‘Semilau’ Karya Ramdhoni Raih Hadiah Sastra Rancage: 69 Sajak Dibuat Selama 17 Tahun

Oleh Andreas Heru Jatmiko

Hikayat Puyang


nyak mak aga lupa 
setunggaan di uncuk sanjor.
setunggaan magis di puncak pesagi . 
bakas besorban seno mewaya nagu nyak:
“sikindua imam maulana nyerupa, puyangmu.”
kidang nyak gegaran dibenikok kabut sai
pedom di sulursulur rik 
rerilah batangni sekala.


puncak pesagi, 2 Juli 2009

Versi bahasa Indonesia, sajak ini:

Hikayat Puyang


aku takkan lupa 
perjumpaan di pucuk senja.
pertemuan magis di puncak pesagi . 
lelaki bersorban itu ramah menyapaku :
“aku imam maulana nyerupa, puyangmu.”
sementara aku gigil dibekap kabut yang
rebah pada sulursulur dan 
dedahan pokok sekala.


Puncak Pesagi, 2 Juli 2009

Muhammad Harya Ramdhoni (IST)

Inilah satu dari 69 sajak yang termuat dalam buku puisi Semilau, Sang Rumpun Sajak karya warga Lampung Muhammad Harya Ramdhoni, yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2018. Penghargaan tersebut baru pertama kali diraih dosen FISIP Universitas Lampung ini, meskipun ia telah menerbitkan empat buku sastra.

Ramdhoni menuturkan butuh waktu hingga 17 tahun untuk membuat seluruh sajak yang termuat dalam buku Semilau. Ke-69 sajak tersebut ia buat dari tahun 2000 hingga 2017. Hampir semua sajak bertutur mengenai legenda atau sejarah Sekala Brak di Lampung Barat. Bahasa yang digunakan merupakan dialek Lampung Barat.

“Idenya muncul dari cerita-cerita masyarakat, pengalaman pribadi, keluarga, asal-usul orang Lampung Saibatin. Karya ini saya dedikasikan untuk Sekala Brak karena puisi saya ini menceritakan Sekala Brak. Semua menggali kearifan lokal,” ujarnya.

Hadiah Sastra Rancage sendiri adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap memberi kontribusi bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Penghargaan ini diberikan Yayasan Kebudayaan Rancage, yang diprakarsai budayawan Ajip Rosidi, sejak 1989.

Semilau merupakan karya sastra Ramdhoni yang keempat. Tiga karya sebelumnya adalah novel Perempuan Penunggang Harimau (2011). Kedua, Kitab Hikayat Orang-orang Berjalan di Atas Air (2012) berisi 9 cerpen. Lalu, kumpulan cerpen Mirah Delima Bang Amat (2017) dan kumpulan sajak Lampung, Semilau (2017).

Tahun ini, Ramdhoni akan menerbitkan buku puisi Sihir Lelaki Gunung dan sekuel novel Perempuan Penunggang Harimau yang berjudul Risalah Pengibar Bendera.

Novel kedua ini telah dibuatnya selama delapan tahun. “Saya bukan penulis profesional. Saya cuma tukang dongeng yang menulis dan mendapatkan ide dari keluarga, hal-hal sederhana dalam kehidupan,” ujarnya.

Regenerasi Terus Berlangsung

Sebelum Ramdhoni, Hadiah Sastra Rancage Lampung juga pernah diraih Zulkarnain Zubairi. Udo, sapaan akrab pria ini, telah dua kali meraih Hadiah Rancage, yaitu 2008 untuk buku kumpulan 50 sajak berjudul Mak Dawah Mak Dibingi (terbit 2007) dan 2017 untuk novel Negarabatin (terbit 2016).

Udo mengatakan, semua karyanya berkesan, sulit membeda-bedakan. “Karya sastra ibarat anak kandung kita. Ia lahir dari dalam jiwa dan mengekspresikannya, mulai dari kata, kalimat sampai jadi karangan utuh,” ujarnya.

Ide menulis dari apa yang ada di sekeliling kita dan banyak membaca. “Sastra tak pernah dipaksa. Cerita akan mengalir saja. Jadi, tidak ada yang sulit. Yang jelas niat dan kemauan yang ada,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Dewan Kesenian Lampung (DKL) Bagus Pribadi mengatakan, regenerasi kesusastraan di Lampung tidak pernah putus, terus mengalir dari masa ke masa, mulai era 1980-an hingga kini. “Secara umum  perkembangan sastra di Lampung cukup baik dan mengalami regenerasi,” kata dia.

Hadiah Sastra Rancage yang jatuh pada Ramdhoni tahun ini menambah penegasan bahwa Lampung memiliki banyak potensi di bidang kesusastraan. []

Sumber:
Tribun Lampung, Selasa, 6 Februari 2018 halaman 1

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart