M. Fauzi Toha (1950-…): Keteladanan dari Kebun Gula

SEMUA bermula 1976, Tulangbawang masih hutan. Pabrik gula PT Gunung Madu Plantation menugaskan Fauzi Toha ke daerah yang teramat baru baginya itu. Ijazah Insitut Pertanian Bogor yang dipegangnya masih hangat. Fauzi muda baru lulus kuliah, melamar kerja, dan langsung diterjunkan ke rimba di pedalaman Lampung.

Tapi itu bukan persoalan. Sejak kecil, etos kerja keras, kesantunan, dan nilai-nilai keagamaan menjadi tongkatnya mengarungi hidup. Sejak sekolah menengah, Fauzi terbiasa kerja serabutan dan menguasai banyak “ilmu hidup”, termasuk belasan jam sehari membatik, lalu memasarkannya. Belasan tahun pula ia jalani dengan tiga rutinitas: Sekolah, bertani, malamnya mengaji, sambil belajar mencari nafkah. Maka, penugasan ke pedalaman Lampung saat itu diterimanya dengan keyakinan tinggi. “Didikan orang tua sangat mewarnai perjalanan hidup saya,” kata Fauzi.

Kesarjanaannya di bidang teknologi pertanian untuk sementara masuk saku dahulu. Pabrik belum apa-apa. Yang ada baru land clearing. Jalan raya Terbanggibesar masih berupa jalan kasar peninggalan Belanda. Suasana sepi menggigit. Suara hewan liar menjadi keseharian.

Mulailah Fauzi bergaul dengan para buruh dan pekerja yang lebih dahulu hadir. Modalnya cuma satu: Dia senantiasa berkromo-inggil dengan para buruh dan pekerja kasar. Secara kultural, bahasa Jawa halus yang dia pakai justru membuat lawan bicaranya kian merunduk; hati pun terbeli. Maka, langkah berikut menjadi mudah. “Tidak ada yang lebih rumit ketimbang mengelola sumber daya manusia,” kata dia.

Kerja berikut tinggal masalah-masalah teknik, kendati tingkat kesulitan di lapangan berbeda-beda. Meskipun demikian, ada yang membuat bisnis perkebunan menjadi penuh komplikasi gawat: Pembebasan lahan. Resistensi di masyarakat menyeruak. Di banyak aspek, hadirnya pihak ketiga yang menunggangi membuat tensi masalah makin tinggi.

“Saya senang menerima pekerjaan yang orang lain enggan menerimanya, seperti pembebasan lahan,” kata ayah tiga putra/putri ini. Job penuh risiko, tanpa bonus, tanpa pertanggungan apa pun, dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

Tidak pelak, kariernya mulai naik. Dalam dua tahun, banyak seniornya “berubah posisi” menjadi anak buahnya. Perusahaan dengan manajemen yang menghargai prestasi (merrit system) ini menjadikan performa karyawan sebagai ukuran dasar. Akuntabilitas yang diberikan dari sistem penilaian yang dibangun sudah jelas; pekerjaan pun terasa ringan. Maka, hampir tiap tahun Fauzi mendapat promosi.

“Awalnya saya tidak berharap lama-lama bekerja di perusahaan tersebut, kendati kerja sungguh-sungguh dan tak mengenal waktu memang sudah menjadi kebiasaan. Namun, ragam persoalan yang saya selesaikan membuat saya tetap diperlukan perusahaan,” kata pelopor pergulaan Lampung ini. Cukup 3 tahun 6 bulan status manajer sudah dia sandang dan menjadi manajer departemen pada tahun 1982.

Saat itu, perusahaan tempatnya bekerja dimiliki konglomerat gula asal Malaysia, Robert Kwok (45%) dan keluarga Presiden (waktu itu) Soeharto. Dalam perjalanan, Kwok menjual saham ke Anthony Salim. Sayang, perusahaan merugi setelah dipegang Anthony. Tahun 1992, taipan Liem Sioe Liong, orang tua Anthony, bertemu Kwok dan meminta perusahaan diselamatkan. Tapi, prosesnya tidak mulus. Keluarga Cendana keberatan.

“Namun, jika dua taipan China bertemu dan bersalaman, itulah hukum tertinggi dalam berbisnis dengan para konglomerat,” kata Fauzi. Maka, bisnis dan merger tetap dilanjutkan tanpa nota kesepamahan (MoU) atau segala bentuk perjanjian tertulis lainnya.

Rencana merger ini memang terlalu cepat. Sebagai orang yang diamanatkan, Fauzi bergerak cepat. Perluasan kebun dikebut. “Target 6.000 per hektare per tahun, saya gandakan menjadi 12 ribu ha/setahun atau seribu hektare saban bulan,” kata Fauzi. Dia bekerja siang malam, menghadapi ribuan masyarakat dalam proses pembebasan. Ini pekerjaan yang dengan tingkat kesukaran tertinggi dan berisiko luar biasa.

Di satu sisi ada kelompok yang menguasai dengan cara menjarah lahan, di sisi lain ada pula karyawan yang terlibat penjarahan itu. Ketegasan Fauzi diuji: Pemecatan dilakukan bergelombang untuk menimbulkan efek jera. Tidak ada ampun. Pemecatan juga dilakukan bagi karyawan yang terlibat pencurian dan perzinahan. “Apa jadinya kita, dengan tempat seperti ini, jika ada yang menoleransi perbuatan-perbuatan tercela seperti itu. Ini bukan kebun binatang,” kata dia.

Malah, saat itu ada 15 ribu hektare yang dikuasai penjarah. Pimpinan sering ragu mengambil keputusan. Penjarahan merajalela. Aparat seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Perkebunan sudah seperti negara dalam negara. Dan kejadian seperti bukan 1–2 kali terjadi. “Kunci saya cuma salat dan bersandar pada Allah. Tiap malam saya tahajud,” kata dia. Dalam 18 bulan, persoalan tanah bisa diselesaikan. Dalam setahun, perusahaan yang didera kerugian itu pun terselamatkan.

Resepnya, Fauzi memaksimalkan karyawan sendiri. Fauzi meyakinkan bahwa perusahaan maju maka karyawan pun akan maju. Dengan persuasi selama ini, seluruh karyawan yang terserak dalam banyak divisi disatukan. “Saya seperti menyatukan lidi-lidi. Dengan bersatu justru kita kuat. Saya, sebagai pimpinan, merasa seperti harimau yang melindungi anak-anaknya dengan beragam cara,” katan pengajar di pascasarjana IPB dan LPPM Jakarta ini.

Untuk mengantisipasi aksi-aksi kekerasan yang kerap mengiringi pembebasan lahan, Perguruan Silat Merpati Putih didatangkan. Seluruh karyawan berlatih. Dalam apel besar, Fauzi memeragakan kemampuannya mematahkan pipa-pipa besi dengan tangan kosong. “Sekadar untuk menumbuhkan semangat dan keyakinan anak-anak,” kata dia.

Tahun 1994, PT Sweet Indo Lampung (SIL) berdiri. Setahun berikutnya berdirilah Indo Lampung Perkasa (ILP). Fauzi memperkuat pabrik baru tersebut. Lalu diikuti pendirian PT Gula Putih Mataram dan PT Indolampung Distillery. Kelak, dari sinilah kemudian lahir bioetanol dengan bahan dasar tetes tebu. Produksi bioetanolnya telah diuji coba di kendaraan dengan campuran sampai 85% etanol dan hanya 15% premium.
Dalam perjalanan selanjutnya, terjadi peralihan kepemilikan ke Garuda Panca Artha dan menjadi Sugar Group Companies (SGC). SGC kemudian menjadi perusahaan gula yang terintegrasi serta terbesar dan terefisien di dunia.

“Saya heran kenapa susah sekali berbisnis perkebunan di negara ini, banyak sekali gangguannya. Amat berbeda dengan bisnis pertambangan: Keduk, angkut, tinggalkan. Demikian pula dengan penguasaan hutan. Cukup dengan selembar HPH (hak pengusahaan hutan), pohon-pohon ditebangi lalu sering tinggalkan,” kata dia. Dia mengilustrasikan diperlukan 10 tahun untuk menghasilkan varietas tebu terbaik. Dari 150 ribu persilangan, belum tentu bisa dihasilkan satu yang bagus.

Sekarang, Fauzi memang sudah di puncak karier. Namun, itu bukan sepetak jalan lurus yang tinggal ditapaki. Fauzi, yang amat dihormati 50 ribuan karyawannya, termasuk 50 ribuan lagi karyawan tidak tetap, memulai semua dari bawah, dengan kompetensi dalam setiap unit yang dia pimpin.

Sampai kini pun dia tetap menguasai penanaman, budi daya, sampai panen dan produksi; mulai kedalaman pembajakan, pembibitan, pemupukan, pemahaman terhadap cuaca, sampai proses pascapanen. “Jika curah hujan seperti ini, saya tahu dosis pengolahan yang mesti dilakukan,” kata dia.

Kuncinya adalah totalitas. Puluhan tahun sudah Fauzi memilih tinggal di site, di kebun. Beberapa rumahnya di Bandar Lampung hanya dikontrakkan. Rumahnya yang di Jakarta hanya sesekali disambangi saat bertugas ataupun ketika mengajar. Dia full mengabdikan hidupnya buat pengembangan pergulaan.

Dia tidak tergoda menjalani hidup ala orang kota, bermain golf atau mondar-mandir ke Jakarta untuk refreshing. Olahraganya hanya tenis dan joging; dan semua fasilitas itu ada di kebun.

Kesejahteraan karyawan menjadi panglima. Seluruh kebutuhan mereka dicukupi: Perumahan, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Listrik pun sangat berlimpah (mereka memiliki pembangkit sendiri, dengan bahan baku ampas tebu, berdaya besar sekali: 15 megavolt), sembilan bahan pokok yang dicukupi, sekolah gratis, bahkan sampai kuliah pun dibiayai Rp3 juta per bulan.

Anak-anak karyawan yang baru lulus universitas dipekerjakan di perusahaan dengan gaji minimal Rp3,5 juta. Sebagian besar dari mereka memiliki jabatan di atas jabatan orang tuanya. “Namun, sepertiga dari gaji tersebut harus diserahkan kepada orang tua mereka, pakai perjanjian di depan notaris,” kata Fauzi. Dengan menyemangati para orang tua agar tetap menyekolahkan anak-anaknya di kebun, dan memperlengkapi peralatan termasuk guru, seluruh karyawan akhirnya bisa fokus dengan pekerjaannya. n

BIODATA


Nama: Ir. M. Fauzi Toha
Tempat, tanggal lahir: Tulungagung, 11 April 1950
Agama: Islam
Alamat: Jalan Pinguin VII CK3 Sektor III Bintarajaya, Jakarta Selatan
Agama: Islam
Ayah: H.M. Thoha Sofwan
Ibu: Hj. Chrisny

Istri: Hj. Agustina FauziAnak:
(1) M. Ridho Ficardo, S.Pi., M.Si.
(2) Silvy Noviana, S.E.
(3) Gita Farina, S.Si.

Pendidikan:
– SD Negeri 3 Tulungagung, 1962
– SMP Negeri 1 Tulungagung, 1965
– SMA Negeri 1 Tulungagung, 1968
– Institut Pertanian Bogor (Program Studi 6 Tahun) 1976

Karier:
– 1976–1993, PT Gunung Madu Plantation (plantation manager)
– 1994–1997 PT Sweet Indo Lampung (deputy general manager)
– PT Indo Lampung Perkasa (deputy general manager)
– 1997–2002 PT Tiara Adi Kencana (technical director)
– PT Kerry Plt. Service Indonesia (technical director)
– PT Tidar Sungkai Sawit (director)
– PT Mustika Senbuluh (director)
– 2002–sekarang Sugar Group Companies (site director) PT Gula Putih Mataram, PT Sweet Indo Lampung
PT Indo Lampung Perkasa, PT Indo Lampung Distillery

Alamat rumah: Perumahan Gula Putih Mataram Blok A No.3, Seputih Mataram, Lampung Tengah
Alamat kantor: Jalan Cut Mutia 58, Bandar Lampung Wisma GKBI Lt. V, Jl. Jenderal Sudirman 28 Jakarta

Hobi: Olahraga (tenis, joging)

Moto Hidup:
– Bekerja itu ibadah
– Berhenti adalah mati
– Mensyukuri nikmat Allah

Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 229-232.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart