berita Buana, Singgalang, dan majalah Tebuireng.

Dalam masa proses kreatifnya, Iwan pernah menjuarai lomba cipta puisi dalam porseni mahasiswa PTS se-Jabar tahun 1983, dengan judul puisi “Di Bawah Panji Almamater”. Selain itu, sebagai teaterwan, kepiawaian dalam dunia peran dibuktikannya, dalam porseni yang sama, menjadi pemenang Pemeran Pria Terbaik dengan mementaskan Lakon Orang Gila di Atas Atap karya Ki Kuchi Khan (terjemahan E. Korah Go) yang kemudian diadaptasi ke kultur Sunda.

Setelah menyelesaikan pendidikan univesitasnya, Iwan melanjutkan dunia tulis menulisnya di tanah kelahirannya, Lampung. Selain menjadi asisten dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Saburai, Bandarlampung, Iwan aktif menulis di media massa berupa puisi, cerpen, esai, juga menulis buku-baik karya asli maupun terjemahan. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di Republika, Pelita, Swadesi, Amanah, Merdeka, Berita Buana, Sriwijaya Post, Lampung Post, Tans Sumatera.

Iwan Nurdaya Djafar pernah menjadi Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung pada tahun 1994—1996, ia pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada acara Forum Puisi Indonesia tahun 1987 dan acara Pembacaan Puisi Tiga Penyair Lampung bersama Isbedy Stiawan dan Sugandhi Putra tahun 1989. Karyanya selain menulis cerpen, puisi, esai, artikel dan pelaku teater, ia juga menerjemahkan sejumlah buku sastra, agama, hukum, dan pelaku teater. Karya Kahlil Gobran, Ali Syariati, Octavio Paz, Manuel Komroff pernah diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Karya-karya Iwan Nurdaya-Djafar, terutama puisi, yang dilahirkannya pada era 80-an sangat kental rasa sufistik. Hal itu terlihat dalam antologi Seratus Sajaknya, ia merasakan sebuah kerinduan, pencaraian, dan kegelisahan seorang hamba-orang cilik-tentang kehidupan yang profan ini. Di Indonesia pada era 80-an, sastra sufistik yang dikenal dengan sastra transendental, seperti Kuntowijoyo yang dilanjutkan oleh Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabar, Emha Ainun Nadjib, Fudoli Zaini, Abdul Hadi W. M.

Iwan bersama Isbedy Stiawan ZS, Naim Emel Prahana, Sugandhi Putra, dan Ucok Hutasuhut menjadi penyunting Jung: Segabung Puisi Penyair Lampung, yang diterbitkan oleh Dewan Kebudayaan Lampung, Bandarlampung. Iwan Nurdaya Djafar pernah menjadi dewan juri lomba esai festival Desaku Maju Sakai Sambayan (DMSS) bersama Bambang Eka Wijaya, dan Asrian Hendi Caya yang diadakan pada 24 September 1998.

Karya tulis Iwan dalam lomba penulisan cerpen Dewan Kesenian Lampung pernah dimenangkan, yang dijadikan salah satu cerpen dari 14 cerpen dalam Antologi Cerpen dari Lampung.

Dalam Antologi Cerpen dari Lampung, menurut dewan juri-cerpen Iwan -cerpen yang memiliki mutu, tema yang menarik, dan pesan yang disampaikan membangun. Dan, Isbedy Stiawan ZS menambahkan bahwa karya cerpen Iwan memiliki ragam yang berbeda dengan cerpen-cerpen pada umumnya. Iwan mampu memberikan pentulan dan dialog yang lebih luas kepada pembaca. Sebuah cerpen yang mampu berdialog dari suatu kehidupan dalam suatu masa ke masa yang bisa “kapan” saja, itulah cerpen yang bernilai sastra. Cerpen yang bernilai sastra bukan karya yang hanya sekadar untuk direnungi dan resapi melainkan sebagai alat mencerahkan kesadaran masyarakat (Isbedy: iv). Hal inilah yang dimiliki cerpen Iwan menjadi pemenang dan diambil sebagai salah satu cerpen yang dimuat dalam Antologi Cerpen dari Lampung tersebut.

Menurut B. Sarwono, Jamal D. Rahman, dan Teddy SM, adalah dewan juri lomba penulisan puisi lingkungan hidup Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 1994, bahwa karya Iwan memiliki mutu dan tema yang cukup kuat dalam menyentuh lingkunban hidup (Rahardi, 1994: iii). Bahkan puisi Iwan yang berjudul “Cerita dari Hutan Bakau” itu diangkat menjadi judul Antologi Puisi Lingkungan Hidup Majalah Pertanian Trubus. Antologi itu kaya dengan variasi bentuk, tema, dan gaya karena berasal dari penulis dengan latar belakang yang beragam.

F. Rahardi (1994: iv) menambahkan bahwa alasan puisi Iwan diangkat menjadi judul antologi, yaitu Cerita Dari Hutan Bakau, karena puisi itu dapat mewakili tema lingkungan hidup, walaupun temanya sederhana. Tema yang sederhana, persoalan upacara pelestarian hutan bakau yang sia-sia karena dihadang oleh perusak, mampu diolah dengan baik sehingga menjadi puisi yang bernilai. Bukan sekadar sebagai karya sastra yang direnungi dan diresapi di dalam kamar, namun juga sebagai sarana untuk menggugah kesadaran masyarakat agar peduli terhadap lingkungan.

Menurut Sutjipto, dalam sebuah pengantar antologi puisi Memetik Puisi dari Udara, mengatakan bahwa Iwan Nurdaya Djafar adalah seorang yang sangat sensitif, nurani perasa, dan sosial yang tinggi. Kepeduliannya terhadap lingkungan sangatlah besar. Lingkungan keluarga yang familier dan bersahabat membentuk perilakunya. Hal itu terlihat dalam puisinya yang berjudul “Senandung Merpati”, sebagai berikut.
Kelepak merpati dari jauhan mengirimkan
Kecemasan kepada dunia. Dan orang-orang berlari
Dari benua ke benua
Mengobarkan lagi sisa lentikan
Bara perdamaian yang menghanguskan
.

Puisi Iwan “Senandung Merpati” ini merupakan perwujudan rekaman atas tanda-tanda yang mulai mengancam kelestarian kehidupan manusia. Gerak nafas manusia mulai tersendat karena pengutamaan materi semata (Sutjipto, 1987: 14). Karya puisi memang dapat dikatakan sebagai refleksi diri terhadap lingkungan, untuk kesempurna hidup.

Bambang S. Pardjo menambahkan bahwa puisi-puisi dalam antologi Memetik Puisi dari Udara adalah suatu bentuk kesadaran—akan keberadaan budaya bangsa kita pada posisi kritis yang penuh tantangan—yang harus diperjuangkan untuk menghempas tantangan dan berupaya membangkitkan budaya bangsa yang besar, yang selalu mengibarkan bendera perang, untuk satu kemenangan melawan kelemahan dan kemiskinan (1987: 4).

Menurut Sutjipto (1987: 14—15) pada hakikatnya, sastra sekalipun tidak secara tersurat, sesungguhnya ia merupakan penuntun kehidupan. Hanya biasanya hal itu tersublimasi. Sastra bukan agama. Oleh karena itu, di dalamnya jelas tak akan ada kandungan ekspresi ritus. Pernyair Lampung telah menunjukkan bahwa mereka mulai menjerit untuk memekikkan satu kata persatuan melalui anatologi “Memetik Puisi dari Udara” ini. Kemapanan penyair ditentukan oleh kerja dan kreativitasnya, dan hasil dari kerja itu adalah penentuannya.

1. Karya-karya prosa
1) Cerpen “Koteka Emas”, termuat dalam Antologi Cerita Pendek dan Puisi Estetik
2) Warahan Radin Jambat, sebagai penyunting karya sastra klasik Lampung
3) Cerpen “Bendera”, termuat dalam Antologi Cerpen dari Lampung
4) Tipologi: Sebuah Pendekatan untuk memahami islam karya Ali Shariati, sebagai penerjemah ke dalam bahasa Indonesia—dari judul—yang sebelumnya An Aprroach to the Understanding of Islam

2. Karya-karya Terjemahan
1) Karya-karya Kahlil Gibran: Sang Nabi, Airmata dan Senyuman, bagi Sahabatku yang Tertindas, dan Kematian Sebuah Bangsa
2) Karya-karya Manuel Komrif: Hidup, Cinta, dan Petualangan Omar Khayam
3) Karya Ali Shariati Tipologi: Sebuah Metode Memahami Islam

3. Karya-karya puisi (dipublikasikan)
1) Seratus Sajak (Antologi Bersama), Fajar Agung, 1989
2) Cerita dari Hutan Bakau (Antologi Puisi Lingkungan Hidup), Majalah Pertanian Trubus
3) “Senandung Merpati” (1987)
4) “Depan Kantor Kejaksaan Sejarah” (1987)
5) Hi-Tech Hi-Touch (1987)

4. Buku
1) Hukum dan Susastra, Pustaka, 1992

Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 77-82.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart