Mukhlis Basri: Mengawal Konservasi Hutan

TIDAK ada kata jeda untuk mempertahankan dan menjaga fungsi lingkungan hidup. Kenapa? Sebab, semakin lama kerusakan alam dibiarkan, semakin buruk pulalah kualitas hidup manusia di sekitarnya.

Sehari setelah dilantik jadi Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri bukannya berpesta pora merayakan kemenangan bersama tim suksesnya. Tanpa buang-buang waktu, ia langsung menyusun strategi pembangunan. Ia bongkar lagi lemari arsip di ruangan wakil bupati, tempatnya bekerja selama lima tahun, untuk mencari daftar masalah yang mengganjal pembangunan Lampung Barat. Untuk melengkapi data, Mukhlis memanggil beberapa stafnya.

Hasilnya sudah tampak setahun kemudian: Lampung Barat meraih beberapa penghargaan untuk tingkat nasional. Pada perayaan 17 Agutus lalu, misalnya, dua pegawai Lampung Barat meraih penghargaan untuk bidan teladan dan penyuluh kehutanan teladan.

Di bidang lain, Mukhlis dianugrahi trofi Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah Bidang Pekerjaan Umum (PKPD-PU) 2008. Penghargaan itu diberikan kepada pemda yang berhasil menyediakan infrastruktur PU di daerah masing-masing. Penyerahan trofi dilakukan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto di Jakarta, Rabu (3-12). Selain bidang infrastruktur, Ketua DPC PDI Perjuangan Lampung Barat itu juga bakal menerima penghargaan nasional untuk sektor ketahanan pangan.

Untuk menggali kiat sukses tersebut, pada Kamis (4-12) malam, Sabam Sinaga, D. Widodo, dan fotografer Syaifulloh dari Lampung Post mewawancarai Mukhlis Basri di kediamannya, Sukarame, Bandar Lampung. Berikut petikannya:

Setahun setelah dilantik Bupati, Anda meraih dua penghargaan. Ini terbilang cukup langka. Apa arti penghargaan itu buat Anda?


Ya, penghargaan ini bukan semata-mata hasil kerja saya. Semua di Lampung Barat ikut bekerja, dan penghargaan ini sebenarnya milik seluruh masyarakat Lampung Barat. Saya hanya menerimanya saja.

Memang awalnya saya tidak percaya saat mendapat kabar meraih penghargaan. Sebab, dari awal, orientasi saya tidak ke sana. Kemudian saya cek ulang apakah untuk penghargaan ini saya harus mengeluarkan uang, ternyata tidak. Saya tidak suka membeli penghargaan. Wong namanya penghargaan kok dibeli.

Saya cek ulang karena sekarang banyak lembaga-lembaga memberikan anugerah anu atau penghargaan ini-itu tetapi meminta imbalan. Kejadian begitu sering saya dengar. Saya pernah marah pada staf karena menawarkan juara I sebuah event provinsi, tetapi dengan syarat Pemkab Lambar menyerahkan sejumlah uang. Sebenarnya bukan staf saya yang salah, dia hanya ditawari panitia.

Lampung Barat termasuk satu dari 17 pemda penerima penghargaan PKPD-PU. Apa tolok ukur penilaiannya?


Ada beberapa hal yang dianggap berhasil di Lampung Barat, terutama komitmen Pemkab menjaga, mempertahankan, dan mengembalikan lingkungan sesuai dengan fungsinya. Lampung Barat ini daerah unik yang tidak terdapat di daerah lain, yaitu terdiri dari pegunungan dan pesisir. Kalau ditarik dari atas, ada hutan kawasan, turun lagi ada repong damar, di bawahnya sawah rakyat, kemudian pantai. Topografi yang unik ini harus dipertahankan dan Pemkab menyusun konsep konservasinya dalam bentuk perda. Sudah dua perda yang mengatur hal itu, yakni Perda No. 18/2007 tentang Konservasi dan Perda No.8 tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan.

Di Liwa, kami membangun kebun raya. Para akademisi di Lampung nanti bisa menggunakannya untuk penelitian, tidak perlu jauh-jauh ke Bogor. Saya berkeinginan kuat menjadikan Lampung Barat sebagai kabupaten konservasi karena dari total luas wilayah 4.950, hanya sekitar 26 persen yang bisa digarap dan didiami. Sisanya, berupa hutan, yaitu hutan lindung 39.191 hektare, hutan produksi terbatas 33.358 hektare, dan hutan TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) 356.800 hektare. Hutan inilah yang menjadi sumber mata air bagi beberapa sungai besar di Lampung, sekaligus menjadi persoalan tersendiri bagi Lampung Barat.

Sekitar 72 persen luas wilayah Lampung Barat menjadi sumber air bagi daerah lain, tetapi bagi Lampung Barat sendiri berarti itu lahan tidak produktif. Apakah ada kompensasi khusus bagi Lampung Barat?

Itulah beda Lampung Barat dengan daerah lain. Kalau di Bandar Lampung, misalnya, hampir semua wilayahnya bisa dipakai untuk tujuan produktif. Memang ada beberapa kawasan yang dilindungi, tetapi persentase luas lahannya tidak sebesar Lampung Barat. Seharusnya kompensasi di bidang konservasi itu juga penting segera direalisasikan. Dulu, beberapa kepala daerah pernah membuat MoU untuk memberikan semacam insentif kepada Lampung Barat sebagai daerah tangkapan air. Tetapi MoU itu hanya di atas kertas, setelah tanda tangan dilupakan begitu saja.

Insentif dari pemerintah pusat juga tidak ada karena di Lampung Barat tidak ada konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Saya sudah mengajukan proposal ke Belanda, dan kita tinggal menunggu realisasinya. Namun demikian, saya tetap optimistis suatu saat kelak Lampung Barat akan mendapat insentif dari dunia internasional, terlebih sekarang isu pemanasan global menjadi perhatian di mana-mana.

Apa persoalan terbesar Lampung Barat saat ini?


Pemkab sudah menginventarisasi semua persoalan berikut keunggulan wilayah. Persoalan terbesar Lampung Barat adalah sebaran penduduk yang tidak merata. Mereka tinggal terpencar-pencar, dan ada yang tinggal di daerah enclave seperti Suoh dan Way Haru. Dua daerah ini terletak di tengah-tengah TNBBS. Setiap tahun penduduknya terus bertambah, tetapi luas lahannya dari dulu tetap segitu juga. Mereka terisolasi dan tidak diperbolehkan berkebun di hutan kawasan. Jangankan mau membuka lahan baru, mengambil cacing saja tidak boleh.

Di Suoh, Pemkab tidak mudah membuka akses jalan karena tidak ada jalur tembus lain kecuali harus melalui hutan kawasan. Ada kendala peraturan dan ini menyulitkan Pemkab untuk membuka keterisolasian Suoh, sementara di sisi lain Pemkab juga memahami pelarangan itu untuk tujuan konservasi.

Tetapi saya tidak putus asa. Alhamdulillah, belum lama ini TNBBS memberikan izin kepada Pemkab untuk membuka jalan melalui hutan kawasan. Selain membuka isolasi, akses keluar-masuk juga sangat vital untuk keperluan evakuasi dan pengiriman bantuan saat terjadi bencana alam.

Kesulitan yang sama juga terjadi di Way Haru. Lokasinya terpencil di ujung selatan Lampung Barat dan letaknya di dalam TNBBS. Penduduk Way Haru sulit keluar-masuk dari permukimannya karena tidak ada jalan yang memadai. TNBBS juga sudah memberi izin pembukaan jalan di sepanjang pantai. Jadi hanya di pinggirannya saja, tidak bisa masuk agak ke tengah. Tetapi kalau mau dibangun jalan yang bagus, Pemkab harus mengeluarkan biaya sangat besar.

Untuk masuk ke sana harus melintasi empat sampai lima muara sungai, ada yang lebarnya sampai setengah kilometer. Kalau untuk membangun satu jembatan saja Pemkab harus mengeluarkan biaya puluhan miliar, belum pengerjaan lain seperti pengerasan jalan.

Sebagian besar wilayah Lampung Barat berupa hutan kawasan. Tentunya banyak terjadi benturan kepentingan antara penduduk dan konservasi?


Itu masalah paling krusial di Lampung Barat. Sering terjadi benturan antara kebutuhan masyarakat dan upaya pelestarian hutan. Saya dari keluarga petani, jadi memahami benar apa kesulitan petani yang menggarap lahan di sekitar hutan. Mereka sudah tinggal di situ puluhan tahun.

Dari pengalaman saya, cara terbaik menyelesaikan benturan kepentingan itu adalah melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm). Dengan cara ini, warga bisa menggarap lahan tanpa harus merusak fungsi hutan. Masyarakat di sekitar kawasan hutan diajak menjaga dan memelihara hutan. Caranya, mereka diperbolehkan tetap bertanam kopi di kawasan hutan atau di kebun-kebun sekitar hutan, tapi harus menanam pohon-pohon keras seperti cempaka, pule, dan kayu Afrika di sela-sela tanaman kopi.

Penanaman di sela-sela tanaman kopi akan memiliki dua efek. Pertama, tanaman kopi menjadi ternaungi pohon keras sehingga pertumbuhannya terjaga dan tanaman sehat. Kedua, akar tanaman keras membantu akar tanaman kopi memperkuat lahan yang miring supaya tidak terjadi erosi ketika hujan dan tutupan hutan lebih terjaga.

Penanaman itu dilakukan dalam bentuk kelompok-kelompok masyarakat. Masyarakat diberi izin menggarap selama lima tahun untuk setiap kelompok. Jika hasilnya bagus, izin bisa diperpanjang sampai 35 tahun.

Di Lampung Barat sudah ada lima kelompok yang diberi izin menggarap 35 tahun, dan dalam waktu dekat bertambah tujuh kelompok lagi. Pemkab menargetkan luas HKm 50 ribu hektare dan sudah ada kerja sama dengan lembaga-lembaga lingkungan hidup seperti Walhi dan ICRAF.

HKm yang sudah terbentuk antara lain di Sumber Jaya, Gedung Suryan, Way Tenong, Sekincau, Belalau, dan Bengkunat. Dari pengamatan foto satelit 2007, saat ini di kecamatan-kecamatan itu tutupan hutan sudah semakin rapat dan hijau.

Tampaknya Anda sangat menguasai persoalan hutan?


Ya dong, saya kan anak petani. Sampai sekarang, kalau ada waktu senggang, saya ngurusi kopi di kebun. Jadi kesulitan petani di sekitar hutan adalah juga kesulitan saya.

Ada kaitan langsung antara HKm dan kesejahteraan masyarakat?


Tentu saja ada. Soal kesejahteraan ini juga menjadi kriteria penghargaan PKPD-PU 2008. Secara psikologis, masyarakat tidak lagi waswas berkebun dan bisa mencurahkan waktu serta pikiran pada pekerjaannya. Yang kedua, luas lahan produktifnya semakin bertambah. Bisa dilihat sendiri, hampir setiap keluarga di sembilan kecamatan di dataran atas memiliki sepeda motor, kalau ini dijadikan tolok ukur kesejahteraan. Apalagi saat harga kopi sedang membaik seperti sekarang, petani yang tekun mengurusi kebun dan pintar menggunakan uang pasti hidup berkecukupan.

Apakah Lampung Barat hanya konsentrasi di bidang perkebunan. Bagaimana dengan sektor tanaman pangan?


Karena faktor topografi, dari 17 kecamatan tidak semuanya berupa perkebunan kopi. Ada tiga kecamatan yang menjadi lumbung padi, yaitu Suoh, Sukau, dan Pesisir Selatan. Kalau target peningkatan produksi nasional 5% per tahun, Lampung Barat bisa 27% per tahun. Peningkatan produksi ini tidak lepas dari keberhasilan pembangunan irigasi.

Sebelumnya masa tanam petani hanya sekali setahun, sekarang rata-rata masa tanam 2,5 kali per tahun. Lahan yang sebelumnya kesulitan air, kini bisa menikmati pembangunan irigasi. Selain itu ada juga bantuan traktor tangan dan benih padi. Proyek irigasi menjadi sangat penting. Kita tidak perlu berbicara panjang lebar tentang pertanian kalau tidak ada saluran irigasi dan ketersediaan air yang baik. Jangan juga memasang target produksi berlebihan kalau tidak ada bantuan sarana dan prasarana yang memadai.

Kalau sembilan kecamatan di daerah atas mengandalkan kopi, bagaimana pengembangan di daerah pesisir?


Kawasan pesisir Lampung Barat punya ciri khas berbatasan langsung dengan perbukitan. Sektor perikanan belum tergarap sepenuhnya karena sejumlah kendala, antara lain permodalan. Sektor lain yang bisa diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir adalah pariwisata.

Suatu saat nanti saya yakin pesisir Krui dan sekitarnya menjadi daerah maju kalau pembangunan pariwisata berjalan sesuai rencana. Kalau kita lihat objek wisatanya sudah tersedia bagus, ombaknya besar, dan airnya bersih. Tidak ada limbah industri yang mengotori pesisir Krui. Sangat nyaman untuk olahraga selancar air dan memancing.

Pemerintah juga pelan-pelan mulai membangun prasarana, satu di antaranya pembangunan lapangan terbang di Serai. Mudah-mudahan tahun 2009 sudah bisa uji coba pendaratan pesawat kecil. Proyeksi ke depan, panjang landasan ditambah sehingga bisa didarati pesawat besar. Ini tentu perlu waktu dan biaya, jadi tidak bisa serta merta terwujud.

Pemkab berharap lapangan terbang itu akan berdampak positif bagi pengembangan pariwisata di pesisir.

Kalau melihat situasi sekarang, sarana dan prasarana wisata di pesisir belum memadai untuk dijadikan kawasan wisata nasional. Hotel dan restoran yang layak juga belum tersedia. Tetapi Pemkab tidak patah semangat dan terus bergerak ke sana. Misalnya, pada penerimaan PNS tempo hari, Lampung Barat membuka peluang bagi lulusan D-3 dan S-1 jurusan pariwisata. Jadi, selain infrastruktur pendukung, kita juga harus mempersiapkan SDM-nya.

Menjalani Hidup seperti Air Mengalir…

RUMAH di tepi sawah itu tampak sepi. Tak ada pengawalan berlebihan, kecuali seorang anggota Satpol PP di pos jaga. Pintu utama dibiarkan terbuka. Begitu masuk, kami “disambut” sebuah patung banteng–tepatnya sapi Bali–dari kayu. Tanduknya runcing dengan kaki kiri terangkat.

Warna kursi di ruang utama berukuran 3 x 3 meter itu merah menyala. Sebuah jam besar berdiri di sudut kiri ruangan, pada dinding di sebelahnya terpajang kain tapis berbingkai kaca.

Setelah lima menit menunggu, si empunya rumah keluar kamar dengan kaos oblong putih dan sarung. “Baru selesai pijat,” ujar Mukhlis Basri, sambil menyalami kami.

Ia menyapa dengan cara yang sama 10 tahun silam, ketika akan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Lampung Barat dari PDI Perjuangan; tetap ramah dan bersahabat. Tidak ada yang berubah.

“Dari dulu saya ya begini, tak ada yang berubah. Saya justru sering menegur teman-teman lama mengapa sekarang sikap mereka agak berbeda,” ujar anak petani dari Sumber Jaya itu.

Sebelum menjadi bupati pun, Mukhlis memang memiliki pergaulan luas. Ia aktif di berbagai organisasi hingga akhirnya menakhodai PDI Perjuangan Lampung Barat. Sejak muda, Mukhlis sudah tertarik terjun ke politik. Dan, bidang itulah yang kini mengantarkannya meraih kursi bupati.

Namun, menapaki karier politik tak seindah yang dibayangkan anak-anak muda sekarang. Rezim otoriter Orde Baru selalu mengendalikan apa saja berbau politik dengan berbagai cara. “Saya sempat dipenjara dan ditelanjangi. Peristiwa itu tidak bakal saya lupakan,” ujar Mukhlis.

Di lingkungan keluarganya, dunia politik bukan hal baru. Bahkan, jalur politik Mukhlis berbeda dengan sang ayah. Itu terjadi karena ayahnya mengembangkan budaya demokratis dalam keluarga dan memberi kebebasan pada putra-putrinya untuk menentukan pilihan sendiri. “Bapak saya Masyumi, kakak saya di partai lain, tetapi saya memilih PDI (Perjuangan). Ini pilihan hidup saya,” kata ayah tiga putri itu.

Meskipun menempuh jalan berliku di jalur politik, Mukhlis tetap menjalaninya dengan setia. Ia melukiskan perjalanan hidupnya bagai air mengalir, semaunya mengalir saja menuju suatu tempat yang entah di mana. “Saya tak pernah punya cita-cita mau jadi apa. Keinginan saya dulu hanya satu, bisa sekolah tinggi agar tidak seperti ayah saya.”

Prinsip air mengalir itulah yang dilakoninya hingga kini. Pun ketika ia “nekat” maju sebagai calon bupati pada Pilkada Lambar, 2007 lalu. “Maju pilkada kan harus punya dana besar. Saya tak punya modal, uang saya cuma tujuh puluh juta, ya cuma itulah yang ada di rekening saya,” tutur penikmat kopi luak itu.

Sempat tebersit untuk maju lagi sebagai calon wakil bupati, tapi banyak yang tidak setuju, antara lain istrinya. “Kalau tidak sekarang maju sebagai calon bupati, lebih baik tidak selamanya. Kita kembali saja jadi petani,” ujar Mukhlis menirukan ucapan sang istri.

Mendapat motivasi dari keluarga, semakin kuat semangatnya untuk maju sebagai calon bupati. Ia semakin optimistis karena dukungan mengalir dari teman-temannya dan masyarakat, baik dukungan moril maupun dana. “Saya tidak tahu, kok ada saja yang menyatakan siap membantu. Allah memberi begitu banyak kemudahan pada saya. Semua itu harus saya syukuri,” kata dia di akhir perbincangan. N IDO/BAM

———-


BIODATA

Nama : Drs. Mukhlis Basri
Lahir : Sinarjaya, 24 Februari 1964

Pendidikan :
– SDN 1 Sinarjaya (1976)
– SMPN 1 Tanjungkarang (1980)
– SMUN 1 Tanjungkarang (1983)
– STIAL Jurusan Administrasi Negara (1990)

Pekerjaan:
– Sales Pestisida (1984–1988)
– Manajer KUD Sumberjaya (1989–1992)
– Ketua KUD Sumberjaya (1992–1999)
– Anggota DPRD Lambar (1999–2002)
– Wakil Bupati Lambar (2002–2007)
– Bupati Lambar (2007–sekarang)

Organisasi:
– HMI (1983–1984)
– Menwa (1984–1986)
– Pengurus KTNA Pemuda Lampung (1991)
– Ketua PAC PDI Sumberjaya (1992)
– Wakil Ketua DPC PDI-P Lambar (1998–2000)
– Ketua DPC PDI-P Lambar (2000–sekarang)

Keluarga :
Istri: Dra. Helwiyati Komala Dewi
Anak:
1. Lesty Putri Utami
2. Lestari Dwi Pertiwi
3. Laras Tri Handayani



Sumber:
Profil, Lampung Post, Minggu, 7 Desember 2008

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart