
Isbedy Stiawan Z.S. adalah nama yang diberikan pasangan Zakirin Senet dan Ratminah untuk salah seorang anak laki-laki mereka. Isbedy lahir pada 5 juni 1958 di Tanjungkarang. Ia adalah putra keempat dari delapan bersaudara. Almarhum bapaknya yang berasal dari Bengkulu hanyalah seorang pegawai negeri rendahan dan ibunya yang berasal dari Winduaji Sindanglaut kabupaten Cirebon adalah seorang ibu rumah tangga.
Isbedy kecil dikenal nakal. Selain itu, ia dikenal keras, gigih, dan nyentrik. Tak jarang dia berkelahi dengan teman sebayanya. Hobi berkelahi itu kemudian disalurkannya dengan mengikuti beladiri karate. Terakhir, sabuk hitam pun diraihnya.
Ekonomi keluarga Isbedy saat itu boleh dibilang pas-pasan. Untuk menambah penghasilan keluarga, ibunya membuka warung sederhana di depan rumahnya. Isbedy sering disuruh menunggui warungnya. Saat menunggu warung itulah, ia sering mengisi waktu dengan membaca buku-buku silat yang banyak menaburkan filosofi yang selalu mengusiknya untuk merenung. Ditambah lagi, ia senang menulis apa saja yang direnungkannya. Saat itu, Isbedy kecil menganggap yang ditulisnya itu sebagai kata-kata mutiara. Dari kata-kata mutiara itulah lahir sajak-sajak dan cerpennya.
Isbedy mulai bersentuhan dengan dunia sastra sejak di bangku SMP tahun 1975. Karya-karya Kho Ping Hoo adalah bacaan yang saat itu digemari oleh Isbedy. Ketika membaca karya Kho Ping Hoo, ia mendapatkan filosofi hidup yang sangat berarti, bahwa seseorang yang menyenangi seni tanpa memiliki ilmu beladiri akan lemah dan dizalimi dan orang yang memiliki ilmu beladiri tanpa diimbangi nilai seni maka dia akan zalim. Filosofi ini yang semakin mendorongnya untuk mengikuti kegiatan karate.
Sebelum terkenal sebagai penulis, ia tekun dalam bidang seni teater bersama Syaiful Irba Tanpaka dan A.M. Zulqarnain. Sanggar Ragam Budaya adalah tempatnya mengekspresikan jiwa seni. Ia juga sering tampil dalam pementasan teater di luar Tanjungkarang. Jika ada waktu luang saat ia berlatih teater, Isbedy kerap berdiskusi seputar persoalan sastra dengan Syaiful Irba Tanpaka. Beranjak ke bangku STM, ia perlahan-lahan mulai menggeluti dunia sastra dan meninggalkan dunia teater. Ketika itu, Isbedy mencoba menulis puisi dan cerpen.
Isbedy kerap membacakan sajaknya dari panggung ke panggung. Saat membacakan sajak-sajaknya, Isbedy selalu memukau penontonnya. Ia tidak hanya mahir menyulam kata, tetapi juga piawai “menyihir” penonton.
Keinginan untuk mempunyai mesin tik sendiri mendorong Isbedy untuk terus berkarya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Isbedy mengirimkan karya-karyanya yang berupa puisi ke berbagai media massa, termasuk media massa yang terbit di Jakarta. Tak sedikit pula puisinya yang ditolak oleh media. Tahun 1981, obsesinya untuk mempunyai mesin tik barulah terwujud. Sebuah mesin tik buatan Jerman, dibelinya dari Pasar Rumput seharga dua puluh lima ribu rupiah. Uang itu diperolehnya dari honor tulisan Isbedy di berbagai surat kabar Jakarta. Sejak memiliki mesin tik sendiri, keinginan Isbedy utnuk menghasilkan karya semakin menjadi-jadi. Hasilnya, harian umum Suara Karya memercayai Isbedy untuk mengasuh rublik “EsKa Kecil“, sebuah rubrik sastra bagi anak-anak. ”Surat dari Kak Isbedy” adalah nama yang dipakai untuk rublik itu. Selain media massa cetak, ia juga memublikasikan karya-karyanya melalui media massa elektronik. Saat itu, Radio Republik Indonesia Lampung sering mengundang Isbedy untuk membacakan karya-karyanya.
Karya pertama Isbedy yang dimuat di media massa adalah cerita pendek di Mingguan Swadesi, tahun 1980. Kemudian, sekitar tahun 1984, banyak cerpennya yang dimuat di berbagai media massa, antara lain Simponi, Merdeka, Pelita, dan Singgalang. Di tahun itu pula, untuk pertama kali puisi Isbedy dimuat di Berita Buana, saat itu diasuh oleh Abdul Hadi W.M.. Sejak saat itulah, puisi-puisi Isbedy mulai bermunculan di media massa lainnya seperti, Suara Karya, Budaya Pelita, Jayakarta, Terbit,dan Prioritas.
Di usia muda, pergaulan Isbedy boleh dikatakan nakal. Tetapi hal itu tidak berjalan lama. Pada tahun 1982, ia menikahi Adibah Jalili, seorang wanita Minang dari keluarga yang taat beragama. Perlahan-lahan kebiasaan buruknya itu menhilang. Dari perkawinan tersebut, Isbedy dikaruniai lima orang anak yaitu: Mardiah Novriza, Arza Setiawan, Rio Fauzul, Khairunnisa, dan Abdurrobbi Fadillah.
Umumnya, proses kreatif puisi Isbedy lahir setelah ia menemukan kata-kata puitis terlebih dahulu, lalu diolahnya menjadi puisi. Terkadang, ia juga mendapatkan puisi yang sudah jadi di benaknya. Ide kreatif Isbedy bisa muncul kapan saja, saat traveling, merenung di waktu malam, atau langsung di depan komputer. Dalam menulis puisi, ia tidak pernah membatasi diri tentang tema tertentu karena menulis pusi menurut Isbedy tidak bisa dipaksa, mengalir menurut apa yang ada di dalam imajinasi, rasa, emosional, dan intelektual.
Mengenai proses kreatif lahirnya sebuah puisi, Isbedy mengaku, karyanya banyak terlahir oleh sentuhan-sentuhan sederhana, contohnya, puisi “Aku Tandai” yang disentuh oleh kalimat-kalimat yang didapat saat di kendaraan bermotor. Dalam proses kreatif kemudian, ia giring “tahilalat” itu sebagai penanda bagi manusia. Terkadang puisinya lahir dari kalimat-kalimat yang dianggap puitis dan menarik. Misalnya dia pernah melahirkan puisi dari kalimat yang dia peroleh begitu saja; karena laut mengajarkan rajaasi badai/ maka aku pun setia berlayar (puisi “Orang Laut”, 1987). Dari kalimat-kalimat itu, ia merangkainya hingga menjadi sebuah puisi yang utuh.
Kini Isbedy banyak menulis cerpen. Hal itu disebabkan karena cerpen ”lebih menjanjikan”. Selain itu, bagi Isbedy menulis cerpen ”sangat menantang”. Dalam menulis cerpen, ia harus banyak memiliki ”tabungan” kata-kata dan kalimat dan memahami seluk-beluk alur cerita, penokohan, beserta konflik-konfliknya.
Cerpen-cerpen Isbedy juga dimuat di berbagai media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Horison, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat. Padahal, pada awalnya Isbedy minder sekali untuk mengirimkan cerpen. Berbeda, ketika ia menawarkan puisi ke media-media tersebut. Bahkan, dengan nada canda, Triyanto Triwikromo (Suara Merdeka) tidak mengakui Isbedy sebagai cerpenis. ”Kalau pun Anda mengirim cerpen tidak akan dimuat, sebab kekuatanmu ada di puisi.” Tetapi, belakangan cerpen-cerpen Isbedy lolos seleksi Suara Merdeka yang kita tahu Triyanto sangat ketat untuk menyeleksi karya sastra yang akan dimuat di koran tersebut. Begitu pula, barangkali, ketika Nirwan Dewanto meloloskan cerpen Isbedy yang berjudul ”Mata Elangmu Nyalang” di Koran Tempo.
Ketika itu, produktivitas dalam menulis cerpen memang diakuinya cukup tinggi. Meskipun begitu, ia juga tetap rajin melahirkan puisi. Kalau kemudian ia lebih dikenal sebagai penyair, mungkin predikat itu sudah demikian menyatu dalam dirinya sejak lama. Isbedy justru merasa percaya diri disebut penyair ketimbang cerpenis. Boleh jadi suatu waktu ia akan meninggalkan dunia cerpen.
Dalam menulis cerpen, Isbedy banyak belajar dari mengamati berbagai karakter atau tokoh orang yang ada di sekitarnya. Ia dapat lebih memasuki setiap karakter tokoh, latar, atau alur cerita. Ia bisa bebas memainkan bahasa karena sesungguhnya bahasa berperan penting bagi karya sastra ketika menulis cerpen.
Sebagai penulis, Isbedy sudah melahirkan banyak karya sastra. Karya-karyanya tidak hanya terangkum dalam antologi tunggalnya saja, tetapi juga terangkum dalam antologi bersama penyair lainnya. Karya-karyanya juga pernah dimuat di berbagai macam media massa, sebut saja Serambi Indonesia, Aceh Post, Riau Post, Singgalang, Sriwijaya Post, Lampung Post, Majalah Horison, Kompas, Jurnal Ulumul Qur’an, Nova, Jurnal Puisi, Citra, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Berita Buana, Pelita, Surabaya Post, Pedoman Rakyat, Sinar Harapan, Amanah, Annida, Sabili, Fikri, Jawa Post, Wawasan, Suara Merdeka (Semarang), Surabaya News, Kedaulatan Rakyat (Bandung), Majalah Budaya Sagang, Padang Post, Padang Ekspres, Sumatra Post, Gerbang, Lampung Post, dan Trans Sumatra, Banjarmasin Post, dan Pedoman Rakyat (Makasar).
Perjuangan yang ia lalui saat itu telah membuahkan hasil yang memuaskan. Sastra telah mengantarnya menjadi orang yang dikenal banyak orang, sastra juga membawa Isbedy berjelajah ke daerah-daerah di Indonesia. Ia pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta membaca puisi di TIM pada Forum Puisi Indonesia 1987, Pembacaan Sajak Tiga Penyair Lampung (1989) dan Festival November tahun 2001. Juga diundang pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di Kayu Tanam (1997). Tahun 1999, ia menjadi salah satu sastrawan Indonesia yang diundang ke Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Malaysia. Dalam tahun yang sama, ia terbang ke Thailand, mengikuti Dialog Utara VIII. Ia pun kerap menghadiri undangan pertemuan sastra diberbagai kota dan daerah di Tanah Air antara lain: di Pekanbaru, Padang, Yokyakarta, Bali, Banjarmasin, Bengkulu, Jambi, Palembang, Pangkal Pinang, Bengkalis. Pada 29 Februari dia membacakan puisi-puisinya dari buku Menampar Angin di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan.
Dalam perjalanan kesastrawanannya, banyak saran maupun kritik yang tertuju kepada dirinya. Pada Forum Puisi Indonesia ’87, Sutardji memberikan pujian kepada Isbedy yang dibuktikannya dengan memuat puisi Isbedy dari antologi Forum Puisi Indonesia ’87 di majalah sastra Horison. Menurut Sutardji, puisi Isbedy sangat sederhana, metafor-metafor yang ditampilkan tidak terlalu mengejutkan, tetapi dengan pengaluran yang lembut, saling menopang, serta diperhitungkan dengan penuh kecermatan, membuat Sutardji terpukau dengan larik-larik dalam setiap puisi yang dibuat Isbedy. Tambah Sutardji, ungkapan-ungkapan yang segar dalam sajak Isbedy ditampilkan dalam susunan saling bersambung, mendukung secara halus, lembut, dan tersamar suatu gagasan pikiran (Kompas, 4 Mei 2001, hal. 36). Tahun 1989, H.B. Jassin dalam catatan kebudayaan majalah Horison memberikan predikat kepada Isbedy sebagai Paus Sastra Lampung karena dedikasinya dalam berkarya dan memajukan sastra di Lampung.
Maman S. Mahyana juga mempunyai kesan setelah ia membaca puisi-puisi Isbedy Stiawan. Menurutnya, antologi puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu terkesan hendak menawarkan berbagai kegelisahan emosionalnya. Setiap makna dalam puisinya memancarkan makna sejalan dengan konteks dan situasi peristiwa yang dihadapi. Ditambahkan Maman dalam puisi Isbedy, ia juga bersiasat melalui beragam majas dan serangkaian enjambemen. Antologi itu, menurut Maman, mengukuhkan Isbedy sebagai penyair yang makin memperlihatkan kepribadiannya yang kukuh dan kepenyairannya yang matang.
Kecendrungan memanfaatkan berbagai diksi dan sarana puitis, tampak diintegrasikan kedalam jalinan kata yang potensial memancarkan keberagaman makna. Gaya kepenyairan model ini, tentu saja bukan satu-satunya—juga bukan yang pertama—dilakukan Isbedy. Di belakang itu, ada nama-nama Dodong Djiwapradja, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, sampai ke nama-nama penyair terkini macam Nanang Suryadi atau Tjahjono Widarmanto.
Sebagai contoh kasus, misalnya, puisinya yang berjudul “Di Pantai”. Dekaplah aku, kata pantai pada laut, tapi,/setelah didekap, pantai pun membiarkan laut/ menjauh kembali, lalu burung-burung camar/hanya memandang sepi ujung bibirmu//. Hubungan laut—pantai yang komplementer itu tiba-tiba menjadi sebuah paradoks karena pantai di satu pihak tak dapat melepaskan dirinya dari kerinduan atas laut, dan di pihak lain, selalu membiarkan laut kembali menjauh. Sebuah pertemuan dan perpisahan yang sepertinya merupakan peristiwa biasa, tetapi justru menyimpan begitu banyak misteri.(Lampung Post, 2003).
Yanusa Nugroho, salah satu sastrawan dari Jakarta, memberikan tanggapannya terhadap cerpen-cerpen yang ditulis oleh Isbedy. Menurut Yanusa, membaca karya Isbedy adalah ”membaca energi” karena begitu padat cerpen-cerpen yang disuguhkan oleh Isbedy.
Tak bisa terelakan lagi, Isbedy memang sudah menjadi bagian dalam perkembangan sastra di Indonesia. Sejumlah penghargaan juga pernah ia raih. Hal itu dikarenakan dedikasinya yang tinggi untuk perkembangan sastra di Indonesia. Anugerah Sanggar Minum Kopi Bali—10 Puisi Terbaik, tahun 1997, Margana Award—10 Puisi Terbaik, Yayasan Selakunda (Bali), 1998, Juara ke-2 Lomba Cipta Cerpen Teater Peron UNS Solo, Juara I Lomba Cipta Puisi Se-Indonesia Mahasiswa di Padang, Juara III Lomba Cipta Puisi Lingkungan Hidup kerja sama Majalah Trubus-Menteri KLH, tahun 2002, Rakyat Lampung Award 2005-2006—Tokoh Seniman, Nominator—5 Besar karya Cerpen—Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, tahun 2006, 10 Besar Nominator Katulistiwa Literary Award untuk kumpulan puisi Kota Cahaya, tahun 2006. Kumpulan puisi Kota Cahaya mendapat penghargaan dari DPD KNPI Bandarlampung pada 28 Oktober 2005 menganugerahi KNPI Award 2005 pada sastrawan ini sebagai Life Time Achievement. Berikut ini beberapa karya-karya Isbedy Stiawan ZS.
1. Puisi
1) Darah, 1982.
2) Badai 1984.
3) Akhir 1986.
4) Khalwat 1988.
5) Membaca Bahasa Sunyi 1990.
6) Lukisan Ombak 1992.
7) Kembali Ziarah 1996.
8) Daun-daun Tadarus 1997.
9) Aku Tandai Tahi Lalatmu, Gama Media, Yogyakarta, 2003.
10) Menampar Angin, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2003.
11) Kota Cahaya, Grasindo, Jakarta, 2005.
12) Salamku Pada Malam 2006.
13) Laut Akhir 2007.
14) Dari Negeri Poci, antologi bersama.
15) Resonansi Indonesia, antologi bersama.
16) Angkatan 2000, antologi bersama, 2000.
17) Horison Sastra Indonesia: KitabPuisi, antologi bersama.
18) Hijau Kelon dan Puisi 2002, antologi bersama Penerbit buku Kompas, 2002.
19) Puisi Tak Pernah Pergi, antologi bersama Penerbit buku Kompas, 2003.
2. Cerpen
1) Ziarah Ayah, Syaamil, Bandung, 2003.
2) Tahun Cinta (antologi cerpen bersama), Senayan Abadi, Jakarta, 2003.
3) Wajah di Balik Jendela (antologi cerpen bersama), Lazuri, Jakarta, 2003.
4) Anak Sepasang Bintang (antologi cerpen bersama), FBE Press, Jakarta, 2003.
5) Bunga-Bunga Cinta (antologi cerpen bersama), Senayan Abadi, Jakarta, 2003.
6) Cerita-cerita pengantin (antologi cerpen bersama), Galang Press, Yogyakarta, 2003.
7) Bulan Rebah di Meja Diggers, Beranda, Jakarta, 2004.
8) Dawai Kembali Berdenting, Logung Pustaka, Lampung, 2004.
9) Perempuan Sunyi, Gama Media, Jakarta, 2004.
10) Selembut Angin Setajam Ranting, Lingkar Pena Publising House, Jakarta, 2005.
11) Seandainya Kau Jadi Ikan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
12) Hanya Untuk Satu Nama, Bentang Pustaka, Jakarta, 2005.
13) “Rumah Baru”, Radar Lampung, Minggu, 2 Oktober 2005.
14) “Pasien Terakhir”, Lampung Post, 28 April 2005.
Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 60-68.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky

Inggit Putria Marga
