SAYA selalu membiasakan diri membuat makalah — minimal catatan kecil — ketika diminta bicara. Sebab, terkadang bias pesan bahasa lisan lebih besar ketimbang tulisan. Itulah yang terjadi saat saya membaca berita (Penulis Profesional Dimulai dari 1 Halaman) atau tulisan Rinta Wulandari (Temu Penulis Antarnegara di Lampung Post) tentang apa yang saya sampaikan.
![]() |
DISKUSI KEPENULISAN. Novelis Rosita Sihombing (kanan) menyampaikan pandangannya dalam diskusi kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP) di harian umum Lampung Post, Minggu (28-7). Pembicara lain, Ketua FLP Lampung Naqqiyah Syam (tengah) dengan moderator Tri Sujarwo. FOTO:ZAINUDIN |
Ceritanya, saya dikasih tahu Adian Saputra. “Do, anak-anak FLP kan undang Rosita Sihombing isi diskusi di belakang rektorat. Saya tawarkan di Lampost aja, Minggu besok, jam 10. Mereka setuju. Datang ya Do. Diskusi santai aja…,” begitu sms Adian, Kamis (27/7).
Waduh… saya wajib datang kayaknya. Soalnya, saya kenal Rosita Sihombing. Dulu sama-sama di Surat Kabar Umum Sumatera Post. Saya duluan masuk, akhir tahun 1998, ia menyusul pada 1999. Tapi, saya keluar pada 2000, sedang dia bertahan hingga 2003. Tahun itu ia harus boyongan ke Paris, Perancis mengikuti suaminya yang bule asal situ, Patrick Monlouis.
Sedikit bernostalgia — dan sedikit narsis — saya bangga pernah menangguk ilmu dan pengalaman dari Sumatera Post (kini tidak terbit lagi). Koran yang didirikan mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung A. Rio Teguh ini telah melahirkan orang-orang hebat. Saya coba mengingat jurnalis generasi pertama koran ini: almarhum Martubi Makki (pemred, yang kala itu anggota DPRD Lampung), Heri Wardoyo (redpel, sekarang Wakil Bupati Tulangbawang), Hardi Hamzah (Plato-nya Lampung), Iswadi Pratama (sutradara Teater Satu Lampung yang namanya telah menginternasional), Juperta Panji Utama (sekarang punggawa di Lampung Peduli), Sudarmono (jago feature yang kini redaktur Lampung Post), Gerard da Silva (pernah jadi pemred Majalah Ombudsman, Jakarta), Christian Heru Cahyo Saputro (pengamat seni), Aan S. Labuan (jago soal kepribadian dan kepribodian), M. Arly Prastowo (Si Nadi Tauhid), Ayik Nurrohman (pakar hukum dan kriminalitas), Ikhsan Subakti (saat ini tengah studi Magister Hukum di Unila), …. siapa lagi ya Krit?
Sebelum di Sumatera Post, aktivitas Sikrit — begitu biasa Rosita dipanggil — memang tidak jauh dari dunia jurnalistik; sebagai wartawan Surat Kabar Mingguan Dayu Ekspres (1998-1999), Tabloid Rektorat Universitas Lampung (1998-2001).
Nah, ketika di Paris ia melahirkan Luka di Champs Elysées (novel, 2008) dan Catatan Cinta dari Negeri Eiffel (berisi catatan-catatan Rosita sebagai muslim yang tinggal di Paris, 2009) sembari menulis di blog (blogger), di berbagai media di tanah air, dan di berbagai antologi bersama.
“Bagi saya, menulis ya menulis saja. Kebanyakan sih nulis dulu di blog. Ya menulis apa saja. Lalu, dari blog saya susun kembali menjadi tulisan-tulisan yang saya kirim dan dimuat di media, di beberapa buku rame-rame. Kalau novel sih ya kebetulan karena saya tinggal di Paris dan melihat kayaknya ada persoalan dengan masalah buruh migran Indonesia. Kemudian saya tergerak untuk menuliskan ceritanya…,” begitu antara lain kata Sikrit dalam Diskusi Kepenulisan FLP Wilayah Lampung di Lampung Post, Minggu, 28 Juli 2013.
Tadinya saya kepengen denger saja apa cerita Sikrit. Tapi, moderator Tri Sujarwo dan Ketua FLP Lampung Naqiyyah Syam minta saya sedikit kasih omong-omongan. Hehee… Saya pikir apa juga yang mau saya bilang.
Maka, dengan mencontohkan Rosita Sihombing yang memulai karier kepengarangannya dari jurnalis, blogger hingga novelis; mulailah saya ngoceh.
Saya bilang, “Banyak jalan menuju penulis. Kalau sudah telanjur berkecimpung dalam dunia jurnalistik, maka (seharusnya) dengan gampangnya masuk ke jagat sastra. Sebab, jurnalistik dan sastra ternyata memang tidak berjauhan. Profesi wartawan dan sastrawan memang sangat dekat. Beberapa nama seperti Adinegoro, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Mahbub Djunaidi, Arswendo Atmowiloto, dan Goenawan Mohamad adalah sosok yang dikenal sebagai wartawan cum sastrawan.”
Adalah pengarang Amerika Ernest Hemingway yang waktu muda menjadi wartawan surat kabar Kansas City Star. Di situ, sambil bekerja, ia banyak belajar tentang prinsip-prinsip penulisan berita. Prinsip inilah yang mengantarkan Hemingway memenangkan Hadiah Pulitzer dan Hadiah Nobel Sastra (Ini saya singgung juga di Kompasiana ini dalam Bahasa Indonesia Jurnalistik).
Jadi belajar jurnalistik juga sebenarnya belajar nyastra. Jenis karya jurnalistik yang disebut feature (karangan khas) sebenarnya dekat dengan tulisan kreatif bernama cerpen (cerita pendek). Sama-sama menggunakan imajinasi dalam merekonstruksi kisah/cerita. Hanya saja kalau dalam feature berdasarkan fakta, tetapi dalam cerpen fiksi boleh masuk.
Satu hal, belajar menulis itu sebenarnya lebih enak dengan membaca. Misalnya, kalau hendak menulis puisi, maka banyak-banyaklah membaca puisi. Baca sebanyak-banyaknya sampai mabuk puisi. Setelahlah itu, mulailah menulis puisi. Kalau tetap tidak bisa menulis puisi, tak perlu berkecil hati karena memang tidak ada keharusan menjadi penyair. Banyak juga yang tak bisa (atau lebih tepatnya tak mau menulis puisi), ternyata menjadi penulis prosa yang baik dan terkenal. Sekadar menyebut nama ada Iwan Simatupang dan Pramoedya Ananta Toer.
Nggak bisa juga nulis puisi dan prosa, bisa menulis yang lain, bisa menulis opini, artikel, dan lain-lain. Kalau untuk konsumsi media sesuaikan saja dengan ketentuan media yang akan kita kirimi tulisan kita. Lampung Post misalnya, memuat opini/artikel, esai, puisi, cerpen, resensi buku, bahkan surat pembaca dan SMS.
Kalau mau sedikit serius menulis kritik/esai umpamanya, maka kita harus membekali diri dengan wawasan (ilmu pengetahuan) yang luas dan kemampuan berbahasa yang mumpuni. Sebab, pada dasarnya menulis kritik/esai itu adalah kemampuan memadukan ketangkasan nalar dan kepekaan sukma. Dengan ketangkasan nalar, tulisan kita menjadi logis dan dengan kepekaan sukma, tulisan kita menjadi estetis. (baca: Menulis Kritik, Menulis Esai)
Kalau ada yang bertanya apakah tulisan yang kita buat itu bisa memberikan manfaat, pertanyaannya itu yang justru di balik: Memang ada tulisan yang tidak bermanfaat?
Maka, mulailah menulis. Menulis apa saja!
Bukan begitu, Ibu Rosita?
Tabik.
Sumber: Kompasiana, Selasa, 30 Juli 2013
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky