
Kawin paksa Datuk Meringgih dan Sitti Nurbaya. (dok.ist.)
KEPERGIAN HIM Damsyik diusia 82 tahun pada Jumat, 3 Februari 2012 kemarin, membawa kembali ingatan kita pada sosok Datuk Meringgih (bukan Maringgih) yang diperankannya pada awal 1990-an.
Pada 1991,HIM Damsyik menghidupkan tokoh antagonis itu di miniseri (sinetron 4 episode) Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai (bukan Siti Nurbaya, karena Sitti sebetulnya gelar kebangsawanan bagi wanita dalam tradisi Minangkabau). Miniseri itu pertama tayang di TVRI 7 September 1991 dan berakhir 28 September 1991.
Sinetron Sitti Nurbaya diangkat oleh sutradara Dedi Setiadi dan dianggap sebagai tonggak bersejarah dalam pesinetronan tanah air. Dibandingkan sinetron TVRI masa itu yang sudah digarap serius, Sitti Nurbaya digarap lebih serius lagi selayaknya sebuah film layar lebar berlatar kehidupan masa lalu (period drama). Ya, kita pernah punya stasiun TV yang bersedia membuat sinetron dengan serius seperti HBO di Amerika sana.
Hasilnya sebuah karya legendaris yang kita kenang terus. Sinetron ini kita kenang karena bertahun-tahun setelahnya kita disuguhi tontonan yang begitu jauh berbeda. Sinetron sekarang syuting hari ini untuk tayangan besok.
Pola kerja berbeda sekitar 20 tahun lalu menghasilkan hasil yang berbeda pula.
Disini kemudian kita mengenang ceritanya yang terngiang terus hingga kini. Begitu pula tokoh-tokohnya. Kita masih ingat pada Novia Kolopaking sebagai Sitti Nurbaya, Gusti Randa sebagai Samsul Bahri, serta HIM Damsyik sebagai Datuk Meringgih.

Kisah Sitti Nurbaya
Sitti Nurbaya mungkin novel paling populer bagi masyarakat kita. Saat sekolah dulu, kebanyakan dari kita diminta menghapal nama-nama pengarang zaman dulu (sesuai angkatannya masing-masing) beserta karya-karya mereka saat mata pelajaran bahasa Indonesia. Selayaknya ordo, genus, dan spesies di pelajaranBiologi, perkembangan sastra Indonesia modern memang diklasifikasikan ke dalam beberapa periode. Marah Rusli dengan karyanya Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai (pertama terbit 1922) digolongkan ke dalam Angkatan Balai Pustaka, sebutan bagi pengarang yang lahir dari penerbit Balai Pustaka di masa kolonial awal abad ke-20.
Masihkah Anda ingat kisah Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)? Saya ceritakan ulang sinopsisnya dari booklet sinetronnya yang pernah diterbitkan Gramedia pada 1991.
Pada suatu tempat di Padang, di mana kisah ini dimulai, tersebutlah dua keluarga terpandang dan kaya: keluarga Sutan Mahmud dan keluarga Baginda Sulaiman. Sutan Mahmud punya seorang putra, Samsul Bahri. Baginda Sulaiman punya anak perempuan, Nurbaya. Bergelar “Sitti” jadi Sitti Nurbaya.
Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya lantas jatuh cinta. Tapi, Samsul kemudian harus melanjutkan sekolah calon dokter ke Jawa.
Dalam kisah ini tersebutlah seorang lintah darat licik bernama Datuk Meringgih. Selain licik, Datuk Meringgih juga mata keranjang. Pada suatu hari ketika Datuk Meringgih berkunjung ke rumah Sutan Mahmud melihat Sitti Nurbaya yang cantik diantar Pak Ali, kusir delman Sutan Mahmud. Nurbaya sudah melihat gelagat jahat Datuk Meringgih.
Yang terjadi kemudian, usaha Baginda Sulaiman mengalami kemunduran. Saat itulah Datuk Meringgih menawarkan jasanya meminjamkan uang. Baginda Sulaiman terpaksa menerima tawaran itu dan berjanji melunasinya tepat waktu. Begitu Baginda Sulaiman masuk perangkapnya, Datuk Meringgih segera mewujudkan niat jahatnya.

Sitti Nurbaya (Novia Kolopaking) dan Samsul Bahri (Gusti Randa).
Kepada begundalnya Pendekar Lima, sang Datuk memerintahkan membakar toko Baginda Sulaiman. Belum puas, ia meracuni semua kebun kelapa milik Baginda Sulaiman. Belum puas juga, semua perahu Baginda Sulaiman juga ditenggelamkannya. Habislah sudah semua kekayaan Baginda Sulaiman.
Setelah semua kekayaan Baginda Sulaiman habis, Datuk Meringgih datang menagih utangnya. Tentu saja Baginda Sulaiman tak bisa melunasinya. Saat itu Datuk Meringgih meminta Sitti Nurbaya menjadi istrinya sebagai pengganti utang. Sitti Nurbaya anak yang berbakti pada orangtua. Meski berat hati, ia bersedia dipersunting Datuk Meringgih.
Di Batavia, Samsul Bahri mendapat kabar kekasihnya sudah diperistri Datuk Meringgih. Ia sakit hati dan begitu mendendam pada Datuk itu. Ketika pulang saat liburan panjang, Samsul bertemu Sitti Nurbaya. Sial, anak buah Datuk Meringgih memergoki mereka. Samsul kemudian berkelahi dengan anak buah Datuk Meringgih. Keributan itu ddiketahui ayah Samsul, Sutan Mahmud. Samsul akhirnya diusir oleh ayahnya. Tak lama setelah Samsul diusir, ayah Sitti Nurbaya, Baginda Sulaiman meninggal.
Setelah ayahnya tiada, Sitti Nurbaya melarikan diri ke Batavia mencari Samsul. Tapi, Datuk Meringgih berhasil menangkapnya. Nurbaya lalu tinggal dengan sepupunya, Halimah. Suatu saat Sitti Nurbaya sakit. Datuk Meringgih sadar takkan mendapat cinta dari Nurbaya. Timbul lagi akal liciknya. Ia menyuruh orang menjajakan kue yang sudah diberi racun ke rumah tempat Sitti Nurbaya tinggal. Akhirnya Sitti Nurbaya meninggal setelah makan kue itu.
Tidak lama setelah kematian Sitti Nurbaya, di Padang terjadi perang. Pada peperangan inilah Datuk Meringgih bertemu dengan Samsul Bahri yang sudah jadi tentara kolonial. Dendam kesumat terbalas. Datuk Meringgih mati kena tikam Samsul Bahri.

HIM Damsyik paling dikenang
Begitu kuatnya karakter Datuk Meringgih di sinetron Sitti Nurbaya, membuat pemerannya HIM Damsyik. Sebelumnya, ia sudah langganan kebagian peran antagonis. Film-film laga yang dibintangi Barry Prima atau Advent Bangun kerap memasangnya menjadi anggota komplotan penjahat. Sosoknya yang kurus tapi jangkung membuatnya mudah dikenali penonton.
Konon HIM Damsyik sangat bersemangat memerankan tokoh Datuk Meringgih. Sebegitu bersemangatnya, kakinya samai luka saat syuting. Di gtebgah cuaca Padang yang terik saat syuting, Damsyik yang harus berpakaian lengkap kerap berkeringat. Tapi cuaca tak menyurutkan semangatnya.
Belakangan, bakatnya yang lain malah berguna saat pembuatan sinetron ini. Sebagai jago dansa, HIM Damsyik didapuk melatih adegan dansa para pemeran lain ketika syuting di Studio Alam TVRI. Adegan dansa pesta Belanda adalah hasil arahan HIM Damsyik.
Dalam booklet sinetron Sitti Nurbaya, terdapat kutipan ucapan HIM Damsyik. Begini katanya, “Yang saya pikirkan sekarang adalah setelah penyiaran Sitti Nurbaya. Saya akan menjadi korban kedua setelah Ibu Subangun (tokoh menyebalkan di sinetron TVRI Keluarga Rahmat). (Saya kuatir) tiba-tiba saja saya dipukul oleh seseorang yang tidak saya kenal karena saking bencinya terhadap watak Datuk Meringgih yang saya perankan. Mudah-mudahan Tuhan melindungi saya.”
Saya tak tahu apa yang dikuatirkan HIM Damsyik betulan terjadi. Tapi, yang jelas, kita mengenang perannya sebagai Datuk Meringgih hingga kini. Bisa dikatakan peran itu adalah puncak karier pria yang pernah menjabat Sekjen PARFI itu.
Kita kehilangan dia. Selamat jalan, Datuk Meringgih eh, HIM Damsyik… (ade/ade)
Sumber:
tabloidbintang.coms, Sabtu, 4 Februari 2012

JAKARTA (Lampost): Lagi, panggung hiburan Tanah Air berkabung. Aktor legenda perfilman Indonesia, H.I.M. Damsyik, meninggal dunia pada Jumat (3-2) dini hari. Pria yang namanya melejit lewat peran Datuk Maringgih dalam miniseri televisi Siti Nurbaya itu tutup usia di usia 82 tahun.
Berita tersebut dibenarkan seorang anaknya yang bernama Rinayanti. “Iya benar. Bapak meninggal pukul 00.57, dini hari tadi,” ujarnya, Jumat (3-2).
Sebelumnya, pria bernama lengkap Haji Incik Muhammad Damsyik itu memang telah dirawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan, Jakarta. Ia dikabarkan mengalami penurunan daya tahan tubuh lantaran sumsum tulang belakangnya tidak dapat menghasilkan antibodi.
Sejak ditangani di rumah sakit pada 12 Januari lalu, kondisi pria kelahiran Telukbetung, Bandar Lampung, 14 Maret 1929, itu sempat membaik. Namun, Tuhan berkehendak lain hingga akhirnya ia kembali ke pangkuan Sang Pencipta.
Jenazah pria yang piawai berdansa itu berada di rumah duka di daerah Cinere, Jakarta Selatan, dan dimakamkan di Permakaman Karet setelah salat jumat.
Di samping lama berkarier di dunia pentas film, Damsyik juga terkenal sebagai penari dan pencinta dansa.
Lelaki bertinggi badan 180 cm dan berat hanya 55 kg ini mulai bermain film pada 1959 dalam Bertamasya. Awalnya Damsyik diajak bermain film oleh sutradara Wim Umboh yang memang biasa mengajaknya sebagai koreografer untuk film-filmnya.
Damsyik sempat berhenti dan mulai bermain film kembali pada 1981.
Namanya melejit saat berperan sebagai Datuk Maringgih dalam miniseri televisi Siti Nurbaya yang ditayangkan pada 1992.
Dalam rentang 1965 hingga 2012, Damsyik tercatat telah bermain dalam 62 film layar lebar. (ANT/DTC/U-2)
Sumber:
Lampung Post, Sabtu, 4 February 2012
Biografi:
Nama Lengkap :
Haji Incik Muhammad Damsyik
Tempat & Tanggal Lahir :
Lampung, 14 Maret 1929
Tinggi Badan :
180 cm.
Damsyik adalah aktor senior Indonesia dan penari. Ia mulai terkenal karena memerankan tokoh Datuk Maringgih dalam serial mini seri di televisi yaitu Siti Nurbaya, sehingga akhirnya ia dikenal juga sebagai Datuk Maringgih dan karena kepiawiannya berdansa menjadikannya memperoleh julukan Datuk Dansa.
Awalnya Damsyik diajak bermain sebagai aktor oleh sutradara Win Umboh yang sebelumnya telah biasa mengajak dia sebagai koreografer untuk film-filmnya. Namun Damsyik sempat berhenti dan mulai bermain kembali di tahun 1981. Namanya mulai melejit pada tahun 1992. Dalam rentang masa 1965 hingga 2012, Damsyik Damsyik tampil dalam 82 judul film.
Filmography :
Filmography:
Actor:
– Langkah-Langkah Di Persimpangan (1965)
– Djampang Mentjari Naga Hitam (1968)
– Ratu Ilmu Hitam (1979)
– Pengabdi Setan (1980)
– Jaka Sembung (1981)
– Sundel Bolong (1982)
– Sangkuriang (1982)
– Nyi Blorong (1982)
– Nyi Ageng Ratu Pemikat (1983)
– Lebak Membara (1983)
– Kulihat Cinta di Matanya (1983)
– Pelayan Gedongan (1983)
– Pengantin Pantai Biru (1983)
– Senjata Rahasia Nona (1983)
– Perkawinan Nyi Blorong (1983)
– Gawang Gawat (1984)
– Kerikil-Kerikil Tajam (1984)
– Golok Setan (1984)
– Darah Perjaka (1985)
– Ratu Sakti Calon Arang (1985)
– Romantika (1985)
– Melintas Badai (1985)
– Biarkan Bulan Itu (1986)
– Langganan (1986)
– Barang Terlarang (1987)
– Depan Bisa Belakang Bisa (1987)
– Samson dan Delilah (1987)
– Malaikat Bayangan (1988)
– Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988)
– Santet (1988)
– Ratu Buaya Putih (1988)
– Kanan Kiri OK II (1989)
– Ikut-Ikutan (1990)
– Jaka Sembung dan Dewi Samudra (1990)
– Di Sana Senang Di Sini Senang (1990)
– Salah Pencet (1990)
– Rebo dan Robby (1990)
– Misteri Janda Kembang (1991)
– Kembalinya Si Janda Kembang (1992)
– Selembut Wajah Anggun (1992)
– Pengantin Rimba Hitam
– Saya Duluan Dong (1994)
– Pemburu Teroris (1994)
– Gordel van Smaragd (1997)
– Peti Mati (2002)
– Suster N (2007)
– Karma (2008)
– Tarzan ke Kota (2008)
– Jeritan Kuntilanak (2009)
– Jinx (2010)
– 13 Cara Memanggil Setan (2011)
Sumber:
movietei.com
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky