![]() |
Hendrawan |
BENCANA asap yang melanda beberapa daerah di Indonesia hingga merenggut korban jiwa menjadi musibah nasional yang harus disikapi dan segera dicari solusinya.
Pengaruh El Nino yang memicu kemarau panjang menjadi pencetusnya. Namun, justru banyak perusahaan perkebunan dan kehutanan yang mengambil kesempatan ini buat membuka lahannya atau land clearing dengan cara membakar. Alhasil, kabut asap makin tebal dan bertahan lama hingga ke negeri jiran.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dengan tegas menyebut korporasi atau perusahaan di sektor kehutanan dan perkebunan sebagai aktor utama penyebab bencana dan kerusakan lingkungan tersebut.
Meski berdasarkan data Walhi, akibat terparah terjadi di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, bukan tidak mungkin Bumi Ruwa Jurai juga mengalami hal serupa di masa yang akan datang. Sebab, kebakaran lahan ini sebenarnya bukan hal baru dan telah berlangsung 18 tahun yang lalu. Meskipun bencana asap tahun ini menjadi yang terparah.
Menanggapi seputar bencana asap dan konsidi lingkungan di Provinsi Lampung, wartawan Lampung Post
Rudiyansyah berkesempatan mewawancarai Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan di Sekretariat Walhi Lampung, Jalan Zainal Abidin Pagaralam, Bandar Lampung, Jumat (16/10). Berikut petikan wawancaranya:
Kabut asap telah menjadi bencana nasional bahkan telah menelan korban jiwa. Bagaimana Walhi menanggapinya?
Pertama kita wajib bersyukur di Lampung tidak terjadi bencana tersebut. Mungkin karena perilaku di Lampung tidak sama dengan di sana, atau memang prosesnya belum terjadi saja. Karena BMKG juga sebenarnya sudah merilis titik-titik api di Lampung. Ini fenomena bukan pertama terjadi, selalu berulang. Tetapi ini puncaknya dan terbesar dari sebelumnya. Indikasi yang Walhi lihat perilaku ini sudah lama dan berulang dan kami menyoroti aktor utamanya adalah perusahaan.
Apakah Walhi melihat adanya pembiaran dari pemerintah?
Kalau kami melihat bukan membela pemerintah sekarang, upaya pemerintah sekarang ada kemajuan, walaupun masih lambat dan belum sesuai keinginan kami yang seharusnya pemerintah bergerak cepat, bertindak preventif dan lebih tegas. Presiden memang sudah turun, kementerian juga sudah gugat perdata perusahaan. Artinya mereka menagih pemulihan lingkungan. Ini menjadi langkah baik, tetapi kami menanti ending ke depan seperti apa dan seekstrem apa pemerintah memberikan sanksi tegas kepada perusahaan-perusahaan pembakar lahan secara sengaja itu.
Siapa yang harus bertanggung jawab dari bencana ini?
Sebetulnya izin diberikan negara, maka negara punya tanggung jawab di situ, yakni mengawasi aktivitas perusahaan dan bagaimana menjamin kesehatan, khususnya menyediakan udara yang bersih karena juga menjadi hak setiap warga negara sebagai hak asasi. Jadi yang harus bertanggung jawab pemerintah dan perusahaan.
Sanksi tegas seperti apa yang Walhi harapkan?
Kalau berdasarkan temuan dan fakta, ada perusahaan yang memang jelas melakukan. Kami tidak ingin hanya sanksi administratif. Harus sampai pencabutan izin bahkan pidana. Artinya, pemerintah tegas memberikan sanksi. Dari ketegasan itu harapannya tahun depan tidak akan terulang.
Anda yakin pemerintah akan tegas, di tengah upaya pemerintah menarik banyak perusahaan untuk berinvestasi?
Kalau Walhi menjawabnya mungkin tidak mungkin. Akan tetapi, sebagai kelompok lingkungan, kami akan terus mendorong pemerintah untuk lebih berani dan tegas memberikan sanksi itu. Indikatornya sederhana, kami sudah memiliki data perusahaan, tinggal nanti berapa yang dieksekusi oleh pemerintah. Kami juga selalu menyokong data dan fakta di lapangan sehingga mengawal penyelesaian perusahaan-perusahaan nakal itu.
Selain bencana asap, apa permasalahan lingkungan yang saat ini sangat mengancam?
Kita masih menyoroti ketimpangan pengelolaan sumber daya alam (SDA) harus lebih berprespektif lingkungan. Jangan hanya memberikan izin semata. Kami berharap seperti izin HTI kepada perusahaan dalam skala besar tidak lagi diberi. Apalagi asap ini menjadi indikator pengelolaan lahan oleh korporasi itu tidak baik. Harus dimulai dari perizinan.
Bagaimana kondisi lingkungan di Lampung?
Isu hutan masih menjadi utama. Kerusakan hutan Lampung masih kisaran di atas 65% walaupun aktivitas rehabilitasi lahan, penghijauan tetapi kerusakan terus berlangsung. Berarti keberhasilan program pemerintah masih dipertanyaakan. Karena kerusakan hutan akan berdampak pada semua lini, seperti udara, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Pada 2010—2012 kami melakukan investigasi di Lampung Barat masih terjadi illegal logging. Ini masih jadi salah satu penyebab kerusakan hutan di Lampung. Dengan aktor intelektual memang pengusaha kayu. Pemerintah juga terkesan tidak tahu atau memang menutup mata.
Juga menyoroti perusahaan pengelola kawasan hutan masih banyak yang monokultur. Padahal seharusnya hutan itu banyak jenis, itu harus sudah dipikirkan pemerintah. Jangan sampai semuanya dikuasai perusahaan. Evaluasi izin-izin perusahaan atau audit lingkungan. Apakah sudah dilakukan perusahaan atau belum. Seharusnya dilakukan per periode, jangka panjang menengah sehingga ada progres perusahaan ini sudah mengelola seusai dengan aturan yang ada atau belum.
Dengan kondisi hutan 65% rusak, bagaimana mengantisipasi bencana saat musim hujan?
Ya kalau selama ini memang yang menjadi tren kita adalah saat kemarau kekeringan, hujan banjir. Di Lampung seperti di Tanggamus, Lamsel, Pesawaran, ada beberapa titik rawan banjir dan longsor. Ketika musim hujan kami berharap pemerintah setempat melalui struktural pemerintahannya, baik melalui BPBD, Dinas Kehutanan, dan instansi terkait harus mengantisipasi itu.
Khusus Kota Bandar Lampung, bagaimana?
Seharusnya Bandar Lampung memang tidak banjir, karena posisinya di atas, tetapi kenapa 2008 banjir besar? Itu menjadi PR. Ada perubahan lokasi resapan, kawasan hijau dibangun untuk bangunan. Adanya penyempitan dan pendangkalan aliran sungai karena sampah. Kemudian masih terbatasnya ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya 30% sampai saat ini hanya 11%.
Apa harapan Walhi untuk pemerintah?
Pemerintah harus lebih serius dan tegas menangani permasalahan lingkungan. Jangan perusahaan melakukan pencemaran, hanya sebatas teguran. Mungkin ini membuat banyak perusahaan yang juga membuat ulah dan banyak mengikuti. Seharusnya ini bisa menjadi efek jera.
Selanjutnya monitoring harus berjalan seperti audit dan evaluasi harus dilakukan. Karena pasti semua memiliki izin, tetapi jangan sebatas dokumen perizinan. Evaluasi dan auditnya juga harus dilakukan. Sudah saatnya pemerintah memberikan sanksi tegas. Kalau izin memang mereka punya, tetapi hanya sebatas dokumen, tidak ada audit dan evaluasi, berarti pemerintah yang tidak serius.
BIODATA
Nama : Hendrawan
Kelahiran : Tanggamus, 29 Oktober 1976
Jabatan : Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung.
Sumber:
Wawancara, Lampung Post, Minggu, 18 Oktober 2015
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky