Saodah Batin Akuan Sjahruddin (1939-…): Duta Besar Wanita yang Pertama

AKHIR 1969. Sekretaris Negara Alamsyah Ratu Prawiranegara yang membuka dialog pembangunan pada Pekan Raya Jakarta berkata, “Perempuan Indonesia sekarang tidak melulu di dapur, sudah ada yang bicara di depan forum besar dengan mikrofon.” Perempuan itu bernama Saodah Batin Akuan Sjahruddin.

Penyelenggara dialog mengundang Saodah sebagai pembicara. Suara kelahiran Semangka, Kotaagung, 13 Juni 1939, itu mengentak-entak forum. Kedua tangannya bergerak merangkai bahasa tubuh. Ia percaya diri dengan kapasitas pejabat Dinas Luar Negeri di Departemen Luar Negeri (Deplu).

Hingga kini, ciri itu belum hilang dari Saodah, meski umurnya beranjak 70 tahun. Mobilitas masih tinggi. Pemikiran modernnya sebentar lagi menelurkan hasil: Monorail 45 stasiun di Jakarta, lengkap dengan alat antiteroris.

Merintis Karier

Putri pasangan H. Mas’ud Batin Akuan (mantan lurah) dan Hj. Maryam (anggota veteran) ini hijrah ke Jakarta pada 1953 untuk menimba ilmu. Tertarik profesi guru, Saodah masuk Sekolah Keguruan di Muhammadiyah.

Lulus 1958, ia kembali ke kampung halaman dan mengajar Sejarah di Sekolah Rakyat (SR) Pin Min School. Tahun yang sama, pemuda asal Bone, Sulawesi, bernama Andi Sjahruddin meminangnya. Dua tahun kemudian, Saodah menerima tawaran mengajar di Perguruan Taman Siswa. Kemudian diangkat sebagai ketua Taman Dewasa Cabang Rawamangun, Jakarta.

Saodah melanjutkan pendidikan di Fakultas Sosial Politik, Universitas Djajabaja, sembari tetap mengajar. Hingga 1968, tepat sepuluh tahun jadi guru, ia berhenti. “Kalau begini terus, kayaknya susah maju,” pikirnya, saat itu.

Rekrutmen pertama kali sejak Orde Baru adalah awal karier Saodah. Bahasa Inggris-nya yang encer membuat pemerintahan Soeharto tertarik dan menempatkannya di Biro Personalia Deplu. Di sinilah dia mengenal karakter bangsa-bangsa asing.

Saodah kemudian kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Saint John, New York, AS, dan lulus dengan gelar master of arts.

Pada 1972, ia pindah ke Biro Protokol Deplu. Ibu dua anak itu makin berambisi melambungkan karier. Ia memilih sebagai Pejabat Dinas Luar Negeri. “Kalau di Dinas Nonluar Negeri, karier kayaknya bakal mentok. Tapi, kalau Dinas Luar Negeri prospeknya bagus. Saya memang kepengin sekali ke luar negeri,” kenang Saodah.

Agar langkahnya mulus, ia mencari peluang melanjutkan pendidikan diplomat. Pucuk dicinta ulam tiba, Saodah mendapat beasiswa dari Colombo Plan untuk mengenyam Foreign Service Training Course di Canberra, Australia. Tes psikologi menyatakan Saodah kurang pintar, tapi ia paling tekun di antara peserta tes lain sehingga berhak menerima beasiswa itu.

Akhir 1973, sebuah studi lapangan membawanya terbang ke Dublin, Irlandia, karena ditunjuk menjadi Sekretaris Ketiga di Kedutaan Besar (Kedubes) Australia untuk Irlandia. Berkat ketekunannya pula membawa Saodah terpilih sebagai sekretaris ketiga Kedubes Indonesia untuk Filipina di Manila pada 1974, usai merampungkan studinya. Ia belajar sistem pemerintahan dan pembangunan di Filipina. “Beberapa kali saya Ibu Negara Imelda Marcos dalam berbagai kegiatan,” ujarnya.

Sempat dipromosikan menjadi sekretaris kedua, ibu dua anak ini diplot sebagai sekretaris pertama yang membidangi komoditas, pangan, dan pertanian pada Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri (Dirjen HELN) Deplu, pada 1978.

Sebelum jadi sekretaris pertama, lagi-lagi Saodah lolos tes untuk “berguru” ke Jenewa, Swiss, selama empat bulan. Walaupun begitu, dia sadar pemahamannya di bidang pertanian masih minim sehinga ia magang di Departemen Pertanian.

Dalam perjalanan tugas, mereka pernah membimbing 12 petani dari Afrika di Ciawi, Jawa Barat. Pelatihan itu bermula dari program bantuan pertanian PBB melalui Food and Agriculture Organization (FAO) kepada masyarakat Afrika sebesar sepuluh juta dolar. “Tapi, dikembalikan tujuh juta dolar. Sisa itu dialihkan untuk pelatihan petani di Indonesia,” kata Saodah.

Citra swasembada pangan Indonesia membuat program itu terus berlanjut. “Sampai sekarang juga masih berlanjut.”

Pada 1981, ilmu dan pengetahuannya bertambah lagi; dia mengikuti Commercial Policy Course yang diselenggarakan GATT (General Agreement on Trade and Tariffs).

Saodah punya momen berharga saat itu. Perbandingan gross national product (GNP) di dua negara dengan produk andalan berbeda ternyata menunjukkan hasil GNP yang sama tingginya. GNP Islandia selaku penghasil ikan, misalnya, ternyata tidak kalah dengan Inggris yang mengutamakan produk-produk pabrikan. “Artinya, suatu negara tidak usah khawatir karena tidak punya industri. GNP tetap bisa tinggi kalau pintar memanfaatkan potensi sumber daya alam,” terangnya.

Di Puncak Karier

Sampai 1982, pemerintahan Soeharto memercayakan Saodah menjabat kepala Subbidang pada Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB di Jenewa, Swiss. Ia menangani masalah perdagangan, pembangunan, dan keuangan internasional, serta sering berkoordinasi dengan GATT dan International Trade Center (ITC).

Ketika itu, Saodah dengan gamblang melihat Indonesia yang beranjak jadi negara berkembang mengalami kejadian penting saat menghadapi laporan Inggris ke GATT. Ekspor kaus kaki dari Tanah Air dalam enam tahun disinyalir melampaui capaian Hong Kong yang telah mengekspor 50 tahun lebih dahulu. Namun, hasil perhitungan memperlihatkan ekspor Indonesia ke Inggris cuma 15 juta dolar AS. Lebih kecil dari ekspor Inggris ke Indonesia yang nilainya sampai 150 juta dolar AS. “Laporan itu pun tidak terbukti. Indonesia balik mengadu, berhasil, dan menang,” papar diplomat yang cekatan membuat kerupuk ikan itu.

Empat tahun berikutnya, dia pulang ke Indonesia mengemban tugas sebagai deputi direktur pada Dirjen HELN Deplu. Mondar-mandir ke luar negeri lagi-lagi ia lakoni. Belum genap tiga tahun di Jakarta, dia dikirim ke New York sebagai kepala bidang pada PTRI untuk PBB yang mengurusi soal sosial, ekonomi, administrasi, dan keuangan; serta bantuan-bantuan PBB bagi negara-negara ketiga.

Tugasnya di negeri Paman Sam berakhir tahun 1993. Karier Saodah kian menanjak tatkala mengoordinasi kerja sama beberapa negara: Negara Berkembang, Asia Pasifik (APEC), Anggota Produsen Minyak (OPEC), dan Anggota Konferensi Islam (OIC).

Masuk 1995, amanah untuk Saodah tambah banyak. Ia menjadi duta besar (dubes) pada PTRI untuk PBB dan organisasi-organisasi internasional di Jenewa, Swiss. Berikutnya, duta besar luar biasa dan berkuasa penuh (ambassador extraordinary and plenipotentiary) Indonesia untuk Hongaria, merangkap Kroatia dan Bosnia Herzegovina (1999).

Selama di Hongaria, dia mempromosikan keragaman budaya Indonesia. Mulai tari jaipong (Jawa Barat), tenun dari Bali, yapong dari Betawi, serta tari lainnya, seperti golek, lilin, merak, dan topeng.

Beberapa acara atau pertemuan–salah satunya Indonesian Week in the Budapest Zoo and Botanical Garden–pernah mementaskan konser gamelan, reog ponorogo, dan wayang. Sementara di Bosnia, Saodah dan suaminya mendirikan masjid bernama Istiqlal.

Menginjak usia 60 tahun, Saodah idealnya sudah pensiun dan menikmati masa lanjut usia (lansia). “Tapi, B.J. Habibie kasih bonus sekali lagi jadi dubes,” tuturnya.

Dukungan Keluarga

Karier yang kian menanjak itu didukung penuh oleh keluarganya. “Saya sampai berhenti dari PNS di Departemen Dalam Negeri. Padahal, saya akan ditugaskan menjabat kepala Dinas Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) di Sulawesi Selatan. Tapi, saya lihat prospek istri lebih cerah. Lalu, saya putuskan ikut dia ke Filipina,” kata Andi, suami Saodah.

Tidak hanya sampai di Manila, Filipina. Andi yang bergelar Raja Bangsawan ini menemani Saodah ke Jenewa, Swiss; New York, AS; hingga Hongaria, Kroatia, dan Bosnia Herzegovina.

Jika istrinya studi di luar negeri, ia ikut mendampingi. “Pagi sampai sore dia kuliah. Malam lanjut lagi ke perpustakaan cari bahan ngerjain tugas. Pernah pukul tiga subuh dan hujan lebat, dia telepon minta dibawain makanan sama payung,” kenang Andi sambil geleng kepala.

Saking sibuknya, rupa Saodah sampai tidak dikenali kedua buah hatinya. “Waktu kecil anak-anak pernah tinggal sama neneknya di kampung. Saya balik ke sana, mereka tidak ingat lagi sama ibunya,” kata Saodah.
Seluruh perjalanan karier dan pengalamannya itu terekam di benaknya. Meski sudah lanjut usia, wanita energik ini masih tetap meletup-letup, apalagi melihat kondisi di dalam negeri yang tidak banyak berubah.

Ada satu pesan Saodah untuk kaum perempuan Indonesia, “Perempuan sekarang jangan cuma pandai niup hiuk (corong berbahan bambu untuk menghidupkan api dari kayu bakar), tapi harus lantang bicara di depan forum dengan mikrofon.” n

BIODATA

Nama: Dra. Saodah Batin Akuan Sjahruddin, M.A.
Tempat, tanggal lahir: Kotaagung, 13 Juni 1939
Agama: Islam
Orang tua: H. Mas’ud Gelar Batin Akuan (ayah)
Hj. Maryam (ibu)
Saudara kandung:
1. Maisarah Raden Kesuma
2. Roslina
3. Mahyuzar, S.H. Gelar Batin Sampurna Jaya
4. Drs. Muzanni
5. Suherlan
6. Ir. Ibrahim, M.T.
7. Kholida
Suami: Andi Sjahruddin Gelar Raja Bangsawan
Anak:
– Andi Rita Nurhaida, S.H.
– Andi Rizal Paerongi

Pendidikan:
– SD
– SGB
– SGA
– Universitas Djajabaja, Jurusan Sosial Politik
– Universitas Saint John, New York, Amerika Serikat, Jurusan Hubungan Internasional
– Foreign Service Course, Canberra, Australia
– Commercial Policy Course, General Agreement on Trade and Tarrifs (GATT).

Karier:
– Guru di Pin Min School dan Taman Siswa, serta Ketua Taman Dewasa Cabang Rawamangun, Jakarta (1958–1968)
– Biro Personalia dan Protokol Departemen Luar Negeri (1968–1974)
– Sekretaris Ketiga dan Sekretaris Kedua di Kedubes Indonesia, di Manila, Filipina (1974–1978)
– Sekretaris Pertama membidangi Komoditas, Pangan, dan Pertanian di Dirjen HELN Deplu (1978–1982)
– Kepala Subbidang pada PTRI untuk PBB di Jenewa, Swiss, menangani masalah perdagangan, pembangunan, dan keuangan internasional (1982–1986)
– Deputi Direktur membidangi Perdagangan, Pembangunan, dan Keuangan Intrernasional di Dirjen HELN Deplu (1986–1988)
– Kepala Bidang pada PTRI untuk PBB di New York, Amerika Serikat, menangani masalah sosial, ekonomi,
administrasi, dan keuangan, serta bantuan-bantuan PBB bagi negara ketiga (1988–1993)
– Direktur Urusan Kerjasama dengan Negara-Negara Berkembang (HENB), Kerja Sama Ekonomi dengan Negara-Negara Asia Pasifik (APEC), Kerja Sama dengan Negara-Negara Anggota
Organisasi Produsen Minyak (OPEC), dan Kerja Sama dengan Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (1993–1995)
– Duta Besar pada PTRI untuk PBB dan Organisasi-Organisasi Internasional di Jenewa, Swiss (1995–1999)
– Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Hongaria, merangkap Kroatia dan Bosnia Herzegovina (1999–2000)
– Ketua Delegasi Indonesia pada Pertemuan Mobilisasi Bantuan Negara-Negara Islam untuk Bosnia Herzegovina (2000–2002)
– Perwakilan European Economic Development Council (EEDC), Organisasi Nirlaba Uni Eropa untuk Indonesia, di Jakarta (2002–sekarang)

Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 150-154.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart