Tita Tjindarbumi Merajut Kata

Oleh Dian Wahyu Kusuma

Tita Tjindarbumi

KIOS buku di perempatan Enggal, Bandar Lampung (sekarang Tugu Adipura), itu didatangi mobil berisi tumpukan buku. Penerbit Marata asal Bandung itu mendrop komik baru. Sekala itu pula Nita kecil langsung membaca komik di kios buku milik orang tuanya.

“Kalau ada komik baru aku yang pertama kali baca,” kata Nita Tjindarbumi, mengingat masa kecilnya pada diskusi dengan Forum Lingkar Pena dan Lampung Post, dua pekan lalu.

Nita menceritakan itu sebagai awal ketertarikannya kepada dunia tulis-menulis. Kini, puluhan karya tulis dan buku sudah terbit dari tangan dan pikirannya yang bekerja sama. Dan, nama Tita Tjindarbumi adalah trade mark untuk pengembaraannya di dunia korespondensi.

Namun, Nita bukan sekadar penulis. Sejak awal pula, ia suka dengan aneka pekerjaan. Salah satunya merajut tali-temali benang menjadi barang-barang semisal tas. Tas warna pink yang dipakainya sore itu juga hasil rajutannya sendiri.

Nita belajar merajut secara autodidak, dan ia menularkan keahliannya lewat bukunya berjudul Bikin Rajut Yang Gaya Yuuuk. Kini, aktivitas Nita juga merajut, bukan kata-kata yang dirajutnya, tapi benar-benar rajutan asli dari benang wol untuk dibuat tas dan hiasan.

Ibu 50 tahun ini sudah banyak menerbitkan karya tulisan. Tulisan pertamanya muncul di majalah Anita Cemerlang pada 1982. “Dari satu bulan dua kali terbit, menjadi satu minggu sekali terbit, terasanya itu baru sekarang ternyata banyak yang membaca juga, tahunya dari media sosial Facebook ternyata ada yang membaca tulisan kita,” kata Nita.

Penulis, pengacara, dan suka merajut kain ini hampir tiap minggu tulisannya masuk di media koran maupun majalah mingguan. Selain menulis cerpen, ia juga pernah menjadi reporter di media Liberti Surabaya, majalah Editor, majalah Delix, dan Surabaya Pagi.

Bakat menulis Nita sudah ada sejak bangku sekolah dasar. Saat pelajaran mengarang bebas, Nita bisa mendapat nilai 90 atau 100 di kelasnya. Bahkan di SMP, SMA ia aktif menulis di majalah dinding sekolahnya. Menulis biasa, menulis cerpen, dan puisi. “Menulis itu naluri saja, tanpa belajar,” kata ibu dua anak ini.

Nita menilai menulis itu harus jelas tujuannya untuk apa. Ia mengkritik novel yang tebal. “Halaman tebal-tebal itu sebenarnya isinya apa sih. Orang Indonesia itu mencari uang saja sudah capek, apalagi mau membaca,” ujarnya.

Wanita kelahiran Tanjungkarang, 12 Januari 1964 ini sejak SMA tinggal di Surabaya. Nita keluar dari Lampung sejak 1982. Ia pindah ke Surabaya karena ada om yang mengajaknya sekolah di sana. Pada saat itu juga sekolah di Lampung masih kurang bagus, minim, belum seperti sekarang.

Menurut Nita, seorang penulis fiksi dan nonfiksi membutuhkan imajinasi. “Imajinasi itu seperti mesin, harus sering dipakai, kalau tidak dipakai nanti berkarat, harus latihan,” kata Nita.

“Menulis buku itu apa yang ingin kita sampaikan, apa yang kita inginkan dan sampaikan pada pembaca, pertimbangan yang betul-betul masuk akal,” ujarnya.

Menurutnya, orang menulis banyak sekali ide, tapi kemudian tidak jadi membuat buku. Ide bisa diberikan pada orang lain, ketika ditulis orang tersebut kita juga bangga.

Menurut Nita, menulis puisi itu tidak bisa hanya ditulis saja, tapi tiap kata dan kalimatnya punya makna. Intinya menulis puisi itu berusaha untuk menyembunyikan sesuatu yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca.

Ia belajar menulis metafora dengan seniornya Sukri. Menurut hasil belajarnya, kalau mau menulis atas burung ya burung saja, kalau bawah air tentang ikan ya ikan, jangan menulis ikan dan burung.

Menulis puisi itu tidak mudah, itu kalimat pengumpatan, misal pengemis kita harus melihat langsung dan sekelilingnya, berbeda kalau fiksi kita bisa berandai-andai. Menulis nonfiksi itu tentang riset dan data.

Nita kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Saat kuliah dulu, Nita mengaku mengandalkan uang honor menulisnya untuk membiayai kuliah dan hidupnya sepanjang kuliah. “Dari kuliah sampai selesai itu hasil dari uang honor menulis,” kata Nita.

Penulis itu harus disiplin, kalau punya komitmen satu hari dua artikel dikerjakan konsisten, ceritakan mulai kejadian yang dialami selama satu hari. Untuk mendapatkan ide menulis, stamina penulis juga harus bagus. “Bukan pelari saja, duduk selama 3—4 jam siapa coba yang betah.”

Selama menulis ini Nita mengaku belum puas. Baginya kalau sudah puas pasti tidak akan menulis lagi. “Selalu ada rasa memperbaiki karya. Tetap berjuang supaya lebih baik lagi, setelah flash back ke belakang, oo ternyata setelah aku menulis, teman-teman SMP tahu, aku penulis ya mereka enggak kaget,” kata dia.

Jika berkunjung ke Taman Baca Masyarakat (TBM), Nita selalu memotivasi penjaga bukunya untuk tidak hanya duduk diam, memperhatikan pengunjung, dan mencatat buku, tapi juga bisa membaca selama menjadi penjaga di TBM.

Nita memberi tips, untuk penulis pemula itu harus punya outline supaya tulisan tidak lari ke mana-mana, ada pagarnya dan buat sinopsis.

Sudah menulis kisah inspiratif, kisah wirausaha. Bagi Nita, menulis itu cocok atau tidak, menghibur atau tidak, dan harus punya manfaat. Ia juga aktif mengikuti perkembangan menulis di grup sosial media seperti Facebook. Seperti menulis novel, menulis komedi, dan menulis puisi. (M1)

Sumber:
Lentera, Lampung Post, Minggu, 20 April 2014

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart