Oemarsono (1940-…): Sang Loyalis Lampung

DATANG ke Lampung mengemban amanat sebagai wakil gubernur, Drs. H. Oemarsono langsung kepincut dengan Tanah Sabrang di ujung selatan Pulau Sumatera ini. Birokrat yang dikenal cermat dan teliti ini mendampingi Gubernur Poedjono Pranyoto sebagai “penjaga gawang”. Poedjono sebagai penembus pertahanan lawan, sedangkan Oemarsono sebagai penjaga “rumah” Pemprov.

Sepeninggal Poedjono Pranyoto yang terpilih menjadi ketua Badan Pekerja MPR, Oemarsono didaulat melanjutkan kepemimpinan terhadap rakyat Lampung yang saat itu berjumlah 6,7 juta jiwa. Dan, pada 26 Januari 1998, ia dilantik sebagai gubernur setelah memenangkan pemilihan oleh DPRD Lampung.

Memimpin provinsi bersamaan dengan pecahnya era reformasi, pria kelahiran Cungul, Sragen, Jawa Tengah, 3 Mei 1940 ini bermodal pengalaman sebagai bupati Wonogiri, Jawa Tengah, selama dua periode. Sementara itu, modal kecermatannya terhadap angka-angka dia peroleh dari tugasnya sebagai kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sragen, sebelum akhirnya menjadi bupati Wonogiri.

Kepemimpinan selama itu lebih tenang, lebih banyak memotivasi rakyat agar berjuang membangun, dan mengelola administrasi pemerintahan. Maka, ia dikenal sebagai pempimpin yang sukses menggerakkan rakyat sehingga dipercaya memimpin Lampung.

Meskipun dalam suasana gonjang-ganjing sebagai ikutan jatuhnya Orde Baru, suami Edyati ini tetap melajukan “perahu” besar ini menembus badai. Secara adminsitratif dan manajemen, Pemprov Lampung tidak terlalu terimbas krisis. Anggaran cukup aman dalam kontrol alumnus FISIP Universitas Gadjah Mada ini. Prinsip administrasinya, gemi, setiti, ngati-ati (hemat, teliti, hati-hati) telah diuji dengan penghematan dari sektor pengeluaran.

Saat itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mempunyai tradisi defisit, dibuat surplus oleh gubernur yang juga dalang wayang kulit ini. Sisa anggaran tahun berjalan cukup untuk memulai aktivitas pemerintahan sebelum dana anggaran tahun berikutnya turun.

Memimpin Lampung selama satu periode, sosok bersahaja yang mempunyai koleksi benda pusaka, dari keris hingga perangkat gamelan dan wayang ini memang fokus menggarap ekonomi kerakyatan. Berbagai program berbasis perdesaan diluncurkan. Industri Tepung Tapioka Rakyat (Ittara) diprogramkan untuk memberi solusi atas penderitaan petani singkong yang dipermainkan harganya oleh pengusaha.

Hasilnya memang tidak maksimal. Sebabnya, pola pikir dan budaya petani Lampung saat itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengubahnya. Maklum, mengubah sifat memang tidak semudah mengubah penampilan.

Kemudian, program pembangunan desa dengan tajuk Desaku Maju Sakai Sambayan (DMSS) Gerakan Kembali ke Desa (GKD) juga ditegakkan. Langkah ini merupakan program untuk mengawal era reformasi yang memaksa ribuan buruh dan karyawan industri harus terkena imbas pemutusan hubungan kerja. Mereka diharapkan mau kembali ke desa dan berpartisipasi membangun daerahnya agar lebih maju.

Dengan berbagai stimulan untuk mendorong masyarakat kota yang berpotensi agar mau kembali membangun desanya, ia bersafari ke pelosok-pelosok Lampung. Tidak heran jika ia agak abai membangun fisik. Ini karena masa peralihan dan krisis ekonomi sehingga seluruh sumber daya digerakkan untuk mengurus “perut rakyat”.

“Bukan tidak ingin membangun kemegahan fisik, melainkan situasinya sedang tidak memungkinkan dan tidak pas. Hasli pembangunan fisik, untuk saat itu belum dibutuhkan rakyat. Sebab, yang sangat diperlukan saat itu adalah makan,” kata dia.

Dalam menjaga fokus pembangunan, Oemarsono yang hingga masa jabatannya berakhir tetap menggunakan mobil dinas Jeep Cherokee warisan gubernur sebelumnya itu sangat tegas dengan keluarganya. Tiga anaknya yang semuanya sudah selesai kuliah diminta tinggal di Jawa. Termasuk menantunya yang asli Lampung, tidak boleh tinggal di Lampung. “Saya tidak mau anak saya merasa mentang-mentang bapaknya menjadi gubernur. Saya takut mereka berbuat tidak semestinya. Jika itu terjadi, akan mengganggu tugas saya sebagai pemimpin di sini. Sebab, seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan dan contoh,” kata dia.

Keteladanan Oemarsono sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada anak-anaknya. Keseriusannya mengerjakan tugas-tugas birokrasi tidak dapat tertandingi pegawai negeri pada umumnya. Tidak heran jika setiap keputusan yang diambil selalu akurat. Sebab, untuk surat-surat yang membutuhkan kajian dan menyangkut angka-angka krusial, ia bawa pulang dan diteliti pada malam hari saat orang lain sudah tidur. “Saya sudah terbiasa tidur hanya tiga atau empat jam sehari.”

Ada yang berubah drastis sejak pergantian kepemimpinan dari Peodjono Pranyoto ke Oemarsono, yakni ketatnya pengeluaran anggaran. Untuk perubahan itu, sempat menjadi pergunjingan yang mengatakan Oemarsono pelit. Atas pertanyaan itu, penyuka gudeg dan tempe bacem itu menanggapi dengan diplomatis.
“La, itu kan bukan uang saya. Itu uang negara, uang rakyat. Jadi, saya jadi zalim jika saya menghambur-hamburkan uang rakyat untuk keperluan yang tidak berpihak kepada rakyat. Jika ada yang minta bantuan kepada saya secara pribadi, pasti saya bantu. Tetapi, tidak bisa banyak. Sebab, penghasilan saya sebagai gubernur juga tidak seperti yang dibayangkan orang. Saya punya anak, punya istri, dan punya kebutuhan lain yang tidak ditanggung pemerintah,” kata dia.

Tidak terpilih lagi saat mencalonkan diri untuk periode kedua pada 2004, Oemarsono tetap tinggal di Lampung. Bahkan, dengan besar hati, ia membuktikan loyal terhadap provinsi yang dipimpinnya. Bahkan, ia membeli rumah dan membuka usaha hotel di Lampung.

Kini, di masa pensiunnya yang sesungguhnya mulai ia nikmati, ia mengemban amanah banyak warga Lampung agar mencalonkan diri lagi menjadi gubernur. Berpasangan dengan Thomas Azis Riska sebagai wakilnya, ia siap mengemban amanah itu dengan harapan dapat membangun Lampung lebih baik lagi. “Saya hanya mengemban amanah, sambil menyiapkan generasi penerusnya,” kata dia. n

BIODATA


Nama: Drs. H. Oemarsono
Lahir: Sragen, Jawa Tengah, 3 Mei 1940
Agama: Islam
Ayah: Sastro Pawiro
Ibu: R. Ng. Siti Maryam
Istri: Edyati Dwi Lestari
Anak:
1. Projo Sudrajat
2. Retno Dwi Hartati
3. Toto Tri Mulyarto

Pendidikan:
– SR Sragen 1954
– SMP Negeri Sragen 1957
– SMA Negeri IV Solo 1960
– S-1 Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 1966

Riwayat pekerjaan:
– PNS di Pemda Kabupaten Sragen 1966
– Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sragen 1985
– Bupati Wonogiri 1985–1995
– Wakil Gubernur Lampung 1995–1998
– Gubernur Lampung 1998–2003

Sumber: 
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 162-163.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart