Supeni Pahlawan Lingkungan

SEKILAS rumah di sebuah gang di Lingkungan V, Kelurahan Sawahlama, ini tampak biasa. Bangunannya tidak mewah dan tidak luas. Bahkan rumah yang dihuni Supeni dan dua anaknya ini adalah bangunan tua yang diwariskan.


Berkat keuletan dan semangat untuk mewujudkan lingkungan hijau, rumah Supeni terpilih sebagai percontohan rumah sehat dan hijau. Bahkan Supeni pun mendapat penghargaan dari Wali Kota Bandar Lampung sebagai sosok peduli lingkungan.

Rumah Supeni terletak di gang sempit. Tampilan rumahnya sangat mencolok dan berbeda dengan rumah yang ada di sepanjang gang. Dari jauh sudah terlihat hijau karena banyak sekali tumbuhan yang ditata rapi di halaman depan dan belakang rumah. Hampir semua halaman tidak dibiarkan kosong. Bunga dan tanaman hias menjadi pelengkap dan menambah suasana hijau.

Perempuan Kelahiran Malang, 61 tahun lalu ini juga membuat lubang resapan biopori di halaman rumah. Biopori ini dibuat untuk menjaga agar air hujan bisa langsung meresap di tanah. “Saya juga tidak melapisi halaman dengan semen. Halaman sangaja dibuat terbuka dan hanya dilapisi batu-batu kecil yang juga berfungsi untuk meresap air hujan,” kata dia.

Menempatkan kerikil di halaman dia pelajari di sebuah majalan yang membahas soal rumah. Penumpukan kerikil dimaksudkan untuk menahan air sehingga meresap ke tanah. Ini pun langsung dipraktekkannya di halaman rumah. Usaha Supeni tidak hanya sampai di situ, dia juga memanfaatkan limbah rumah tangga untuk dibuat berbagai hiasan dan kerajinan. “Hampir tidak ada limbah yang terbuang. Sampah plastik, seperti botol minuman, bekas gelas air mineral, sedotan, kertas, dan bungkus rokok, semuanya dimanfaatkan,” ujar ibu tiga anak ini.

Menurut Supeni, yang dibuang hanya kantong plastik karena memang tidak bisa dimanfaatakan. “Kalau sampah organik, seperti sisa makanan dan daun-daun kering, dimasukkan ke lubang biopori supaya menjadi kompos untuk memupuk tanaman,” kata dia.

Hampir semua peralatan dan hiasan di rumah Supeni adalah hasil kreasi daur ulang sampah. Misalnya vas bunga, bunga hias, taplak meja, tudung saji, bingkai foto, gorden, pot bunga, dan berbagai hiasan lain. Bahan untuk membuat bahan daur ulang ini didapat dari rumah sendiri atau dari orang lain. “Terkadang kalau ada acara arisan dan kumpul-kumpul, saya ambil gelas bekas minuman dan saya bawa pulang. Kalau kotak rokok saya kumpulin dari anak saya. Dia perokok berat, jadi saya minta bungkusnya jangan dibuang,” kata dia.

Masuk saja ke rumah nenek dua cucu ini, hampir di semua bagian rumah ada barang hasil daur ulang. Supeni pun terlihat bangga dengan hiasan yang ada di dalam rumahnya. Dia pun dengan semangat memperlihatkan semua hasil daur ulang sampah yang ada di dalam rumah. “Rumahnya isi sampah semua ini, enggak ada barang mewahnya,” ujarnya sambil tertawa.

Membuat hiasan dari sampah plastik dan memajangnya di rumah menjadi sebuah kebahagiaan sendiri untuk diri Supeni. “Saya senang saja bisa buat hiasan ini dan tidak perlu beli,” kata dia. Bagi Supeni, memanfaatkan semua sampah di rumah berarti ikut aktif dalam mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pengelolaan akhir (TPA). Kondisi TPA yang sudah penuh sampah perlu diimbangi dengan pengurangan sampah di tingkat rumah tangga. “Saya enggak setiap hari buang sampah,” kata dia.

Dukungan orang asing

Supeni mendaur ulang sampah bukan sekadar untuk diri sendiri. Dia berharap agar langkah yang dia lakukan bisa ditiru dan diikuti orang lain, terutama tetangga sekitar. Namun, harapan itu sulit sekali diwujudkan. Belum ada satu pun tetangga yang mengikuti langkahnya. Bahkan suara sumbar dan cibiranlah yang diarahkan kepadanya.

Menurut dia, beberapa tetangga menilai apa yang dilakukannya kotor karena mengumpulkan sampah. Orang menilai usahanya adalah hal yang sia-sia. Bukan sekadar omongan yang sampai, tapi ada juga perlakukan tetangga yang membuat dirinya gelisah. “Ada yang mencabut tumbuhan yang saya tanam. Bahkan beberapa kali ada orang yang sengaja mengacak-acak tanaman,” kata dia.

Langkahnya untuk menghijaukan lingkungan sekitar pun ditentang oleh para tetangga. Pernah dia meletakkan beberapa tumbuhan di sekitar gang. Tanaman yang dia letakkan dianggap mengotori lingkungan. Pujian dan dukungan atas apa yang dilakukan justru datang dari orang asing. Sudah beberapa kali orang dari luar negeri, seperti Jepang dan Korea Selatan, datang ke rumahnya untuk melihat gerakan ramah lingkungan yang dilakukan Supeni. Mereka inilah yang justru mendukung supaya Supeni jangan berhenti untuk mendaur ulang sampah.

Dia berharap anak-anak di sekitar rumah mau belajar membuat prakarya dari sampah plastik. Namun, anak-anak hanya membeli untuk tugas sekolah tanpa ada keinginan untuk membuat sendiri. “Padahal saya dengan sukarela mengajari kalau memang ada yang mau. Tapi sekarang sudah jarang orang mau membuat hiasan dari sampah. Mereka lebih memilih beli,” kata dia.

Supeni mengatakan dahulu orang-orang yang aktif di PKK kelurahan sering mengadakan acara membuat kerajinan dari sampah atau memasak. Pada acara PKK inilah ibu-ibu bisa belajar membuat berbagai hiasan di rumah. Kini, acara seperti itu sudah tidak ada lagi. “Ibu-ibu PKK hanya kumpul-kumpul arisan, kemudian pulang,” ujarnya. Dia pun punya keinginan untuk mengajari ibu-ibu jika memang ada yang berminat.

Hasil daur ulang sampah yang dibuatnya bernilai ekonomis. Sudah banyak orang yang datang ke rumahnya untuk membeli hasil kreasi Supeni. Misalnya bunga hias, tamplak meja, dan tas kecil yang biasanya dipakai untuk kembang telur pada acara aqiqah. Beberapa kali hasil daur ulang sampahnya dipamerkan dalam acara bazar untuk mewakili kelurahan.

“Saya tidak pernah mematok harga untuk barang hiasan. Orang menghargai berapa pun sya terima. Kadang ada yang memberi uang Rp15 ribu. Saya pun tidak pernah menjual. Orang-orang yang mau membelilah yang datang ke rumah,” kata istri dari Sumarno ini.

Supeni pun tidak pernah berharap mendapat keuntungan dari sampah daur ulang. Dia lebih senang bila usaha memanfaatkan sampah plastiknya ini diikuti orang lain, bukan dihargai dengan uang. (PADLI RAMDAN/M-2)

Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Minggu, 24 Juni 2012

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart