Tekad Fitri Yani mendalami bahasa ibunya melahirkan Suluh, buku kumpulan puisi bersampul merah berpredikat Rancage Award 2014.
![]() |
|
Fitri Yani |
MEDIO 2005. Gadis berkulit putih itu berdiri bergeming. Sebuah untaian pantun baru saja menelusup ke dalam gendang telinganya. Tubuhnya bergetar dan merinding. Bukan karena tak paham artinya, melainkan ia tak mampu menjawabnya.
Seorang lelaki muda berdiri di hadapannya, menunggu pantunnya berbalas dari sang gadis. Apa daya, selendang panjang telah dikalungkan, untaian pantun telah diucapkan, tetapi tak satu pun bait terlontar dari bibir tipis sang gadis.
Yang ada hanyalah lirih suara gong sayup-sayup dari kejauhan serta riuh muda-mudi lain yang berbalas pantun di ruangan itu. Muka si gadis merah merona karena harus menanggung malu. Dirinya tak mampu mengikuti upacara adat nyambai hari itu dengan baik.
Nyambai merupakan kegiatan berbalas pantun antara muli dan mekhanai Lampung saat berlangsungnya acara pernikahan. Budaya ini masih terpelihara di tanah Liwa, tempat kelahiran si gadis. Sejak saat itulah, Fitri Yani, demikian namanya, merasa perlu belajar lebih tentang kebudayaan dan bahasa di tanah leluhurnya.
“Saya sangat malu saat itu karena tak bisa berpantun menggunakan bahasa Lampung,” ujar Fitri Yani usai menuturkan kenangan itu.
Kejadian itu dirinya alami ketika masih duduk di bangku SMA kelas XII. Rasa malu yang menyengatnya saat itulah yang memberinya tekad untuk mengenal lebih dalam bahasa ibunya.
Meski Fitri mengaku selalu menggunakan bahasa Lampung setiap berkomunikasi dengan anggota keluarganya, ia tak pandai berpantun dalam bahasa Lampung kala itu, berbeda dengan rekan rekan sejawatnya.
Gadis kelahiran 28 Februari 1986 itu mengakui memang sempat meninggalkan kebudayaan berkomunikasi menggunakan bahasa daerah tersebut sejak memutuskan bersekolah di Bandar Lampung.
Akan tetapi, susai kejadian itu, Fitri lebih sering bertanya tentang kebudayaan Lampung kepada orang tuanya yang lebih mengerti. Hingga akhirnya Fitri sedikit banyak memahami kebudayaan Ruwa Jurai itu. Kini dirinya tak merasa malu lagi jika harus ikut nyambai ketika pulang ke kampung halaman.
Gadis yang kini aktif menjadi koordinator kelas menulis di Komunitas Berkat Yakin (Kober) ini tak hanya mampu berbalas pantun dalam bahasa ibunya. Dirinya juga kerap menulis karya sastra berupa puisi dalam bahasa Lampung.
Sastra memang menjadi panggung yang membesarkan namanya. Sejak SMA, sulung dari lima bersaudara ini sudah bergelut dengan berbagai kegiatan sastra. Alumnus SMAN 8 Bandar Lampung ini beberapa kali mengikuti lomba penulisan puisi dan menjadi juara.
Gadis yang sejak dulu menyukai pelajaran mengarang ini akhirnya memantapkan pilihannya ketika melanjutkan jenjang pendidikan di universitas. Meski menjadi mahasiswa di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Fitri tetap menggeluti bidang sastra di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila.
Tak sedikit pengalaman yang dirinya peroleh. Bergabung dengan komunitas yang akhirnya mengenalkannya kepada sastrawan sastrawan Lampung seperti Isbedy Stiawan, Iswadi Pratama, dan Ari Pahala Hutabarat.
Berbagai karya dan pementasan dirinya ikuti. Hingga pada 2009 Fitri berkesempatan untuk hadir dalam Radar Bali Literary Award sebuah penghargaan, karena karya puisinya yang berjudul Di Depan Pintu Pertokoan menjadi lima terbaik nasional.
Tak hanya itu, Fitri juga kerap mendapatkan undangan dalam berbagai pertemuan sastrawan baik nasional maupun internasional. Terakhir pada 2012 lalu dirinya diundang pada Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarbangsa, di Pangkor, Malaysia, bersama dengan Isbedy Stiawan.
Di tengah kesibukan dan rutinitasnya yang kini menjadi pengajar di SMP Global Surya, Fitri kini menjadi koordinator kelas menulis di Kober yang sejak 2009 dia ikuti. Di Kober-lah Fitri mengaku memulai menulis berbagai puisi dalam bahasa Lampung. “Saat itu Ari Pahala Hutabarat yang pertama kali menyarankan,” ujarnya.
Hingga berbagai puisi tersebut menjadi sebuah buku kumpulan puisi bahasa Lampung. Suluh, kata berbahasa Lampung yang berarti ‘merah’, menjadi judul buku itu. Sesuai dengan warna sampulnya, buku merah yang mengantarkannya meraih Rancage 2014 lalu.
Karyanya itu akhirnya mengantarkan Fitri Yani meraih Hadiah Sastra Rancage 2014 lalu. Penghargaan sastra berlevel nasional yang diperuntukkan sastrawan yang dianggap turut serta melestarikan budaya tanah kelahirannya.
Meski kini dikenal sebagai salah satu sastrawan wanita di Lampung, gadis 28 tahun ini mengaku tak semata ingin dikenal. “Bukan eksistensi, tetapi inilah pilihan hidup saya untuk berkesenian,” ujar Fitri menutup wawancara di Sekertariat Kober malam itu.
Masih Tertinggal
Meski telah lama menulis puisi, Fitri mengaku tak jarang mengalami kesulitan ketika harus menuliskannya dalam bahasa Lampung. “Harus benar-benar belajar dari awal,” ujarnya dengan tatapan yang meyakinkan.
Menurut Fitri, sebelum menulis dalam bahasa Lampung, dia harus mencari metafora-metafora yang biasa dipakai masyarakat Lampung. Alhasil, dia lebih sering menghubungi kedua orang tuanya untuk sekadar bertanya tentang kosakata.
Fitri merasa puas dapat menyuguhkan sebuah karya berbahasa lampung. Dia pun teringat pesan kedua orang tuanya. “Mau belajar bahasa asing apa pun jangan pernah melupakan bahasa Lampung,” katanya menirukan pesan orang tuanya tersebut.
Akan tetapi, Fitri kecewa ketika dirinya menemukan fakta baru saat mengikuti ajang Rancage 2014. “Ternyata sastra Lampung masih jauh tertinggal dari sastra daerah lain,” ujarnya.
Hal tersebut dikatakan Fitri karena dalam ajang penghargaan bagi sastrawan yang menulis dalam berbagai bahasa daerah itu, karya sastra berbahasa Lampung menjadi karya yang paling sedikit. “Hanya ada dua karya sastra berbahasa Lampung yang diajukan, yaitu karya sastrawan Udo Z. Karzi yang menulis bersama Elly Dharmawanti dan karya saya,“ kata Fitri.
Fitri mengaku iri dengan karya sastra daerah lain yang bisa mencapai puluhan karya. Fitri berharap kelak lebih banyak masyarakat Lampung yang tertarik menulis karya karyanya dalam bahasa lampung.
Sebab, menurutnya, hal tersebut dapat mengangkat budaya daerah Lampung di tingkat nasional maupun internasional. Atas dasar ini, Fitri berharap munculnya penulis-penulis baru bidang sastra berbahasa Lampung.
Berlatih Menulis
Jika sebagian besar orang menganggap menulis adalah mengandalkan inspirasi, Fitri adalah orang yang tak sepakat dengan pernyataan tersebut. “Tak selamanya menulis itu hanya mengandalkan inspirasi, tetapi pengetahuan jauh lebih penting,” ujarnya.
Maka itu, untuk menjadi seorang penulis, menurut Fitri, seseorang mesti banyak memiliki referensi dan giat berlatih. Hal tersebut yang diakuinya menjadi bekal menulis selama ini.
Sejak SMP Fitri senang membaca. Berbagai buku bacaan menjadi langgananya. Hal tersebut yang menurutnya berpengaruh dengan kemampuanya menulis sampai saat ini.
Selain itu, sejak di bangku sekolah ia kerap menulis buku harian. “Bertumpuk-tumpuk buku harian masih saya simpan,” kata Fitri sambil mengembangkan senyumnya. Buku-buku yang menjadi bukti menulis menjadi rutinitasnya sejak lama.
Selain itu, menurut Fitri, menulis juga membutuhkan guru. Hal tersebutlah yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan komunitas menulis di Kober. Sebab, di komunitas tersebut Fitri mendapat pengetahuan dari para seniornya di bidang sastra.
Kini setiap Rabu dan Sabtu malam Fitri selalu hadir di sebuah rumah yang berlokasi di daerah Gunungterang, Bandar Lampung, itu. Di Sekretariat Kober itu dirinya rutin berlatih bersama dengan beberapa penulis lain. Merangkai kata demi kata hingga menjadi karya abadi. (S3)
BIODATA
Nama lengkap: Fitri Yani
Tempat/tanggal lahir: Liwa, Lampung Barat, 28 Februari 1986
Pendidikan:
– SD Negeri 1 Sebarus Liwa
– SLTP 1 Negeri Liwa
– SMUN 8 Bandar Lampung
– FKIP PPKN Universitas Lampung
Organisasi:
– Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila
– Komunitas Berkat Yakin (Kober)
Penghargaan:
– Hadiah Sastra Rancage 2014
Karya
– Dermaga Tak Bernama (kumpulan sajak, 2010)
– Suluh (kumpulan sajak Lampung, 2013)
Sumber: Inspirasi, Lampung Post, Sabtu, 8 Maret 2014
Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Sabtu, 8 Maret 2014
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky