Perjuangkan Hidup dari Menulis

Oleh Rudiyansyah

Hardi Hamzah yakin akan tetap hidup dan menghidupi keluarga dari menulis.

Menulis itu perjuangan
Perjuangan menghidupkan intelektual
Perjuangan mencari jawaban dari persoalan persoalan kehidupan
Perjuangan untuk hidup istri dan anak-anak saya.

(Hardi Hamzah)

YOGYAKARTA 1987. Pagi cerah itu menjadi haru, Hardi Hamzah yang baru membaca koran Kedaulatan Rakyat langsung berlari mencari sang istri, Agustina, yang kala itu sibuk menimang orok berumur 1 tahun. Setelah menunjukkan artikel pada sang istri, pasangan muda itu lantas berpelukan.

Hardi membisikkan sesuatu pada istrinya. “Akhirnya kita bisa beli susu untuk anak kita,” ujarnya mengenang.

Sepenggal kisah, Hardi Hamzah, orang yang sejak awal percaya kekuatan rangkaian kata buah pikiran manusia, yakin tetap hidup dan menghidupi keluarga dari menulis. Meskipun, karena tulisan, Hardi pernah dianggap pembangkang ketika menulis tentang Muhammadiyah, organisasi tempat ia menimba ilmu dan membangun kekokohan religinya.

Hingga perdebatan keras yang tak bisa dilupakan hingga kini, saat Munir, tokoh hak asasi manusia (HAM) yang kematiannya masih tanda tanya, juga mengkritik tulisannya, menganggap Hardi pendukung militer.

Senin sore (19/1), suami Agustina kembali berkisah tentang menulis dan hidup. Baginya menulis adalah perjuangan. Aktivitas yang dilakukannya sejak masih mahasiswa hingga kini telah beranak lima.

Dari rumah bergaya panggung yang di sekelilingnya tumbuh jati dan pohon durian di Sukadanaham, Bandar Lampung, lelaki yang mengenakan koko rapi itu mengaku masih menulis meski matanya kini nyaris buta. Dokter memvonis Hardi menderita Pigmentosa retinitis atau kelainan pada mata yang menyebabkan kebutaan seiring bertambahnya usia.

“Saya tidak melihat, tetapi saya punya tanggung jawab pada masyarakat, jadi saya terus menulis,” ujar Hardi.

Dia mengaku masih bisa menulis, tetapi harus dari komputer khusus yang huruf pada keyboard-nya diperbesar, ditimpa kertas lagi. “Layar utama komputer juga harus dibuat hitam dan saya harus mengetik siang hari,” kata Hardi yang saban pagi kini rutin dibacakan koran oleh sang istri.

Romantisme itu, menurutnya, kembali dibangun di tengah keterbatasannya.

Lelaki kelahiran Tanjungkarang, 28 September, 54 tahun silam ini dikenal masyarakat dari tulisan-tulisannya. Hasil pemikiran kritis, Hardi rutin mengisi surat kabar sejak masih mahasiswa di Yogyakarta. Alhasil, sejak dulu tulisannya tersebar di berbagai surat kabar Yogyakarta dan media-media nasional.

Kembali ke Lampung, tulisan Hardi kerap mengisi rubrik opini berbagai surat kabar, termasuk Lampung Post yang menurut Hardi mempunyai kedekatan historis dengannya. Pernah bergabung dengan Sumatera Post pada era 1980-an, Hardi bersahabat dengan para wartawan yang kemudian bergabung dengan Lampung Post. 

Menulis bukan keterampilan turunan yang dimilikinya. Hardi mengaku menemukan kegiatan tersebut lantaran harus berjuang saat menjadi intelektual kampus di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menulis untuk menyambung hidup karena Hardi adalah anak orang tak punya.

“Saya menulis karena saya lapar. Mungkin banyak kawan-kawan saya yang jauh lebih pintar, tetapi mereka tidak menulis…,” kata Hardi yang kini lebih banyak mendengar, mengasah intelektualitasnya untuk terus menulis.

Naluri mengekspresikan apa yang dilihatnya dirasakan Hardi sejak masih SMP. Dia pernah membuat sebuah tulisan dari suasana semrawutnya pasar buah di Bandar Lampung, tempatnya bermain. Tulisan itu kemudian dikirimnya ke salah satu surat kabar. Alhasil, Hardi dicari aparat. Sejak itulah ia sadar, kekuatan di balik sebuah tulisan.

Menjadi mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, kemampuan menulisnya semakin matang. Berada satu barisan dengan tokoh reformasi Amien Rais, memprovokasi tumbangnya rezim penguasa kala itu melalui tulisan.

Meski aktivitasnya semakin terbatas, kini Hardi mememiliki keinginan besar. Menghimpun berbagai tulisannya yang pernah terpublikasi media masa menjadi sebuah buku. “Saya ingin meninggalkan karya untuk anak-anak saya dan orang lain kelak,” kata dia.

Hardi mengaku tengah menggalang dukungan dana dari berbagai kalangan untuk dapat merealisasikan keinginan besarnya itu. Sembari meneruskan perjuangan yang sedari awal diyakininya, yakni menulis. (S1)

rudiyansyah@lampungpost.co.id 

BIODATA 
Nama Lengkap     : Hardi Hamzah
Kelahiran        : Tanjungkarang, 28 September 1960
Ayah             : Alm. Hamzah RTM
Ibu             : Almh. Hasiah
Istri         : Agustina Hardi

Anak
1. Muhammad Imam Journalist
2. Muhammad Ilham Negara
3. Nadia Raissofi
4. Muhammad Hilman Dziqri
5. Muhammad Abiezzard Marga

Riwayat Pendidikan:
1. SDN 5 Tanjungkarang
2. SMPN 3 Tanjungkarang
3. SMAN 3 Tanjungkarang
4. S-1 Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Profesi: Penulis dan peneliti sosial

Organisasi:
1. Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
2. Peneliti Madya Laboratorium Dakwah Salahudin, 1983
3. Litbang Surat Kabar Sumatera Post, 1999
4. Wakil Ketua DPW PAN Lampung Bidang Litbang, 2009 -2014
5. Ketua LSM Sosial Kemasyarakatan Ababil, Bandar Lampung
6. Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
7. Ketua Internasional Class Study Family, Yogyakarta, 1981-1983

Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Rabu, 21 Januari 2015

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart