Udo Z. Karzi

Udo Z. Karzi

Zulkarnain Zubairi — yang dalam dunia kepenulisan lebih dikenal dengan nama Udo Z. Karzi — dilahirkan di desa Negarabatin Liwa (sekarang: kelurahan Pasar Liwa), kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat, 12 Juni 1970 dari pasangan Zubairi Hakim dan Tria Qoti. Ia merupakan putra sulung dari lima bersaudara. Adik-adiknya bernama Riza Sofya, Yuzirwan, Silvia Diana, dan Lilia Aftika.

Zulkarnain Zubairi mengenyam pendidikan hingga menengah pertama di kampung halamannya. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Liwa sejak tahun 1977 hingga 1983. Selanjutnya, sekolah menengah pertama di SMPN 1 Liwa sejak tahun 1983 hingga 1986. Ketika memasuki masa pendidikan menengah atas, Zulkarnain Zubairi keluar dari tanah kelahiranya. Ia melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Bandarlampung sejak tahun 1986 hingga 1989. Tidak hanya sampai di jenjang pendidikan menengah atas, Zulkarnain Zubairi melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Ia memilih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Universitas Lampung sejak 1990 hingga 1996. Selain menjadi mahasiswa FISIP Unila, ia juga mengambil kursus D2 Akuntansi di Lembaga Pendidikan Fajar Agung, Bandarlampung (1989—1990). Dari Pendidikan akuntansi inilah ia sempat mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar ekonomi akuntansi SMAN dan MAN di kota kelahirannya pada tahun 1998.

Sejak kecil sampai SMP, Zulkarnain Zubairi belajar membaca Al Quran dengan kakeknya. Baginya agama merupakan sumber utama tentang nilai, etika, moral, dan akhlak. Dengan keyakinannya yang kental dalam beragama, Islam memengaruhi kehidupan Zulkarnain Zubairi. Pengaruh agama memang tidak terlihat secara langsung dalam karya-karyanya. Akan tetapi, Zulkarnain Zubairi berusaha untuk tidak bertentangan dengan Islam dalam melahirkan karya.

Zulkarnain Zubairi merasa beruntung walaupun menghabiskan masa kecilnya di pedesaan karena hobi membacanya tidak dibatasi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Ayahnya yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia sangat mendukung hobi membaca Zulkarnain Zubairi. Buku-buku bacaan Inpres yang dibawakan ayahnya kerap menjadi teman membaca Zulkarnain Zubairi. Selain itu, hobinya juga didukung temannya yang anak seorang Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan. Kebetulan pula dia memiliki karib yang memiliki hobi sama, yaitu almarhum ZA Mathika Dewa atau Zulkifli yang juga seorang penulis. Pertemanan keduanya menjadi erat karena mereka dapat saling mendukung dalam menyalurkan hobi membaca mereka.

Hobi membaca dan mengumpulkan tulisan-tulisan sastra sejak kecil mengantarkan Zulkarnain Zubairi menjadi seorang penulis. Ia senang membaca karya sastra, proses kreatif, dan biografi sastrawan-sastrawan terkenal. Melalui beragam bacaan karya sastra yang dibaca Zulkarnain Zubairi, ia mempelajari bagaimana para penulis tersebut bercerita, mengungkapkan gagasan, dan menyajikannya kepada pembaca. Zulkarnain Zubairi pun pada akhirnya terbiasa menuangkan segala sesuatu dalam bentuk tulisan. Sejak SD Zulkarnain Zubairi sudah menyenangi pelajaran mengarang bahkan ia bercita-cita menjadi penulis, cerpenis, novelis, penyair, atau sastrawan.

Suami dari Reni Permatasari ini tidak pernah memilih jenis buku yang dibacanya. Ia membaca semua jenis buku yang ditemuinya, seperti novel terjemahan: Charles Dicken, karya sastra: Atheis, roman picisan, bahkan stensilan (bacaan porno). Ketika melanjutkan pendidikan di SMA di Bandarlampung, hobi membacanya semakin tersalurkan karena SMA tempat ia menimba ilmu memiliki perpustakaan dan letak SMA-nya juga berdekatan dengan Perpustakaan Provinsi. Bacaan Udo semakin meluas, ia tidak hanya mengonsumsi bacaan dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Tidak hanya membaca, Zulkarnain Zubairi juga hobi mengkliping puisi, cerpen, esai, dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan esai. Akan tetapi, kumpulan tulisan tersebut saat ini tidak terdokumentasikan dengan baik.

Tulisan Zulkarnain Zubairi mulai dimuat di media massa sejak tahun 1987. Saat itu, karena pengaruh bacaan dan situasi kepenyairan di Lampung, ia menulis puisi, padahal pada awalnya ia lebih senang menulis cerita pendek. Setelah puisi-puisi Zulkarnain Zubairi dimuat di media massa, karya-karya selanjutnya terus berkembang, cerpen, cerita anak, artikel, dan esainya ikut meramaikan media massa di Indonesia.
Zulkarnain Zubairi mengaku sangat terinspirasi cerita-cerita anak cerita anak karangan Mansur Samin. Karya-karya Mansur Samin mampu memengaruhi pemikiran Zulkarnain Zubairi. Ia mendapatkan semangat perlawanan terhadap lingkungan yang feodalistik, ortodok, paternalistik, dan antikritik.

Zulkarnain Zubairi memulai karirnya sebagai wartawan lepas harian umum Lampung Post sejak tahun 1995—1996. Ia kemudian berkarir sebagai reporter majalah berita Mingguan Sinar di Jakarta pada tahun 1997. Pada tahun 1998, Zulkarnain Zubairi beralih profesi menjadi guru bidang studi ekonomi dan akuntansi SMAN 1 Liwa dan MAN Liwa, Lampung Barat. Pada tahun 1999—2000, Zulkarnain Zubairi kembali menggeluti bidang persuratkabaran dengan menjadi redaktur Sumatera Post. Tahun 2000—2006, Zulkarnain Zubairi kembali bekerja di tempat dia mengawali karir, sebagai jurnalis di harian Lampung Post. Pada tahun 2006 hingga saat ini ia beralih menjadi redaktur Borneo News, di Pangkalan Bun, Kalimantan.

Di samping memiliki pengalaman jurnalistik, ia juga memiliki beberapa pengalaman berorganisasi. Pengalaman pertamanya adalah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Unila pada tahun 1983—1994. Pada tahun 1994—1996, ia terpilih sebagai Pemimpin Umum Majalah Republica FISIP Unila. Selanjutnya, pada tahun 1995—1998, ia menjadi pembimbing majalah Ijtihad. Pengalaman berorganisasi Zulkarnain Zubairi yang terakhir adalah menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Organisasi ini digelutinya sejak tahun 2001 sampai sekarang.

Profesi Zulkarnain sebagai wartawan ini membuat ia sangat dekat dengan dunia tulis-menulis. Zulkarnain berpendapat bahwa profesinya sebagai seorang wartawan menghambatnya menjadi sastrawan yang sebenarnya karena ketika ia menulis sebagai seorang wartawan tulisannya haruslah sangat cair dan jelas. Hal tersebut sangat bertolak belakang ketika ia menulis untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Tokoh wartawan sekaligus sastrawan dan intelektual yang dikaguminya adalah Mochtar Lubis, Goenawan Mohammad, Hamka, dan Adinegoro.

Karya sastra yang baik menurut Zulkarnain Zubairi adalah karya yang mengandung nilai-nilai kejujuran, kearifan, kebenaran keterbukaan, kebebasan, keadilan, dan demokrasi. Untuk melihat kualitas karya sastra, Zulkarnain mempunyai tiga hal. Pertama adalah isi karya sastra tersebut. Karya sastra dapat dianggap menarik jika memuat kisah/gagasan yang baru atau asli. Kedua, keteraturan memakai kaidah tata bahasa, kosa kata, dan ejaan. Ketiga, pemaparan atau sistematika dalam penceritaan.

Tulisan Zulkarnain Zubairi banyak menyuarakan “kelampungan”. Ia berpendapat bahwa Lampung adalah lahan yang subur bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra. Akan tetapi, potensi tersebut tidak diikuti dengan perkembangan pemikiran kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.

Kumpulan Puisi dwibahasa Lampung-Indonesia berjudul Momentum (Dinas Pendidikan Lampung, 2002), misalnya, adalah salah satu bukti kepeduliannya atas kelampungan itu. Buku yang memuat 25 puisi Zulkarnain Zubairi sebagian merupakan refleksi dari perjalanan kehidupan Zulkarnain Zubairi dan sebagian lainnya merupakan kejadian atau hal yang menyentuh emosi dan perasaannya. Judul Momentum itu sendiri adalah semacam tekad untuk berbuat sesuatu yang bermakna dalam perjalanan hidupnya.

Selain menulis puisi, Udo Z. Karzi juga kerap menulis esai. Bagi Zulkarnain, esai adalah bentuk tulisan yang yang masuk akal, rasional, dan argumentatif walaupun terkadang bersifat subyektif. Meskipun subyektif, dalam menulis esai ia berusaha tidak menonjolkan ke”aku”annya dalam menyampaikan suatu gagasan dari sebuah fenomena.

Zulkarnain Zubairi menaruh perhatian besar terhadap perkembangan sastra etnik Lampung. Menurut Zulkarnain Zubairi, tidak ada perkembangan yang berarti pada sastra etnik Lampung, padahal sastra Lampung sebenarnya berpotensi untuk tumbuh dan menjadi besar. Keprihatinan dan kepedulian Zulkarnain Zubairi terhadap sastra Lampung ia tuangkan dalam tulisannya “Sastra (Berbahasa) Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan”.

Sementara itu, buku kumpulan 50 sajak berbahasa Lampungnya berjudul Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang Tak Malam, terbit 2007), pada tahun ini (2008) mendapat pengharhargaan Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang berada di Bandung. Penghargaan ini diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa ibu (daerah). Hadiah Rancage pertama kali diberikan pada 1989, hanya diberikan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Akan tetapi, pada tahun-tahub berikutnya, para sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah lain, yaitu Jawa (sejak 1994), Bali (sejak 1998), dan Lampung (sejak 2008) juga mendapat penghargaan ini.

Dalam melahirkan karya sastra Zulkarnain Zubairi tidak pernah menggunakan nama aslinya. Ia menggunakan banyak nama samaran dalam berkarya, yaitu Joel K. Enairy, Kantek Joel Kz, Yuli Karnaty, Mamak Kenut, Z. Karzi, dan terakhir Udo Z. Karzi. Karya-karya Zulkarnain Zubairi tersebar di berbagai media massa, seperti surat kabar mahasiswa Teknokra, majalah Republica, tabloid Raden Intan, harian Lampung Post, Trans Sumatera, Tamtama (sekarang Lampung Ekspres), Sumatera Post. Merdeka, Pelita, Suara Karya, Simponi, Swadesi, dan Sahabat Pena.


Selain dimuat dalam berbagai media massa, karya-karya Zulkarnain Zubairi juga memperoleh beberapa penghargaan. Berikut ini beberapa karya dan penghargaan terhadap karya-karya Zulkarnain Zubairi:
1. Puisi “Bagaimana Mungkin Aku Lupa” menjadi Juara II Lomba Menulis Puisi Naratif Festival Krakatau IX tahun 1999;
2. Kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesia: Momentum terbitan Dinas Pendidikan Lampung tahun 2002;
3. Puisi “Damba’ dalam buku Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh, Teknokra tahun 1995;
4. Puisi “Bebas” dalam buku Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh, Teknokra tahun 1995;
5. Puisi “Jalan yang Terbentang” dalam buku Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh, Teknokra1995;
6. Puisi “Di Masjid” dalam buku Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh, Teknokra tahun 1999;
7. Sajak “Liwa” dalam Lampung Kenangan, Krakatau Award 2002 terbitan Dewan Kesenian Lampung tahun 2002;
8. Konser Ujung Pulau terbitan Dewan Kesenian Lampung tahun 2003,
9. Pertemuan Dua Arus terbitan Jung Foundatin tahun 2004;
10. Maha Duka Aceh terbitan PDS H.B. Jassin tahun 2005;
11. Cerpen ‘Aing” dan “Lari” termuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (YMS, tahun 2002);
12. Cerpen “Harga Diri” dalam surat kabar Teknokra tahun 2000;
13. Cerpen “Tumi Pergi ke Kota” dalam Trans Sumatera tahun 2000;
14. Esai “Begitulah Cinta” dalam Etos Kita : Moralitas Kaum Intelektual tahun 2003;
15. Esai “Tradisi Lisan Lampung yang Terlupakan” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
16. “Hujan Sastra (sastrawan) Lampung Memang Tidak Merata” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
17. “Sastra (Berbahasa) Lampung, dari kelisanan ke Keberaksaraan” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
18. “Tradisi Dipuja, Tradisi Digugat” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
19. “Sastra Modern (Berbahasa) Lampung, dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
20. “Suatu Senja Sebuah Pekon Sedendang Dadi” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
21. “Anak-Anak Muda Semakin Jauh dari Tradisi” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
22. “Sastra Lisan Dadi” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005,
23. “Nggak Gaul Kalau Enggak bisa Nyuara” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005;
24. “Kecintaan pada Seni Tradisi Terpupuk sejak Lama” dalam Kebangkitan Sastra Lampung, tahun 2005.
25. Buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi (diterbitkan BE Press, Bandarlampung, 2007) meraih Hadiah Sastra Rancage 2008

Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 184-191.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart