Warga keturunan etnis Tionghoa ini lahir di Kotabumi, Lampung Utara, pada 29 Oktober 1917. Tahun 1925, keluarga Tan Seng Beng pindah dari Kotabumi ke Telukbetung.
Dalam usianya yang masih muda ia mulai bekerja pada pamannya yang memiliki perusahaan singkong. Setelah memiliki cukup modal ia membuka usaha sendiri di bidang jual beli hasil bumi.
Nama usahanya Seng Hong Wan yang dahulu berada di Jalan Irian. Kini daerah itu bernama Jalan Ikan Hiu. Tan Seng Beng menikah dengan Ang Kim Hoa (Sri Dewi), gadis yang dibawa ibu kandungnya dari China. Pernikahan dilaksanakan tahun 1948. Dari pernikahan ini, ia dikarunia 10 anak, 5 laki-laki dan 5 perempuan.
Pada zaman perjuangan melawan Belanda dan Jepang, Tan Seng Beng berperan penting karena sebagai penyuplai bahan makanan, obat-obatan, dan senjata untuk para pejuang Lampung.
Bahan-bahan tersebut diperolehnya dari Singapura melalui teman-teman dekatnya yang tinggal di sana. Pembeliannya dilakukan dengan barter. Para pejuang dan masyarakat di Lampung mengumpulkan hasil bumi berupa rempah-rempah untuk di jual ke luar negeri. Hal ini karena penjajah membeli hasil bumi masyarakat dengan harga sangat murah.
Komoditas perdagangan yang utama, yaitu kopi, lada, dan karet. Kondisi ini memaksa para pejuang memutar otak untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan, pakaian, amunisi, dan persenjataan.
Kebetulan Tan Seng Beng seorang negosiator perdagangan yang andal. Ia bisa berbicara dalam bahasa Belanda, Jepang, Mandarin, dan Melayu. Aksesnya ke luar negeri digunakannya untuk membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hasil bumi Lampung ia jual ke Singapura dengan menggunakan kapal laut dari kayu. Untuk sampai di sana ia butuh waktu berbulan-bulan. Bahkan, beberapa kali tertangkap petugas keamanan negara itu. Tapi, berbagai upaya terus dilakukannya untuk sampai ke Singapura.
Di Singapura, hasil bumi yang dibawanya dari Lampung ditukar dengan obat-obatan, bahan pakaian tentara (dril), sepatu, amunisi, dan persenjataan. Tahun 1940-an, Tan Seng Beng sudah memiliki tiga kapal yang biasa digunakan memuat barang-barang dagangannya. Ketiga kapal itu diberi nama Sindoro 1, Sindoro 2, dan Sindoro 3. Rute yang sering dilalui, yaitu dari Singapura lewat Selat Malaka, kemudian Palembang dan masuk Lampung melalui Sungai Tulangbawang di Kabupaten Tulangbawang.
Rute ini dianggap paling aman dibanding dengan mendarat di Panjang atau Kalianda. Sebagai pengusaha sukses kala itu, Tan Seng Beng juga membuat penggilingan padi di Kotaagung dan Talangpadang. Dari sinilah suplai bahan makanan untuk para pejuang dikirim.
Dalam perjuangan melawan penjajah di Lampung, Tan Seng Beng lebih dikenal sebagai tim medis. Pengetahuannya tentang pengobatan didapat dari teman-temannya yang berprofesi sebagai dokter. Atas anjuran beberapa teman-temannya inilah ia mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) untuk para pejuang dan warga korban peperangan.
Tan Seng Beng bergerak cepat begitu melihat ada orang yang terluka. Kemudian, ia mengangkutnya menggunakan jip ke tenda pengobatan.
“Saat saya umur 10 tahun, di rumah itu banyak obat-obatan untuk infeksi luka dan sakit malaria. Di sudut-sudut rumah juga banyak senjata yang akan digunakan para pejuang,” ujar Willy Buana, anak kedua Tan Seng Beng.
Selama perjuangan, Tan Seng Beng pernah beberapa kali dimasukkan tahanan. Pada masa peralihan penjajahan Belanda ke Jepang, ia ditahan di Lahat, Sumatera Selatan, bersama para pejuang Indonesia dan tentara Belanda yang dilucuti. Tentara Jepang menuduh para pejuang ini bekerja sama dengan Belanda untuk melawannya. Dalam tahanan itu, mereka diberi makan nasi bercampur gabah.
Teman-teman akrab seperjuangan Tan Seng Beng, yaitu Mr. Gele Harun, Ryacudu, Raden Muhamad, dan Zainal Abidin Pagar Alam. Setelah Indonesia merdeka, para veteran ini pun masih sering berkumpul bareng di rumah Tan Seng Beng. Kadang mereka berkumpul di Societiyt, lokasi yang kini digunakan sebagai Gedung Juang. Dahulu lokasi itu pernah disewa Tan Seng Beng untuk usaha bioskop yang diberi nama Bioskop King.
Sebagai seorang pejuang kemerdekaan, ada satu hal yang membuatnya kecewa, yaitu ketika ada pihak-pihak tertentu yang meragukan nasionalismenya. Veteran dengan pangkat mayor ini pun rela menyobek surat pensiun dan veterannya. Kekecewaan itu pula yang membuatnya enggan ke Jakarta menghadiri undangan penghargaan dari pemerintah untuk para veteran.
Kenangan pahit pernah dialami keluarganya ketika runtuhnya pemerintahan Bung Karno, sekitar tahun 1965. Kondisi begitu mencekam. Demonstrasi terjadi di mana-mana, termasuk Lampung.
Waktu itu ia termasuk pengusaha sukses. Rumahnya pun paling mewah dibanding dengan rumah warga umumnya. Belum ada rumah yang memakai kaca selain rumahnya. Karena dilihat paling mewah, rumahnya menjadi sasaran para demonstran. “Rumah kami pernah dilempari, kaca-kaca rumah berantakan. Di rumah itu ada ibu dan sepuluh anaknya, termasuk saya. Sementara itu, ayah tetap mempertahankan kantornya yang sekarang ada Jalan Ikan Hiu,” kenang Rita Buana, salah seorang putri Tan Seng Beng.
Pada masa itu, Tan Seng Beng juga pernah ditahan selama sepekan di tahanan Durian Payung bersama dokter Wi Eng Yoa. Ia dituduh ikut mendanai Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi setelah dinyatakan tidak terbukti, ia pun dibebaskan.
Dalam lingkungan keluarganya, Tan Seng Beng terkenal sebagai sosok yang sederhana, sosial, dan dermawan. Meski memiliki mobil banyak, ia lebih suka ke kantor dengan bersepeda atau Vespa kesayangannya.
Sifat itu diterapkan dalam mendidik anak. Keteladanan sebagai seorang ayah ditunjukkan dengan bersikap lembut. Nasihat tidak diberikan lewat ucapan, tapi dengan perbuatan. Ia tidak pernah memarahi anak-anaknya. Kalaupun terpaksa harus memarahi anaknya, Tan Seng Beng biasanya menulis sebuah surat yang isinya ungkapan kemarahan.
Sejak sepeninggalan istrinya tahun 1999, Tan Seng Beng mulai sakit-sakitan. Beberapa penyakit yang dideritanya, yaitu jantung, diabetes, lever, dan penyakit komplikasi lain. Pada 19 Maret 2004, pejuang dan pengusaha sukses ini menutup mata di usia 87 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Natar, Lampung Selatan. n
BIODATA
Nama: Tan Seng Beng (Surya Buana)
Tempat/tanggal lahir: Kotabumi, 29 Oktober 1917
Agama: Buddha
Meninggal: 19 Maret 2004
Ayah: Tan Yin Siok
Ibu: Lien Li Nio
Nama istri: Ang Kim Hoa (Sri Dewi)
Anak:
1. William Buana
2. Willy Buana
3. Willing Buana
4. Wilson Buana
5. Rita Buana
6. Linda Buana
7. Wilton Buana
8. Hilda Buana
9. Farida Buana
10.Finda Buana
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 37-40.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky