Multitalenta, Siapkan Buku ‘Risalah Pengibar Bendera’

Oleh Ade Yunarso

Muhammad Harya Ramdhoni. FOTO: RILISLAMPUNG.ID/Hendarmin

NAMA lengkapnya Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah. Doni –begitu ia akrab disapa, kelahiran Solo, Jawa Tengah, pada 15 Juli 1981.

Doni mendadak terkenal lantaran mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Universitas Lampung pada 1 April 2018. Padahal, ia telah mengajar di FISIP Unila 10 tahun lebih.

Semua itu ia tinggalkan karena keinginannya berpolitik, masuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sebuah pilihan yang tidak masuk akal jika bukan karena tekadnya yang kuat.

Gandrung Rap

Doni memang sering membuat pilihan tak terduga. Semasa SMP misalnya, di saat banyak teman-temannya yang menyukai musik rock atau pop, dia justru mengandrungi musik rap.

Malah bukan hanya suka, Doni sudah sampai tahap jatuh cinta. Ia bahkan sudah mencipta puluhan lagu. ”Kalau 50-an mungkin ada, sudah lama banget sih, saya nggak ingat,” katanya di acara Rilis Corner di Kantor Rilislampung.id, Jumat (20/4/2018).

Doni saat itu memilih solo. Bintangnya sebagai penyanyi rap bersinar di era 1996-1999. Dia bolak-balik masuk radio. Pagi di Rasuba FM dan malam di Andalas FM. Penyanyi rap favoritnya adalah rapper Iwa K.

”Dulu ada ajangnya. Gimana mau serius sekolah. Dikasih uang Rp75 ribu sekali ngerap. Minimal Rp50 ribu, bisa sampai Rp100 ribu. Sebulan bisa gopek (Rp500 ribu),” kenangnya.

Berbagai festival di beberapa daerah ia ikuti. Seperti di Bogor, Bandung, dan Palembang. Saking seriusnya di jalur rap, sekolahnya sempat terbengkalai.

”Sampai pada 1997 saya mau tanda tangan kontrak, kebetulan produsernya masih om (paman) saya, yang nanganin Eno Lerian (penyanyi cilik yang sekarang pesinetron, Red). Tapi, nggak boleh sama ayah saya,” paparnya. Ayahnya lalu memindahkan Doni ke SMAN 1 Liwa.

Doni lalu bercerita sedikit tentang latar belakangnya. Ayahnya, Chaerul Muluk Muis (alm.) adalah asli orang Liwa, Lampung Barat. Sementara, sang ibu, Endang Sri Haryanti, M.Kes., dari Solo, Jawa Tengah.

Mereka bertemu ketika sama-sama kuliah di UNS (Universitas Sebelas Maret), Solo. Mereka adalah dokter umum sejak 1980-an, bekerja di banyak tempat, di pedalaman umum, dan terakhir di Liwa. ”Ibu saya terakhir menjabat Kepala Dinas Kesehatan di Pesawaran,” ungkapnya.

Doni adalah anak pertama dari empat saudara. Dia bersekolah di SD Teladan lalu berlanjut ke SMPN 5 Bandarlampung (sekarang SMPN 9 Bandarlampung). Sempat di SMAN 7 Bandarlampung sebelum akhirnya pindah ke SMAN 1 Liwa.

Setelah itu, ia kuliah di Unila dan merampungkan pendidikan terakhir Ph.D (Doctor of Philosophy) dalam bidang Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Selangor, Malaysia.


Banyak Baca Buku

Pindah ke SMAN 1 Liwa, Lampung Barat, bukan berarti bakat seni Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah hilang. Ia justru menemukan kemampuannya dalam bersastra: menulis novel dan puisi.

”Karena di Liwa, saya banyak baca buku. Kalau tadinya banyak menulis lagu rap, hobi itu saya rubah ke puisi,” kata dia.

Namun karena terbiasa membuat lirik-lirik lagu rap (baca: Doktor Ilmu Politik yang Jago Nge-rap sejak SMP), puisinya bisa sangat panjang. Bahkan ada yang sampai menghabiskan enam lembar kertas.

”Saya anggap saja seperti menulis lirik lagu rap. Seperti banyak tertulis di buku kumpulan sajak terbaru saya, Sihir Lelaki Gunung yang baru terbit Maret 2018. Lebih ke prosa sebetulnya,” tutur Doni.

Doktor jebolan ilmu politik Universiti Kebangsaan Malaysia itu pada akhirnya memang menerbitkan buku Perempuan Penunggang Harimau pada 2011 setebal 525 halaman. Buku yang disebut novel pertama tentang sejarah Lampung, yang ditulisnya dalam waktu enam bulan.

Ia juga menulis Kitab Hikayat Orang-Orang yang Berjalan di Atas Air (2012), kumpulan cerita yang ia buat selama dua tahun. Yang paling lama adalah Mirah Delima Bang Amat yang ia susun selama lima tahun dan baru terbit tahun 2017. ”Itu karena saya juga sibuk sekolah lagi,” jelasnya.

Tak puas, Doni mencoba belajar menulis puisi dalam bahasa Lampung. Ia belajar dari sastrawan Udo Z Karzi. Sebuah buku puisi berjudul Semilau pun lahir pada 2017 dan langsung menyabet Rancage, penghargaan bagi orang yang berprestasi dalam bidang kebudayaan.

”Terakhir, Maret 2018 saya menerbitkan buku Sihir Lelaki Gunung, yang merupakan kumpulan sajaknya yang terbit di media massa pada kurun waktu 2007-2016,” paparnya.

Baginya, bersastra adalah bentuk ekspresi dirinya. Dia punya keinginan menggali dan mengenalkan Lampung, khususnya Skala Brak. Karena itu, kebanyakan ”nafas” dalam karya-karyanya sesungguhnya bercerita tentang kerajaan yang berdiri abad ke-3 Masehi itu (William Marsden, 2008).

”Ini penting karena banyak masyarakat Lampung tidak tahu sejarahnya sendiri. Saya juga berencana menerbitkan sekuel Perempuan Penunggang Harimau, yaitu Risalah Pengibar Bendera setebal 1.000 halaman,” ungkapnya. Dia bertekad menerbitkan lanjutan buku Perempuan Penunggang Harimau hingga tujuh seri.

Menurutnya dalam berkarya dirinya tidak bisa dipaksa. Tahun lalu misalnya, dia pernah dikontak penerbit besar yang memintanya menulis novel seperti karya-karya Andrea Hirata. ”Tapi saya menolak karena saya menulis berdasarkan keinginan, bukan kemauan orang lain,” tegasnya. []



Sumber:
Rilis.lampung.id, 21 April 2018

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart