Srie Atidah (1947-…): Banteng Betina dan Kandang Demokrasi

DEMOKRASI Lampung, barangkali juga Indonesia, mesti mencatat namanya cermat-cermat. Ny. Hj. Srie Atidah menggaungkan perubahan ketika rezim kuat-kuatnya. Sebagai pimpinan Partai Demokrasi Indonesia di Lampung (PDI, sebelum kemudian menjadi PDI-P), Atidah menjadi sebongkah representasi perjuangan yang tidak kenal gentar.

Atidah bergerak yang riaknya ikut menimbulkan arus perubahan sejak 1996–1997, ketika Republik ini menjelang “persalinan”. Sebagai istri tokoh PDI Lampung, Matt Al Amin Kraying, Atidah tidak sekadar “mendampingi suami” dalam masa-masa genting tersebut. Wanita pemberani ini dikenal amat blakblakan. Jika dia menilai lawan diskusinya tidak segaris dengan peraturan, bahkan partai, Atidah lantang bersuara, bahkan “mengaum”. Tanpa tedeng aling-aling dia berargumen, meletakkan rasio di atas fakta lalu merajutnya dalam kata-kata keras.

Alumnus GMNI ini sempat menjadi ketua DPC PDI-P Bandar Lampung. Bahkan, dia kemudian menjadi Ketua DPRD Lampung; dan tercatat sebagai wanita pertama yang memimpin parlemen di tingkat provinsi.

Pengagum Bung Karno ini memang dididik dengan nilai-nilai pergerakan oleh kedua orang tuanya, bahkan oleh kakek neneknya. Atidah kecil biasa nimbrung jika orang tuanya berdiskusi di rumah sembari bersandar di sisi kursi atau duduk santai di karpet atau mengamati saat kakeknya berdiskusi, berorasi atau berpidato dengan tokoh-tokoh nasional seperti Mr. Wilopo, Hadisubeno. Neneknya, tokoh Asyiyah, menanamkan pendidikan agamis, senantiasa menanamkan soal iman dan takwa.

Sebagai cucu pertama yang amat didambakan (karena baru lahir setelah pernikahan kedua orang tuanya menginjak tahun kelima), “Saya ditekankan agar amanah, jujur, dan jangan berbohong. Juga. etos kerja keras,” kata Atidah. Pejuang sejati memang tidak berharap imbalan apa-apa. “Orang tua saya hanya mendapat tanah 1 x 2 meter di Taman Makam Pahlawan Pekalongan. Itu pun harus terpisah dengan makam ibu saya,” kata dia.

Datuk Atidah dari Ibu, tokoh NU, yang kerap menjadi ilmu kepada pejuang agar tidak mempan senjata, juga memengaruhi sikapnya melihat penindasan dan ketidakadilan. “Datuk saya meninggal tahun 1955 dalam usia 135 tahun. Almarhum sempat diungsikan karena rumah mereka akan dibom,” kata dia. Kakek saya, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah, aktivis Hizbut Waton, terus menyemai kader sampai akhir hayatnya.

Orang tua dan kakek-datuknya terbiasa bergaul dengan tokoh-tokoh politik dalam dan luar negeri seperti Tunku Abdulrahman, pendiri Malaysia atau Dahlan Djambek dan Kartosuwirjo.

“Sejak kecil saya merasakan atmosfer ‘pergerakan’ di dalam rumah. Saya terbiasa melihat ditegakkannya hak dan kebenaran,” kata wanita kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 3 Januari 1947 ini. Sebagai anak tertua pasangan Kapten Inf. M. Suryo Sudjono (perintis kemerdekaan) dan Siti Maimunah (orang pergerakan), Atidah dituntut menjadi teladan bagi keenam adiknya. Dan meskipun dari keluarga berada (ayahnya pendiri Bank Pekalongan), keluarga Atidah terbiasa bekerja keras dan menghargai tiap tetes keringat.

Tahun 1965, Atidah banyak terlibat di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Ajaran-ajaran Bung Karno yang menjadi “bahan wajib” di situ mengentalkan prinsip-prinsip politiknya. “Namun, pasca-1965, Bung Karno difitnah dan direkayasa untuk dijatuhkan. Semua desain luar negeri. Sang Pendiri Bangsa ini dikhawatirkan menjadi pemimpin Emerging Forces yang akan keluar dari mainstream negara-negara adidaya saat itu. Apalagi Bung Karno sudah diangkat menjadi presiden seumur hidup,” kata Atidah.

Kejadian ini amat dalam membekas di hati. Atidah mengikuti perkembangan sakitnya Sukarno, pemenjaraannya, sampai kematian dan penguburannya. “Saya bertekad mewarisi perjuangan Sang Proklamator,” kata Atidah. Dia amat meyakini Bung Karno tidak bersalah. “Tapi saya tidak mampu berbuat apa-apa. Birokrat dan militer yang selama ini begitu dekat dengan Bung Karno pun menjauh. Yang terang-terangan membela malah dikotakkan rezim,” kata dia.

Waktu berjalan; dan Atidah berjodoh dengan teman sekampus (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan seorganisasi (GMNI). Usai Pemilu 1971, ketika PNI kalah, mereka memutuskan menikah. Tidak lama pindah ke Lampung. Tekad tetap diteruskan. Di provinsi ini, mereka bergiat mengumpulkan teman-teman PNI dan meneruskan perjuangan dalam bentuk dan dimensi yang berbeda. “PNI tidak mati; sekadar menunggu momentum untuk bangkit,” kata dia.

Kekagumannya kepada tokoh-tokoh tua PNI–“Mereka hidup jujur dan tak pernah berebut jabatan,” kata Atidah–menginspirasinya sampai sekarang. Ribuan aktivis GMNI angkatan 1950–1965 tetap konsisten dengan garis perjuangan. Mereka kemudian mendirikan Ikatan Alumni GMNI. Atidah masih menjadi pembina alumni sampai sekarang dan tetap memberi masukan kepada pemimpin bangsa ini, baik lisan, tulisan, maupun aksi konkret. Misalnya, Atidah aktif menyosialisasikan asuransi kesehatan bagi orang miskin (Askeskin) ke daerah-daerah melalui Perwanas (Pergerakan Wanita Nasional Indonesia).

Sebagai aktivis tulen, dan turut mengaliri ruh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Atidah merasakan adanya perbedaan nuansa dahulu dan sekarang. “Dahulu, PNI penuh ketulusan dan tanpa pamrih. Programnya menyentuh ke jantung masyarakat. Etika politik ditegakkan. Tidak ada arogansi; semua saling menghargai. Sangat memikat. Tidak ada yang menjilat, tidak ada yang ngaco,” kata dia.

Dahulu, kenang Atidah, jika ada pelanggaran moral sekalipun, sanksi yang dijatuhkan amat tegas dan serta-merta. Tidak ada pengecualian, dispensasi atau pilih bulu. Juga, tidak ada yang beranggapan itu “ulah oknum”. Maka, kewajiban kitalah sekarang untuk kembali pada tradisi-tradisi politik yang sehat dan bermartabat.
“Orang-orang tua kita bertempur mengusir penjajah. Banyak di antara mereka tewas sebelum kemerdekaan bisa kita raih. Apa susahnya kita menjalankan amanat mereka dengan berpolitik secara benar dan terhormat. Itu sebabnya saya lebih senang disebut sebagai pejuang ketimbang politisi. Saya senantiasa berjuang untuk kesejahteraan dan hak-hak rakyat,” kata dia.

Pemilu 1955, saat Atidah masih kecil, partai-partai menegakkan demokrasi secara sempurna. Pemilu berlangsung jujur sekali. Padahal, hajat politik besar ini dilaksanakan tanpa lembaga pengawas. Namun, kejujuran menjadi panglima. Dan ini diterjemahkan sampai tingkat bawah dalam pencoblosan suara di kecamatan-kecamatan.

“Beda dengan Pemilu 1971, sebuah pemilu yang menjadi ‘cikal-bakal’ kecurangan yang tetap berlangsung sampai sekarang,” kata dia. Itu sebabnya, kendati secara formal Atidah bisa dibilang “tidak berpartai” kini, minat dan perhatiannya pada politik tetap tinggi.

Keyakinannya terhadap nilai perjuangan dan keinginan perubahan membuat ibu empat putra ini merasa yakin dengan setiap langkahnya. Jalan di depan rumah keluarganya di bilangan Jalan Cut Nyak Dien, kawasan Palapa, kerap dibarikade, saat ada pengumpulan massa memperingati “27 Juli” semasa Orde Baru, misalnya.
Perjuangannya berbuah. Angin perubahan mengantarkannya masuk parlemen dan sempat memimpin DPRD Lampung. Namun, “euforia” tidak hendak usai di DPRD Lampung. Atidah dimosi sesama anggota DPRD dan pemerintah “sigap” menggantinya. Karier politiknya memudar ketika dilengserkan dari kursi ketua Dewan daerah ini. Mendagri Hari Sabarno, dengan SK 161.27-400 Tahun 2002 (27 Sepember 2002) memberhentikannya dari jabatan sebagai ketua DPRD Lampung. Dia digantikan sahabat sefraksinya, S. Abbas Hadisunyoto. Tapi kemudian situasi politik Lampung menjadi seperti roller coaster. n

BIODATA


Nama: Srie Atidah
Lahi: Pekalongan, Jawa Tengah, 3 Januari 1947
Suami: Matt Al Amin Kraying
Anak: 4 orang

Orang tua
Ayah: Kapten Inf. M. Suryo
Ibu: Siti Maimunah

Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Organisasi
1. Alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

Pekerjaan:
1. Ketua DPRD Lampung
2. Ketua DPC PDI-P Bandar Lampung
3. Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia, Lampung

Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 210-213.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart