Lupita Lukman

Lupita Lukman lahir di Kotabumi, 17 Maret 1985. Putri pasangan Lukman Supli, BA. (almarhum) dengan Netty Hartini ini mempunyai nama lengkap Shantika Lupita Sari. Lupita Lukman oleh Ibunya dipanggil dengan nama kesayangan Ndung yang mempunyai arti rindu.

Saat ia berusia tujuh tahun, tepatnya ketika ia duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, ayah Lupita meninggal dunia. Saat itu lupita mengalami pukulan batin yang sangat berat. Orang tua satu-satunya yang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal adalah ibundanya.

Pendidikan SD, SMP, dan SMA Lupita dihabiskan di Bandarlampung. Pada tahun 2003 ia kuliah diploma UNILA fakultas ekomoni, jurusan manajemen.

Kecintaannya dengan sastra bermula saat ia duduk di bangku SMA, majalah dinding di sekolahnya sering memuat karya-karya Lupita, ditambah lagi setelah duduk di bangku SMA sering mengisi rubrik Sanggar Konsultasi Remaja (SKR), dua aktifitas itulah yang mengantarkanya mulai aktif menulis karya puisi.

Dunia sastra ia geluti dengan serius semenjak masuk di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung divisi teater dan sastra pada tahun 2003.

Pada awal berkarya, ia hanya bertujuan untuk sekadar memenuhi kebutuhan batin mencurahkan isi hati melalui tulisan dalam buku harian. Menurutnya melalui puisi akan mendapatkan kepuasan batin yang tak tergantikan di tempat lain.

Lupita merasa menemukan eksistensi diri melalui karya-karyanya. Ia lebih suka menyebut puisinya sebagai puisi pengalaman batin dibandingkan disebut puisi bertema cinta.

Sifat keras kepala yang melekat pada wataknya hingga sekarang, kadang membuat dirinya dianggap egois oleh saudaranya. Hal itu dominan ketika beradu argumen dan mempertahankan pendapat dengan orang lain. Walaupun keras kepala ia lebih senang pada ketenangan dan menghindari konflik. Ketenangan itu tercermin dalam pilihan warna-warna favoritnya hitam dan putih.

Dara berdarah Palembang yang punya hobi membaca ini mengaku, sejak kecil hingga sekarang kurang memahami warisan budaya nenek moyangnya terutama Palembang. Apalagi budaya Lampung sama sekali tidak ia kuasai, oleh karena itu ia mencoba menghindari karya-karya bertema kelampungan. Membicarakan masalah budaya apalagi merefleksikan dalam sebuah karya, menurutnya membutuhkan sebuah totalitas yang utuh tidak bisa sembarangan mengungkapkan.

Di bawah asuhan seniornya seperti Ari Pahala Hutabarat, Lupita mulai mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar daerah maupun nasional. Pada tahun yang sama puisinya dikirimkan ke koran Lampung Post tetapi tidak dimuat. Hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk tetap menulis puisi. Akhirnya karya-karyanya dikirim ke Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, majalah Horison dan dimuat.

Pengalaman karya tidak dimuat dalam media lokal Lampung mengakibatkan Lupita mempunyai penilaian terhadap redaksi koran sebagai sikap tidak objektif. Bagi penulis pemula, karya tidak dimuat bukan karena tidak layak, tetapi lebih ke pandangan sebelah mata redaksi koran. Kenyataannya setelah karya-karyanya dimuat dalam media nasional baru media lokal mengikuti untuk memuatnya.

Pengagum sastrawan Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhammad ini telah banyak mengikuti kegiatan sastra dan karya-karyanya telah banyak dimuat dalam berbagai surat kabar daerah maupun nasional.
Pada peringatan hari Kartini tanggal 21 April 2005, dirinya bersama empat penyair perempuan Lampung (Imas Sobariah, Nersalya Renata, Inggit Putria Marga, dan Eliza Purwanti) membacakan kelima karya-karya puisi mereka di Warung Bulungan, Jakarta.

Pada bulan September tahun 2005 mengikuti kegiatan Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Menghadiri undangan Forum Sastra Bandung dalam rangka Festival Mei di Institut Nalar Jatinangor. Belum lama ini mengikuti kegiatan Bengkel Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Samarinda pada tanggal 23—31 Juli 2007 yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Seperti penyair kebanyakan, karya-karya Lupita juga mendapat tanggapan dari kritikus sastra, seperti menurut M. Sidik Mustofa, puisi-puisinya bersifat tertutup kecenderungan makna yang terkandung di dalam sajak sangat membebaskan pembaca mencari maknanya sendiri-sendiri dan hanya memberikan ruang makna tunggal ketika di tulis maupun dibacakan. Puisinya yang berjudul Mimpi Potong Rambut pernah mendapatkan nominasi dalam lomba yang diadakan Dewan Kesenian Lampung dengan tema puisi dan lokalitas tahun 2006. Mata Merah Buku, Gubuk-Gubuk Gipsi (Lampung Post, 11 Maret 2007), Mimpi Dipatuk Ular (Lampung Post, 11 Maret 2007). Berikut ini karya-karya Lupita Lukman.

1. “Dengung Ulat”, “Kabut Merah Di Atas Rumput”, “ Khianat Pohon”, “Lewat Kalimat Senja”, “Seorang Penari Latar”, “Pohon Tumbang di Bibirmu”. Koran Tempo, 19 Desember 2004.
2. “Gugur Desember”, “Malam Sehabis Perjamuan”, “Di Wajahmu Sungai Mengalir Kepekaan”. Media Indonesia, 2 Januari 2005.
3. “Hujan Paru-Paru”, “Gerimis Daun-Daun”, “Tujuh Rupa Mimpi”, “Pohon Tumbang Di Bibirmu”. Lampung Post, 30 Januari 2005.
4. “Kau Hutan”, “Aku Taman”, “Hortensia”. Media Indonesia, 22 Mei 2005.
5. “Luth”. Lampung Post, 11 September 2005 dan Media Indonesia, 23 Oktober 2005.
6. “Nama Ibu”. Lampung Post, 5 Maret 2006 dan Media Indonesia, 5 Maret 2006.
7. “Mata Merah Buku”. Media Indonesia, 21 Mei 2006 dan Pikiran Rakyat, 6 Mei 2006.
8. “Surat Untuk Kekasih”, “Gubuk-Gubuk Gipsy”. Media Indonesia, 22 April 2007.
9. “Pohon Yang Hilang”, “Tangga Menuju Langit”, “Malam Pencuri”, “Langit dan Dirimu”. Kompas, 29 Juli 2007.
10. “Bunga Padi dan Alang-Alang”, “Luput di Telan Kabut”, “Rumah Batu”. Media Indonesia, 9 September 2007.
11. “Gubuk-Gubuk Gipsy”, “Mimpi Dipatuk Ular”, “Ballets”. Lampung Post, 11 Maret 2007.

Sumber:
Agus Sri Danardana. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 110-113.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart