Musannif Ryacudu (1924-1987): Komandan Tempur yang Religius

TANGGAL 15 Agustus 1962. Indonesia diwakili Soebandrio berunding dengan Belanda yang mengutus Jan van Roijen dan C.W.A. Schurmann di Markas Besar PBB, New York. Perundingan menghasilkan Persetujuan New York. Pakta itu merupakan awal pembebasan Irian Barat.

Beberapa bulan ke belakang, terjadi pertempuran Indonesia-Belanda. TNI AD menyusup ke pantai Irian Barat, dibantu armada besar TNI AL dan TNI AU yang mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan.

Di antara serdadu-serdadu itu terdapat satu nama: Letnan Kolonel Musannif Ryacudu. Pria kelahiran Pasir Bahuga, Way Kanan, 28 Februari 1924, ini mengemban tugas membantu Operasi Teritorial Ekonomi-Pemerintahan dalam rangka Pembebasan Irian Barat.

Pulang dengan kemenangan, Ryacudu menamai anak bungsunya Iriana Trimurthy. “Iriana, diambil dari Irian Barat. Bapak ikut perang bebasin Irian Barat,” ungkap R.A. Zuhariah, istri tercinta Ryacudu.

Ryacudu menamatkan Holands Inlandsche School (SD di zaman Belanda) pada l938. Melanjutkan MULO 1938–1941, lalu ikut pendidikan militer ala Jepang (Gyu Gun Kanbu) sampai 1943. Metode pelatihan Gyu Gun Kanbu membentuk mental putra Iljas Pangeran Katja Marga itu menjadi tentara yang sangat disiplin.

Ia turut mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda beberapa tahun kemudian. Dari Lampung, Ryacudu dan pasukannya terdesak. Mereka mundur sampai ke Tanjung Sejarow, sebuah daerah di Sumatera Selatan. Di sinilah Ryacudu bertemu pujaan hati. “Ketemu beberapa hari, langsung nikah,” kata Zuhariah sambil tersenyum.

“Bapak hobinya keluar-masuk hutan. Ngejar dan dikejar Belanda,” tuturnya lagi.

Sebagai komandan, ia sering mengontrol anak buahnya yang berjaga-jaga. Sehari di hutan, sehari di rumah. Sehari di rumah, balik lagi ke hutan. Begitu terus. “Kami hanya sempat menikmati pernikahan 19 hari. Saya langsung ditinggal perang lagi,” kenang Zuhariah.

Ryacudu kembali ke Lampung dalam rangka membantu pertahanan. Ia mendengar masih ada sisa-sisa perlawanan tentara dan rakyat Lampung terhadap Belanda. Kepulangannya nyaris menjemput maut. Peluru Belanda bersarang di dada, sedikit mengenai paru-parunya.

Berita itu rupanya dirahasiakan pada keluarga. Lama tiada kabar, sang istri pun mulai cemas. Zuhariah dapat info dari kurir Ryacudu, “Bapak bilang, kalau mau ketemu datang ke Lampung.”

Nekat, pagi-pagi ia jalan kaki ke Martapura. Pukul 15.00, melanjutkan perjalanan menyusuri rel kereta api hingga ke Giham, Way Kanan. “Sampai di Karang (Tanjungkarang, red), ternyata sudah aman. Kami ketemu,” kenang ibunda Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu itu.

Pasca-agresi, Ryacudu makin aktif di militer. Beberapa jabatan sempat diemban. Ketika masih kapten, ia turut dalam Operasi Penumpasan DI/TII Garut-Tasikmalaya, Jabar, 1951–1952.

Setelah mayor (1954–1957) lalu naik pangkat jadi letkol, ia ikut Operasi Penumpasan PRRII/Permesta 1958. Kariernya terus naik seiring dengan pangkatnya: Dari kolonel, naik ke brigjen, sampai mayjen.
Sejak 1963, ia diterjunkan ke Kalimantan. Saat itu, Indonesia konfrontasi dengan Malaysia memperebutkan Kalimantan. Malaysia yang diboncengi Inggris ingin menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak, dengan provinsi-provinsi milik Indonesia di Kalimantan.

Presiden Soekarno menolak, lalu memutuskan perang. Ryacudu turun pada Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 1963–1966. Di sini Ryacudu mulai disukai Presiden Soekarno.

Setahun berikutnya, ia bertempur lagi di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak. “Dia ujung tombak waktu Indonesia perang dengan Malaysia. Dia memimpin pasukan,” tutur Zuhariah. Rona bangga terpancar di wajah ibu berusia 79 tahun itu.

Ryacudu, anak keempat dari tujuh bersaudara, juga berperan menumpas G-30-S/PKI di Kalimantan Barat (1965–1967). Karena makin dekat dengan Soekarno, namanya dicap Letkol Untung dalam daftar Dewan Revolusi pada 1965. Informasi itu santer, tapi Ryacudu tegas membantah terlibat.

Di Pulau Borneo, Ryacudu merasakan sakit di dada. Rupanya bekas tembakan peluru membuat paru-parunya mengecil. Khawatir makin fatal, akhirnya ia mengundurkan diri April 1975. Ia pensiun dini dengan pangkat mayor jenderal (purnawirawan).

Sangat Patuh

Tidak lagi aktif di kemiliteran, Ryacudu jadi pengurus Masjid Istiqlal. Religiositasnya memang sudah mendarah daging. Ia gemar baca buku agama. “Sejak kecil, kami salat harus jemaah. Salat nggak dimulai kalau anak-anaknya belum kumpul semua,” kata Iriana Trimurthy. Jika ada anaknya yang ketahuan tidak salat, cambukan ikat pinggang siap melayang.

Gaya militer Ryacudu terbawa dalam mendidik kesembilan anaknya. “Kalau satu dari kami ada yang buat salah, semuanya jadi kena marah,” kata Iriana.

“Sepatu sama sandal kalau nggak rapi nyusunnya, mereka kena marah,” ujar Zuhariah.

Orang-orang dekat mengenal Ryacudu sebagai sosok yang jujur dan rendah hati. Ia juga enggan menerima rumah pemberian pemerintah sebagai balas budi atas jasa-jasanya. Rumah yang kini dihuni keluarga besarnya di Jalan Musyawarah II, Jakarta Barat, itu hasil menjual rumah warisan. “Kami dapat rumah dari orang tua saya, terus kami jual dan bangun rumah yang di sini,” jelas Zuhariah.

Khas militer, ia juga sangat patuh. Ketika menderita diabetes pada 1980-an, semua nasihat dokter dituruti. Selama perawatan, dia rutin olahraga jalan pagi. “Disuruh makan kentang, ya makan kentang. Makan ini, ya makan ini. Salah ngasih makannya, saya kena marah,” cerita istrinya.

Ryacudu tutup usia pada tahun 1987. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Selama kariernya di militer, Ryacudu menuai berbagai macam tanda jasa. Mulai Bintang Dharma, Gerilya, Kartika Eka Paksi, dan Sewindu. Penghargaan lain, dalam berbagai bentuk dan ragam jenis satyalancana.
Jejeran barang peninggalan, juga foto-fotonya, kini terpampang di anjung-anjung dan Lapangan Agung Nuwo, Mesirilir, Way Kanan, kampung asal orang tuanya. Itu adalah penanda dan penutur ungkapan rasa bangga warga Lampung terhadap sosok Mayjen (Purn.) TNI Mussannif Ryacudu. n

BIODATA

Nama: Mussannif Ryacudu
Lahir: Pasir Bachuga, Way Kanan, Lampung, 28 Februari 1924
Meninggal: 1987
Agama: Islam
Istri: R.A. Zuharya
Anak-anak:
1. Ryamizard
2. Ryamuazzamsyah
3. Nursandrya
4. Heryati Zuraida
5. Syamsurya
6. Krisna Murthy
7. Daan Rizal
8. Rya Irawan
9. Iriana Trimurthy

Pendidikan umum:
– HIS (lulus 1938)
– MULO (lulus 1941)
– SMA (1956-1962)
– Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan

Pendidikan militer:
– Gyu Gun Kanbu 1942–1943 (Ijazah/Gyu Minarai)
– Apl. Kursus Pamen Tituler tahun 1954 (2 bulan) Shikang II Palembang
– Kursus “C” SSKAD Bandung tahun 1958-1959 (Mendapat TKSU)

Jabatan:
– Komandan Daerah/Ketua Pimpinan PKR/APL/TKR (1945)
– Kepala Sekolah Kader Tentara Sumsel dan Jambi (1946)
– Kepala Pendidikan Latihan Staf Sub-Komandemen Sumsel (1946)
– Dan Depot Yon Pendidikan/Kepala Pendidikan Latihan Divisi Garuda II (1946-1947)
– Dan Yon 32/XV, Merangkap Dan Mobilisasi Rakyat Sektor IV (1947)
– Dan Ogan/Komandan Area Gerilya, Merangkap Dan Yon 24/XV (1947–1948)
– Dan OKL Area Gerilya (1948–1950)
– Merangkap Wadan M TP SK (1949–1950)
– Kepala Pendidikan/Instruktur Depot Yon 26 (1950)
– Dan Yon XII A/BSS (1950)
– Dan Yon 206, Merangkap Komandan Sub Teritorial Lampung (1950–1952)
– Dan Komando Garnizoen Palembang (1952–1953)
– Dan KMKB Palembang (1952–1957)
– Merangkap Dan RI/Sub-Teritorial 5 TT II (1957–1958)
– Asisten I Ierjen Terpra (1960–1963)
– Pangdam XII/TJPR Pangkodahan Kalimantan Barat (1963–1964)
– Ketua Presidium Universitas Negeri PTK (1963)
– Wa.Pang/Kas Komandan IT (1967–1970)
– Pjs. Kas Kowilhan IV/Sulawesi (1970)
– Perwira Tinggi Sekretaris Pribadi KSAD (1970)

Kepangkatan:
– Gyui Syoi (1943–1945)
– Kapten (1945–1954)
– Mayor (1954–1957)
– Letnan Kolonel (1957–1962)
– Kolonel (1962–1965)
– Brigadir Jenderal (1965–1967)
– Mayor Jenderal (1967–1975)
– Sejak April 1975 menjadi purnawirawan ABRI/TNI Angkatan Darat

Operasi penugasan:
– Operasi Penumpasan DI/TII (Garut-Tasikmalaya, Jabar), 1951–1952
– Operasi Penumpasan DI/TII (Aceh Tenggara), 1945–1955
– Operasi Penumpasan PRRI/Permesta (Jambi), 1958
– Bantuan Operasi Teritorial Irjen Terpra (perbatasan Jateng-Jabar), tahun 196–1961
– Bantuan Operasi Teritorial Ekonomi Pemerintahan dalam rangka pembebasan Irian Barat/Trikora (perbatasan Irian Barat), 1961–1963
– Operasi Dwikora (Kalbar-Kalimantan Utara), 1963–1966
– Operasi Penumpasan PGRS-Paraku (perbatasan Kalbar-Serawak)
– Operasi Penumpasan G-30-S/PKI (Kalbar), 1965–1967
– Operasi Penumpasan Gerombolan Irian Barat tahun 1967–1969

Tanda Bintang:
– Bintang Dharma
– Bintang Gerilya
– Bintang Kartika Eka Paksi
– Bintang Sewindu

Pengalaman luar negeri:
– Malaya (anggota Misi Angkatan Darat)
– Malaysia (Rapat Koordinasi Operasi terhadap PGRS/Paraku)

Sumber: 
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 51-54.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart