Tirza Hanum (1947-…): Guru Besar Perempuan Pertama di Lampung

IA termasuk salah satu perempuan yang bisa mengenyam pendidikan sampai jenjang paling tinggi, meraih guru besar bidang teknologi pangan. Berkat kerja keras dan kegigihannya, dominasi dan sinisme sejumlah kaum lelaki terhadap bidang ilmu yang ditekuninya bisa ditaklukan perempuan kelahiran Padang Panjang, 3 Februari 1947 ini.

Dibesarkan di lingkungan keluarga berpendidikan tinggi, membuat Tirza Hanum tidak punya pilihan kecuali belajar keras agar bisa berhasil meraih sarjana seperti kakek, om, tante, dan saudara-saudaranya. Tidak tanggung-tanggung, Tirza muda mendobrak dominasi lelaki di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sejak menapakkan kaki di kampus ITB, Tirza Hanum tidak pernah membayangkan akan berdiri di depan kelas memberikan kuliah. Yang ada di benak anak keempat dari tujuh bersaudara ini adalah bekerja di dunia industri.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Setelah menikah dengan Drs. Zoelfikar Zoebir, Tirza terpaksa memilih dosen sebagai profesi. Selain di Lampung belum terbuka pekerjaan di bidang itu, Tirza juga harus pandai-pandai membagi waktu untuk mengurus keluarga.

Saat itu, ia ditawari Tagor Lubis, dosen senior di Unila, yang saat itu sedang merintis Fakultas Pertanian Unila. Tirza yang pindah ke Lampung tahun 1974 akhirnya mulai mengajar pada 1975. Ia mengajar ilmu-ilmu dasar karena ia memang bukan orang pertanian.

Kini, 33 tahun sudah ibu dari Vicky Tanka Zoelfikar, Tizzy Tanka Zoelfikar, dan Saphira Tanka Zoelfikar ini menggeluti dunia pendidikan. Bersama dengan perjalanan waktu, Tirza makin mencintai profesinya.

“Ternyata mengajar itu memberikan kepuasan tersendiri. Kalau diperkenankan, saya ingin mengajar sampai akhir hayat. Selama belum dipensiunkan, saya akan terus mengajar. Tapi, memang suatu waktu saya harus mundur. Setelah saya tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas lagi. Ketika mahasiswa saya sudah mulai takut melihat wajah saya yang keriput. Itulah saatnya saya harus mundur. Kalau tidak mundur, ketika mengajar saya tiba-tiba hang begitu, nanti mahasiwa saya bingung,” kata dia.

Meski bukan termasuk dosen killer, Tirza dikenal sebagai dosen yang tegas. Saat kuliahnya, jangan coba-coba berulah jika tidak ingin dihujani berbagai pertanyaan.

“Saya bukan dosen killer. Memang sih, sebagian besar mengatakan saya orang yang straight, tegas. Tapi jarang yang bilang saya galak. Tapi makin kesini kayaknya saya makin galak. Kalau ada mahasiswa yang ngobrol, saya kirimkan pertanyaan kepada dia supaya dia kembali memperhatikan saya. Di balik itu, saya juga makin rileks dalam mengajar. Banyak bercandanya juga, meski sedikit tegas,” kata dia.

Sikap tegas juga diterapkan Tirza dalam menerapkan pendidikan pada ketiga putra-putrinya. Sejak mereka masih kecil, Tirza yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga berpendidikan selalu menekankan prestasi akademik pada anak-anaknya.

“Pendidikan penting buat saya. Ibu saya juga selalu bilang tidak bisa memberikan harta tapi pendidikan. Ibu saya mengutamakan pendidikan. Dari tujuh bersaudara, hanya kakak saya yang tertua yang tidak lulus sarjana. Empat lulusan ITB dan dua lulusan kedokteran. Dan pola pendidikan ibu itu yang saya tiru dan terapkan pada anak-anak.

Sebab itu, saya sangat ketat dengan anak-anak karena saya punya sasaran mereka harus menyelesaikan pendidikan tertinggi,” kata dia.

Pada awalnya, Tirza memilih kuliah pada Jurusan Teknik Kimia dengan harapan bisa bekerja di bidang industri setelah menjadi sarjana. Untuk itu, Tirza harus berjuang menyelesaikan kuliahnya, termasuk mengalahkan sinisme dosen-dosennya.

“Waktu saya masuk ITB tahun 1967, belum apa-apa dosennya sudah sinis. Saya masih ingat, waktu itu Dr. Khokhian Ho bilang, kenapa kalian ini perempuan-perempuan masuk Jurusan Teknik Kimia. Waktu itu kami marah sekali. Mungkin waktu itu dia berpikir perempuan tidak cocok di jurusan ini karena di industri yang diperlukan tenaga laki-laki. Tapi, dengan sinisme itu, saya makin semangat,” kata doktor lulusan Michigan State Univercity, Amerika Serikat itu.

Tirza pun menyadari puncak karier seorang guru itu adalah guru besar. Bukan rektor atau pembantu rektor. Sebab itu, ia pun terus kuliah. Setelah menjadi dosen, lalu kuliah S-2. Selanjutnya, melanjutkan program S-3. Ia dikukuhkan menjadi guru besar bidang teknologi pangan tahun 1998. Untuk meraih gelar profesor pun, Tirza relatif tidak banyak mengalami hambatan.

Bagi Tirza, mengajar itu merupakan suatu kepuasan. Sebab itu, jika disuruh memilih mengajar atau jabatan di bidang akademik, Tirza lebih memilih mengajar.

Dalam hal pendidikan anak, ia sangat ketat karena punya sasaran anak harus lulus pendidikan tertinggi. Sehingga dalam pendidikan disiplin, penataan alokasi kegiatan dan pendanaan itu selalu terkonsentrasi pada pendidikan. “Asal untuk pendidikan sudah selesai, oke, kita boleh rileks, kita boleh santai,” ujarnya.

Dalam mendidik anak, Tirza tidak hanya menekankan pada pendidikan formal di sekolah, tapi juga pendidikan non formal. Nonformal itu dalam pembentukan life skill. Dalam tata krama, agama, kemudian dalam prinsip hidup, jujur, kerja keras, itu yang ia utamakan.

Bagi Tirza, pendidikan itu penting. Sebab, dengan pendidikan, kita bisa berpikir positif, dan bisa nyaman dengan diri sendiri.

Tirza mengaku masa kecilnya menyenangkan. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini, sejak kecil hingga SMP, mengaku senang karena ayahnya yang pejabat di pemerintahan sering berpindah-pindah.
Namun, mereka sempat mengalami masa transisi, masa yang kurang enak karena adanya pemberontakan di Sumatera Barat. Ayahnya berhenti dari pekerjaannya karena dianggap terlibat pemberontakan dan dipensiunkan dini.

Sang ayah lalu beralih profesi menjadi pengusaha, tapi ternyata tidak terlalu berbakat. Tapi, sejak itulah ibunya makin ketat mengawasi anaknya agar berjuang agar terlepas dari ketidaknyamanan itu. “Ibu saya mengutamakan pendidikan,” ujar Tirza. Maka, dari tujuh bersaudara, hanya kakak Tirza tertua yang tidak lulus sarjana. Empat lulusan ITB dua lulusan kedokteran. n

BIODATA

Nama: Prof. Ir. Tirza Hanum, M.S., Ph.D.
Lahir: Padang Panjang, Sumatera Barat, 3 Februari 1947
Suami: Drs. Zoelfikar Zoebir (apoteker)
Anak:
– Vicky Tanka Zoelfikar, S.T., M.M.
– Tizzy Tanka Zoelfikar, S.E.
– Saphira Tanka Zoelfikar, S.Si.
Ayah: H. St. Kamaruddin
Ibu: Hj. Anizah
Anak ke: Empat
Saudara kandung:
– H. Ir. St.Fachruddin
– Hj. Dr. Isramiharti
– H. Ir. St. Rafdinal Rasyid
– Dr. St. Amrin Alkamar
– Ir. Rita Adriani

Alamat rumah: Jalan Dahlia, Rawa Laut, Bandar Lampung

Riwayat pendidikan:
– S-1 Teknik Kimia ITB Bandung, 1974
– S-2 Ilmu Pangan IPB Bogor, 1983
– S-3 Ilmu Pangan Michigan State University, Amerika Serikat, 1995

Moto hidup: Kasih sayang dan lillahi ta’ala

Karier:
– Dosen
– Pembantu Dekan Fakultas Pertanian
– Ketua Persiapan F-MIPA
– Pembantu Rektor I Bidang Akademis Unila

Prestasi:
1. Dosen Teladan II Fakultas Pertanian Unila (1984)
2. Harapan II Lomba Penelitian, USAid (1989)
3. Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia (2006)

Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 214-217.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart