Djuhardi Basri

Djuhardi Basri lahir di Kotabumi, 27 November 1960. Ia adalah ulun (orang) Lampung asli. Putra dari pasangan H. Basri K.A. dan Hj. Nurhayati menghabiskan masa kecilnya di kota kelahirannya.

Masa sekolah Djuhardi dari tingkat SD hingga SMA ia selesaikan di Lampung, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Negeri Sebelas Maret. Ia sempat juga kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Slamet Riyadi, Solo. Namun, tidak diselesaikannya.

Semasa kuliah, Djuhardi banyak bersentuhan dengan karya-karya puisi Prancis. Ketekunannya dalam membaca puisi-puisi terjemahan tersebut membuatnya terinspirasi dalam menulis karya-karyanya sendiri. Menurutnya, berpuisi adalah menangkap kata-kata yang menggetarkan sehingga diksi menjadi suatu unsur yang sangat penting dalam menciptakan puisi.

Kegemarannya bersastra membuahkan hasil salah satunya yaitu, Djuhardi pernah mewakili Solo pada ajang Forum Puisi Indonesia 1987 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Di bangku kuliah pula, Djuhardi aktif berkarya di bidang sastra dan teater. Pada tahun 1982, ia bergabung dengan Teater Gidag-Gidig, Solo. Kegemarannya berteater membuatnya rajin berlatih dan aktif mengikuti berbagai pentas teater. Djuhardi pernah bergabung bersama Teater Keliling Jakarta dan berpentas dari kampus ke kampus mengelilingi pulau Jawa.

Pada tahun 1987, Djuhardi bersama beberapa rekan di kampusnya mendirikan Teater Sastra di Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Negeri Sebelas Maret. Ia beranggapan dengan berdirinya teater ini akan semakin menggairahkan kehidupan kesenian di kampus dan berpotensi memunculkan bakat-bakat baru. Djuhardi bergiat menghidupkan kegiatan teater ini seiring dengan kuliahnya yang terus berjalan. Salah satu yang cukup membanggakannya adalah kenyataan bahwa teater kampus ini masih berdiri hingga sekarang.

Selain berpentas memerankan karya-karya orang lain, Djuhardi juga menulis dan menggarap naskah teater. Lakon teater yang diciptakannya adalah “Matahari Kembar”, “Pertiwi (Sebuah Luka yang Membusuk)”, “Labirin 1”, “Labirin 2”, “Armageddon 1”, “Armageddon 2”, “Demokrasi Kaki Lima”, “Bilal Bin Rabah”, dan “Ibrahim Singa Padang Pasir”. Naskah “Bilal Bin Rabah” membawanya meraih peringkat ke-4 pada Festival Anak Saleh Nasional di Jakarta dengan menyutradarai karyanya sendiri.

Kecintaannya pada kesusastraan membuatnya sangat produktif dalam menciptakan karya-karya sastra. Karya-karya Djuhardi antara lain, manuskrip yang sederhana, yaitu “Langgam Kesunyian” (1992), “Peta Yang Terbakar” (1994), “Dzikir Semesta” (1995), dan “Catatan Bahasa Manusia”. Puisi-puisi Djuhardi juga tergabung dalam antologi bersama seperti Konstruksi Roh, Warna-Warna Roh, Ziarah Ekstase dan Kota Tuhan, Potret Manusia, Upacara kamar, Festival Puisi XII-XIV (PPIA Surabaya), Festival Januari, Jung, Dari Bumi Lada, Kebangkitan Nusantara II dan Konser Penyair Ujung Pulau (DKL, Januari 1995).

Selain itu, puisi-puisi Djuhardi juga dimuat di berbagai media cetak, di antaranya Suara Pembaruan, Berita Buana, Republika, Swadesi, Suara Merdeka (Semarang), Bernas (Yogyakarta), Trans Sumatera, Lampung Post, dan lain-lain.

Setelah berkelana selama bertahun-tahun di Pulau Jawa, Djuhardi kembali ke kampung halamannya pada tahun 1990. Ia pulang dengan membawa “buah tangan” yaitu istri yang dinikahinya. Djuhardi menikah dengan Hariyanti dan dikaruniai empat orang anak. Kembalinya Djuhardi ke Lampung, membawa harapan besar ingin membangun kesenian di kampung halamannya. Ia mulai berkiprah dan bergabung dengan sesama sastrawan di Lampung.

Pada tahun berikutnya, Djuhardi dan istrinya mengabdikan diri dengan menjadi staf pengajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Kotabumi. Di tempatnya mengajar, Djuhardi tetap bergiat dalam mengajarkan puisi dan teater. Ia mendirikan sanggar sastra dan teater yang dinamakannya Sanggar Kreativitas Mahasiswa Muhammadiyah Kotabumi (Sangkar Mahmud).

Sebagai orang Lampung asli, Djuhardi memberikan perhatian khusus bagi perkembangan sastra tradisional Lampung. Djuhardi mengingatkan bahwa sastra tradisional Lampung adalah salah satu yang mendasari sejarah rakyat Lampung. Menurutnya, naskah-naskah klasik tersebut menjadi cerminan masa lalu Lampung. Untuk itu, sastra tradisional patut diperhatikan keberadaannya.

Seiring dengan berjalannya usia, Djuhardi berusaha menularkan ilmunya terhadap generasi muda yang diasuhnya. Baginya, sangat penting agar generasi muda turut berkarya menghidupkan kesastraan di Lampung. Apalagi, Lampung dengan keragaman etnis memiliki budaya yang khas, yang tidak dijumpai di daerah lain.
Saat ini generasi muda Lampung kebanyakan sudah lupa akan adat istiadat Lampung, sehingga pelestarian sastra tradisional dan adat serta tradisi Lampung menjadi penting baginya sebagai ulun Lampung.
Selain itu, Lampung cukup produktif dalam mencetak sastrawan-sastrawan muda dan pemerintah daerah Lampung juga turut berpartisipasi dalam membina kegiatan kesenian dan kesastraan di Lampung.

Djuhardi pernah aktif berkiprah di Dewan Kesenian Lampung. Ia pernah mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan DKL, salah satunya ia pernah meraih predikat sebagai sutradara terbaik pada festival teater yang diadakan oleh Dewan Kesenian Lampung. Saat ini ia aktif di Dewan Kesenian Lampung Utara dan kegiatan yang sedang ditekuninya adalah mengajar puisi dan drama serta menggarap berbagai naskah sastra dan teater bersama sanggar yang dibinanya.

Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 40-43.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart