Sejak saat itu, membaca sudah menjadi kebutuhan hidup saya selain makan, minum, dan bernapas.
![]() |
Ari Pahala Hutabarat |
TATAPNYA mengarah ke langit-langit ruangan. Lelaki di
atas kursi plastik itu berkeras mengingat sesuatu. Temaram lampu
membayangi mukanya yang oval. “Ya, di angkot, benar di angkot, haha…”
serunya memecah suasana dengan tawa lebar mengembang.
Ari
Pahala Hutabarat, demikian namanya. Lelaki berpostur jangkung ini
dikenal lewat rangkaian kata-kata dalam puisinya. Ia baru saja teringat
tempat yang kerap mempertemukannya dengan hal yang kini sangat dekat
pada dirinya.
Sesuatu yang memberinya tenaga dalam
berkesenian. Pria berdarah Batak-Lampung ini mengaku selalu menaiki
angkot ketika akan menuju ke kampusnya nan hijau. Tepatnya berlokasi di
Jalan Soemantri Brojonegoro, Bandar Lampung.
“Waktu itu
mahasiswa tidak seperti sekarang. Jarang sekali yang bawa motor,
termasuk saya,” ujar Ari sambil mengenang masa-masa kuliah yang dia
jalani sejak 1993 itu. Pulang-pergi menggunakan angkot dia jalani selama
berkuliah.

Menuju
Universitas Lampung (Unila), lelaki berkacamata ini harus berdesakan
dengan penumpang lain. Ini semata tak membuatnya mengeluh. Namun, dengan
keterbatasan tersebut, Ari mengaku justru mandapatkan sesuatu yang
sekarang sering disebutnya sebagai wahyu.
“Waktu tempuh
perjalanan dari rumah hingga kampus sekitar satu jam. Selama satu jam
perjalanan, saya banyak mengamati apa saja yang dilalui angkot,” ujarnya
santai.
Hingga akhirnya, proses berulang-ulang ini
memunculkan ide atau yang lebih sering disebut sebagai inspirasinya
dalam menulis puisi. Satu per satu puisi Ari tercipta. Kini jumlah puisi
yang ditulisnya pun ia sendiri sudah tak hafal. “Tak apallah jika tak
mengingat jumlahnya,” katanya.
Meskipun dirinya tak
ingat berapa angka pasti dari karya-karyanya itu, Ari tak khawatir,
karena karya-karyanya tersebut tidak akan hilang. Sebab, sejak awal Ari
paham bahwa menulis adalah sebuah pekerjaan untuk keabadian.
Saat
ini sosoknya merupakan salah satu sastrawan sekaligus seniman teater
yang sering menghiasi panggung seni di Bumi Ruwa Jurai. Mengikuti jejak
langkah senior-seniorrnya yang sempat belajar seni dan berdiskusi
bersama saat mengenyam bangku perkuliahan.
Kecintaannya
dengan sastra tak muncul begitu saja. Pria yang lahir di Palembang, 24
Agustus 1975 silam, itu mengaku menganal sastra dari kegemarannya
membaca sejak kecil. Saat ditemui beberapa hari lalu di Sekertariat
Komunitas Berkat Yakin (Kober), Ari mengisahkan masa kecilnya yang sudah
gila baca.
Saat dirinya masih duduk di bangku sekolah
dasar, ayahnya memang kerap membawa koran, majalah, hingga buku sepulang
kerja. Sejak saat itu Ari mengaku sudah membaca koran dan berbagai buku
setiap hari. Akan tetapi, kegilaannya membaca waktu itu dirinya alami
ketika dirinya tinggal bersama uwaknya di Terbanggiagung, Lampung
Tengah.
“Waktu itu saya masih duduk di kelas enam SD.
Karena anak pindahan, saya belum banyak mendapatkan teman bermain di
sekitar tempat tinggal uwak, sehingga saat itu saya lebih sering berada
di rumah,” katanya.
Sampai akhirnya di dalam kamar yang
dia tempati, Ari menemukan sebuah peti berisi puluhan buku. Meski kini
sudah tak hafal semua judul dan pengarang buku yang ia temukan tersebut,
Ari mengaku sejak saat itulah dirinya mulai mengenal penyair-penyair
Indonesia.
“Peti itu berisi berbagai karya penyair
Indonesia hingga tokoh filsafat dunia dengan pemikirannya. Salah satu
buku yang masih saya ingat adalah buku tentang tenggelamnya kapal Van
Der Wijck. Membaca buku itu saya sampai menangis,” kata dia.
Kekagumanya
akan karya-karya sastra, baik cerpen, novel, maupun puisi semakin nyata
seiring dengan hobi membacanya yang semakin menggila. Membeli berbagai
buku bacaan, menurut Ari, pada saat itu adalah rutinitasnya.
Ari
membeli buku bukunya dari uang jajan yang dirinya sisihkan. Ketika tak
memiliki uang tetapi ingin membeli buku, ia kerap berutang dulu dengan
sang ibu dan menggantinya dengan mengepel lantai rumah setiap pagi.
“Sejak saat itu membaca sudah menjadi kebutuhan hidup saya selain makan,
minum, dan bernapas,” ujar dia.
Kegemarannya
tersebutlah akhirnya membuatnya tertarik melakukan hal yang sama dengan
para penulis-penulis buku yang ia kagumi. Sejak awal perkuliahan, Ari
bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila.
Di
sana Ari mengaku dipertemukan juga dengan para penggila buku dan sastra
seperti Ahmad Yulden Erwin dan Iswadi Pratama yang akhirnya menjadi
tempatnya belajar.
Tak hanya sastra yang akhirnya
dirinya geluti, tetapi juga bidang teater. Ratusan judul puisi telah Ari
ciptakan. Antalogi buku kumpulan puisi dirinya bersama sesama penggiat
sastra juga banyak yang sudah disebarluaskan.
Ari
mengaku tak membutuhkan waktu khusus untuk dapat menulis puisi. “Saya
akan menulis puisi kapan saja dan di mana saja, kecuali ketika saya
sedang lapar,” ujarnya berseloroh dengan tertawa ringan dalam wawancara
malam itu.
Ari mengibaratkan ide menulis puisi itu
sebenarnya seperti wahyu, jadi kapan saja bisa datang. Menurutnya, jika
sudah mendapatkan inspirasi, dirinya harus segera menuliskanya. Seperti
saat dirinya kuliah dan sering mendapatkan ide di angkot, sesampainya di
rumah Ari menulis ide itu menjadi bait-bait puisi.
Tak
hanya bidang sastra yang membuat Ari tertarik dengan dunia seni. Ari
juga sempat menjadi tokoh dalam beberapa judul lakon teater saat masih
bergabung dengan UKMBS Unila. Salah satu peran yang masih sangat
diingatnya sampai saat ini adalah adalah saat dirinya memerankan seorang
penggali kubur bernama Jhon.
Dari pengalaman teaternya
tersebut, dirinya juga kini telah berhasil menciptakan beberapa lakon
dan menyutradarainya langsung. Tak hanya itu, Ari juga berkali¬-kali
menyutradarai lakon karya seniman lain baik lokal maupun luar negeri.
Beberapa pementasan sukses ia sutradarai seperti Malam Jahanam karya Motinggo Busye hingga lakon Kisah Cinta Hari Rabu karya pribadinya.
Menjalani
dua bidang seni, menurutnya, adalah cara menciptakan keseimbangan dalam
kehidupannya. “Ketika menulis puisi, saya adalah orang yang
individualis dalam berkarya. Namun, saat berteater, saya dituntut untuk
dapat bekerja sama dengan orang lain,” ujar suami Yunita Arsianty ini.
Dari Tuhan hingga Hujan
Tuhan
Tuhan berkata, “Dulu Aku menciptakan Adam
hanya mempergunakan satu suku kata: Kun!
Tapi kemudian, ia dan anak-anaknya berbalik
menciptakan Aku. Bukan dengan satu, namun dengan
ribuan kalimat dan buku.”
Puisi halaman 14 antologi puisi dan cerpen Hilang Silsilah itu
Ari tunjukkan ketika ditemui di Sekretariat Kober beberapa hari lalu.
Ia mengungkapkan kehidupannya sejak kecil memang tak lepas dari nilai
religius.
Sang kakek yang sangat taat dan sering
mengkaji Alquran bersama dengan teman dan keluarga. Itulah yang membuat
karya-karya puisi Ari cenderung berbicara tentang Sang Pencipta dan
Pemberi Kehidupan.
Ari juga mengungkapkan
keprihatinannya dengan kondisi kehidupan saat ini. “Sekarang manusia
satu dengan yang lain sering saling ribut masalah kepercayaan,” kata
dia. Hingga dirinya menciptakan puisi Tuhan tersebut.
Beberapa judul puisi lain juga sempat dirinya tunjukkan, seperti puisi Jarah Dusta dan Hantu-Hantu Hujan. Ari mengungkapkan kedua puisi tersebut adalah puisi terpanjang yang pernah ia buat. Puisi Jarah Dusta ia tulis sampai 50 halaman.
Bahkan, untuk puisi Hantu-Hantu Hujan, Ari
berani menjamin karyanya adalah puisi terpanjang di Indonesia yang
bertemakan hujan. Ari mengaku untuk menciptakan satu judul puisi seperti
Jarah Dusta ataupun Hantu-Hantu Hujan, ia membutuhkan waktu sekitar lima tahun.
Riset
juga Ari lakukan ketika menulis puisi-puisi tersebut. seperti saat
menciptakan puisi Hantu-Hantu Hujan, Ari mengaku selalu mengamati setiap
aktivitas dan kejadian saat turun hujan di mana pun dirinya berada. Di
rumah, di jalan, Ari mengaku akan mengamati setiap turun hujan.
“Saat
hujan adalah saat hadirnya utusan tuhan,” ujar Ari, mengutip salah satu
bait puisinya. Itulah yang membuatnya sangat tertarik menulis puisi
tentang hujan, karena puisi yang dirinya buat juga adalah karunia yang
Ari anggap sebagai wahyu Tuhan. “Ketika datang ide untuk menulis
sebenarnya Tuhan juga sedang menurunkan wahyunya,” ujarnya, dengan
tertawa lebar.
Sekolah Menulis Lampung
Ari
bercerita pada suatu ketika ia bersua seorang guru bahasa. Meski kerap
mengajarkan teori menulis paragraf, ternyata sang guru ketika praktik
pun tidak benar menuliskan contoh paragraf. Hal inilah yang merisaukan
hati ayah dari satu orang putra ini.
Dari pengalaman
“aneh” itu Ari berkeinginan mendirikan sekolah khusus menulis di
Lampung. Menurutnya, mengapa tidak banyak sastrawan yang berasal dari
Lampung, salah satunya karena kurangnya wadah untuk pendidikan menulis.
Hingga
saat ini, menurut Ari, Lampung jauh tertinggal dalam khazanah
kesusastraan dibanding dengan daerah lain di Sumatera yang sama-sama
kental budaya Melayunya, seperti Riau, Sumatera Barat, Medan, ataupun
Aceh. Padahal, kata Ari, menulis adalah salah satu tanda peradaban suatu
daerah. Ia yakin Lampung akan jauh lebih maju jika banyak memiliki
penulis karena dengan menulis nalar setiap orang akan jauh lebih
berkembang.
“Jika nalar orang-orangnya baik akan
menjadi kemajuan, akan tetapi jika nalarnya tidak baik yang terjadi
adalah kerusakan,“ ujar pria berdarah Batak-Lampung ini.
Ari
paham keinginan besarnya untuk mendirikan sekolah menulis tersebut tak
dapat langsung terwujud seperti mudahnya membalik telapak tangan. Ia
mengungkapkan untuk mendirikan sekolah tersebut memang membutuhkan lahan
dan infrastruktur yang mendukung, seperti gedung dan ruangan kelas.
Sedangkan
untuk tenaga pengajar, dia berharap para seniornya yang sejak dahulu
sudah bergelut dengan bidang sastra, seperti Ahmad Yulden Erwin dan
Iswadi Pratama, akan turut membagikan ilmunya. “Namun saya optimistis
dengan usaha dan semangat bersama rekan-rekan seperjuangan di dunia seni
dan sastra, cita-cita mendirikan sekolah menulis Lampung ini segera
terwujud. Sekolah menulis pertama dan satu-satunya di Lampung,” ujarnya.
Ari
paham betapa penting peran sekolah menulis Lampung nantinya jika sudah
berdiri. Meskipun secara budaya Lampung memang kaya akan budaya lisan,
secara budaya tulisan Lampung masih sangat terbatas. Ia khawatir jika
budaya lisan tersebut tidak dituliskan, suatu saat akan punah. “Dengan
menuliskannya, budaya itu akan abadi,” ujar pria yang puisinya pernah
meraih juara dalam Festival Krakatau ini. (S3)
Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Jumat, 25 Januari 2014
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky