Melihat kiprahnya dalam dunia hukum dan kegigihan pembelaan terhadap kaum lemah, wajar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengganjarnya dengan Penghargaan Kamaroeddin 2015.
![]() |
Wahrul Fauzi Silalahi |
DEWAN Juri menilai Wahrul Fauzi Silalahi berperan besar mendorong kemerdekaan pers, transparansi, dan demokrasi di Provinsi Ujung Pulau ini. Pria 30 tahun ini sungguh tidak pernah menyangka akan dinobatkan sebagai tokoh berpengaruh di Lampung. Di dunia hukum Lampung, namanya memang sudah tak asing. Ia tak seperti kebanyakan advokat yang cenderung mendampingi klien berduit. Sebaliknya, berenang di ranah kelas bawah yang kerap ditindas hukum dan jauh dari keadilan.
Pria asal Lampung Barat ini, kini menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung—sebuah lembaga yang berfokus pada pendampingan hukum bagi kalangan tak mampu. Di bawah kepemimpinannya, LBH Lampung berhasil meraih penghargaan sebagai lembaga bantuan hukum terbaik ke 2 se-Indonesia dari Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Agustus 2015.
LBH dalam pemahamannya, punya cara tersendiri dalam menangani suatu perkara hukum. Bila kebanyakan advokat hanya sebatas pada upaya penampingan, LBH lebih menggali akar muasal perkara hingga dugaan adanya permainan mata antara institusi hukum dengan kalangan borjuis.
“LBH tidak hanya fokus membela perkara secara litigasi saja, tapi bagaimana membongkar akar masalah persoalan yang dihadapi rakyat. Kita berhadapan dengan para pemilik kekuasaan karena cenderung ada ketimpangan. Di sinilah LBH hadir memberi keseimbangan dan keadilan bagi rakyat,” kata pria kelahiran Medan, 31 Agustus 1986.
Merintis LBH Pers
Pertengahan Juni 2015, LBH melebarkan perannya. Bersama AJI Bandarlampung, LBH di bawah kepemimpinannya membentuk sebuah wadah pendampingan bagi insan pers, baik secara institusi maupun personal jurnalis. LBH Pers hadir untuk memberikan pendampingan bagi kalangan media dan wartawan. Namun LBH juga tak sembarangan, dengan terlebih dulu memverifikasi indentitas dan track record media dan wartawan yang akan dibela.
Sarjana Fakultas Hukum Unila ini memandang, ukuran penegakan HAM dan pembangunan manusia dapat diukur dari kondisi pers yang baik. Dalam arti, terwujudnya keterbukaan informasi dan jaminan kebebasan pers dari kekangan dan pembredelan.
“Ada beberapa kepala daerah yang belum menerima secara utuh terkait pemberitaan pers ketika diberitakan secara kritis dengan melampirkan fakta terkait kebobrokan di intitusinya. Kalau masih anti dikritik, ini potret buruk. Karena ukuran demokrasi, bagusnya mental saat dikritik. Jadi bagi yang masih anti kritik, patut dipertanyakan integritas dan pemahaman demokrasinya.”
Menurutnya, dari sisi internal lembaga pers, perusahaan harus mampu menjamin kesejahteraan para wartawan agar terhindar dari suap demi menjaga independensi. Insan pers juga harus mengedepankan kode etik jurnalistik dan undang-undang pers dalam menjalankan tugas peliputan.
Dari sisi lain, putra dari pasangan Nazrin Silalahi dan Ramsiah Sitanggang ini juga memandang, tindakan kriminalisasi dan pembredelan pers juga masih sering ditemui akibat pemberitaan yang kritis.
“Saya menilai, iklim pers di Lampung cukup miris. Masih banyak jurnalis yang belum memahami kode etik. Pembredelan pers juga kerap terjadi, saat ada berita yang bernada kritik,” kata salah satu narasumber program Mata Najwa yang mengangkat tema “Pengacara Cari Perkara” pada Juni 2014.
Peraih medali emas di ajang turnamen Pencak Silat Pekan Olahraga Kabupaten (Porkab Lampung Barat) 2005 ini juga menilai pers memiliki kekuatan dalam menentukan kebijakan pemerintah. Melalui pemberitaan, aspirasi rakyat dan para pejuang keadilan akan tersampaikan kepada pembuat kebijakan.
“Sebagai contoh dalam menangani kasus orang miskin yang minim secara akses, pers menjadi ruang penyampai aspirasi untuk disampaikan kepada pemerintah. Pers sebagai mitra strategis, telah membuktikan, dengan hadir dalam proses pendampingan hukum, sangat berpengaruh besar pada tataran pengambil kebijakan,” kata mahasiswa Magister Hukum Universitas Bandar Lampung ini.
Pendampingan Hukum
Disinggung mengenai pengalaman pendampingan hukum paling sulit, ia mengetengahkan kasus konflik berdarah petambak udang Bratasena Lampung Tengah pada Maret 2013.
“Ada petambak yang kritis karena selama 20 tahun mereka dizalimi terkait penetapan harga, pasokan bibit, pupuk hingga mereka terlilit utang miliaran. Petambak di adu domba, disisi lain ada ancaman premanisme, hingga memakan korban jiwa 8 orang petambak,” ungkapnya.
Yang membuat sulit, kata dia, LBH dihadapkan pada dua perkara sekaligus, menangani petambak yang sudah tersangka dan ditahan di Polda Lampung dan sisi lain mendorong upaya normalisasi dan perdamaian.
“Jujur saja kami kewalahan. Saat memediasi upaya perdamaian, kami dikepung oleh kelompok preman yang membawa senjata tajam. Peristiwa itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran,” ujarnya.
Sementara terkait prestasi penanganan perkara yang paling membuatnya bangga, adalah adanya upaya pengembalian kekayaan negara dari kasus yang menjerat mantan Bupati Lampung Timur, Satono dan mantan Bupati Lampung Tengah, Andi Achmad.
LBH, menurut dia, pernah menggugat Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi karena tak melakukan upaya penanganan terhadap kedua kasus tersebut.
“Kita gugat Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi pada 2014, Alhamdulillah akhirnya mereka mau turun dan menyita aset kepemilikan tersangka. Sekarang sudah masuk tahapan lelang sehingga kerugian negara bisa dikembalikan,” ujarnya bangga.
Disinggung mengenai fokus perkara yang sedang dikejar, ia mengatakan, LBH tengah berupaya mendorong diterbitkannya peraturan daerah terkait perlindungan dan pendampingan hukum bagi masyarakat bawah di berbagai daerah di Lampung.
Secara undang-undang, kata dia, negara memiliki kewajiban menjamin hak-hak bantuan hukum kepada kelas bawah. Hak warga negara sama di hadapan hukum dan harus diadili seadil-adilnya sehingga membutuhkan perlindungan hukum.
Saat ini, kata dia, masih banyak advokat yang alergi dan enggan membela masyarakat kecil. Ketika ada perda bantuan hukum, dengan realisasi berupa anggaran bagi para advokat daerah, masyarakat kecil jadi terbantu dan merasa diberi perlindungan oleh negara.
“Riset kami membuktikan, 85 persen masyarakat kelas bawah yang sudah terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum, karena tidak adanya perhatian negara,” pungkasnya.

BIODATA
Nama: Wahrul Fauzi Silalahi, S.H.
Tempat/tanggal lahir : Medan, 31 Agustus 1986.
Agama : Islam
Istri : Dian Rizki, S.ST.
Anak: Faqi Althamis Silalahi
Pendidikan :
1. SDN 14 Medan, pindah ke-SDN 1 Gunungsugih, Lampung Barat (1998)
2. SMPN 1 Liwa, Lampung Barat (2001)
3. SMAN 1 Liwa, Lampung Barat (2004)
4. Fakultas Hukum Universitas Lampung (2009)
5. Sedang menempuh studi di Pascasarjana Universitas Bandar Lampung
Pekerjaan: Advokat, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung
Sumber: Kiprah, Fajar Sumatera, Jumat, 11 September 2015
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky