Arief Mahya mulai bekerja dengan memanfaatkan ilmunya bersama rekannya, yaitu membuka madrasah di Talangparis, Lampung Barat.
![]() |
K.H. M. Arief Mahya |
ANGGOTA veteran Republik Indonesia yang berjuang di dunia pendidikan ini lahir dari keluarga petani lada di Desa Gedungasin. Sebuah desa di Liwa, Lampung Barat, 87 tahun lalu. Dia mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat berbasis agama di masa kolonial Belanda.
K.H. M. Arief Mahya ialah tokoh Lampung yang terkenal dengan ketegasannya dalam memimpin. Dia bersekolah di kampung pada masa pemerintahan Belanda Polk Scholl (1933—1935). Pada masa itu, pendidikan di Liwa dapat dibilang bagus, terlebih dalam pendidikan agama.
Arief kemudian melanjutkan pendidikannya di madrasah selama dua tahun. Dia pun melanjutkan ke pendidikan lanjutannya di Standard School, yang merupakan sekolah rintisan Muhammadiyah pada 1937—1938.
Pendidikan tingkat selanjutnya dia tempuh di Wustha Zua’ma (1939—1940) dan Wustha Mu’allimien (1940—1941), setara dengan pendidikan menengah pertama di Liwa. Hingga akhirnya sekolahnya terhenti karena terjadi Perang Dunia.

Selepas sekolah lanjutan, Arief mulai bekerja dengan memanfaatkan ilmunya bersama rekannya, yaitu membuka madrasah di Talangparis, Lampung Barat. Namun, sekolah itu hanya bertahan satu tahun karena dibubarkan Jepang. Dia pun akhirnya turut membantu penyebaran Islam dengan menggelar berbagai tablig di seputaran tempat tinggalnya.
Pada 1943, dia kembali tekun ke dunia pendidikan sebagai seorang guru di salah satu Sekolah Rakyat milik Muhammadiyah di Karangagung, Way Tenon. Namun, lagi-lagi sekolah itu hanya bertahan selama enam bulan karena dilarang oleh Pemerintah Jepang.
Menghindari kerja paksa atau Badan Pembantu Perang (BPP), Arief memilih untuk tidak statis di tempat tinggalnya. Dia mulai berdagang sehingga membuatnya selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
“Karena saya sudah lulus sekolah, saya mondar-mandir saja biar tak kena kerja paksa dari Talangparis ke Bukitkemuning memikul barang dagangan. Saya lebih memilih berjalan hingga ratusan kilometer daripada ikut kerja paksa membongkar batu di bukit-bukit atau BPP di lapangan Branti agar diperluas,” kata Arief.
Hingga akhirnya dia menyusul orang tuanya yang telah mengungsi ke Metro, tepatnya di Desa Hadimulyo, sekitar 1 kilometer dari Kota Metro. Saat itu, dia memiliki adik lulusan sekolah HIS Muhammadiyah sehingga dia pun mencoba untuk bekerja di sekolah tersebut.
Dia bersyukur karena berhasil menjadi kepala sekolah pada Februari 1945 sampai Desember 1948. Sekolah itu pun mendapat pelarangan dari pemerintahan Jepang, yang hanya mengizinkan untuk mengajarkan pendidikan agama Islam. Waktu itu, Jepang melarang keras pelajaran yang berbau pelajaran umum dan politik.
Pada 1 Januari 1949, saat Belanda menduduki sebagian Provinsi Lampung, perguruan Islam tempat Arief mengajar ditutup. Arief bergabung pada Partai Masyumi dan menjabat sebagai kepala staf Hizbullah untuk membantu perjuangan bangsa.
Ketika itu Pemerintah Pusat menyuruh seluruh laskar perjuangan untuk masuk ke Tentara Negara Indonesia (TNI) karena beberapa wilayah telah dikuasai Belanda, termasuk Lampung Tengah, tempat dia berada.
Mau tak mau Arief pindah ke wilayah yang lebih aman, yaitu Lampung Utara. Namun, kawasan itu diduduki Belanda dan membuat Arief beserta para pejuang lainnya hijrah ke Bukitkemuning. “Daerah di Lampung yang tidak dikuasai Belanda saat itu hanya Way Kanan, Bukitkemuning, dan Lampung Barat,” ujarnya.
Saat Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1960, Arief pun bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU). Keaktifan Arief dalam Ormas NU membuatnya terpilih sebagai wakil Rais Syuriah NU pada 1990—1995. Dalam masa jabatan selama lima tahun tersebut, dia aktif sebagai anggota dan ia didaulat sebagai tokoh NU Lampung.
Pernah Jadi JurnalisK.H. M. Arief Mahya menceritakan saat itu sistem Pemerintah Lampung masih dalam bentuk keresidenan yang dipimpin seorang residen dari Bekasi bernama Raden Mas Rukhadi. Namun, residen putus asa dan pulang ke daerahnya sehingga kedudukannya diganti Gele Harun.
“Orang yang paling berjasa untuk negara Republik Indonesia, saya saksi hidup Mr. Gele Harun dan K.H. A. Hanafiah. Mereka telah berjuang untuk penyelamatan umat Islam di Lampung, tetapi mereka kurang dihargai,” kata dia.
Pada 1 Mei 1949, Arief bergabung membantu pasukan TNI dalam pasukan Beruang Hitam Center Barat Front Utara. Arief bertugas sebagai jurnalis yang mengetik berita dengan mesin tik kuno, tinta karbon dengan delapan rangkap yang kemudian dia sebarkan ke pos-pos TNI agar komandan tahu informasi terbaru.
“Saya juga dulu seorang jurnalis. Saya dapat berita dari radio Rembo dengan menggunakan sumber energinya dari aki. Jadi, kita harus tahu jam berapa radio tersebut menyiarkan. Honornya cuma nasi yang masih bercampur padi. Kita harus siap dengan keadaan apa pun, karena saat itu yang ada di pikiran kami adalah merdeka,” kata Arief mengenang.
Peralihan profesi dari guru madrasah, pejuang, hingga menjadi seorang jurnalis tentara membuatnya selalu siap ditempatkan di mana saja. Hal itu demi membela bangsa dan negara. Ketika dia bergabung di Dewan Pimpinan Pemuda di Metro, Arief diutus mengikuti Kongres Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) di Yogyakarta pada 1949.
Arief memang menyukai pekerjaan yang simultan, sesuai hobinya serta suka berpolitik. Aktif di Partai Masyumi, hingga dia diamanahi untuk menjadi anggota DPRD sementara pada 1951—1956.
DPRD sementara karena pada saat Kabinet Natsir belum disahkan undang-undang. Ketika DPRD sementara berubah menjadi DPRD peralihan, tahun selanjutnya Arief sudah tidak terlibat dan mulai bekerja menjadi pegawai negeri sipil di Kantor Penerangan Agama Provinsi Lampung.
Pada 1966 hingga 1969, Arief menjabat sebagai wakil kepala Penerangan Agama Provinsi Lampung. Kemudian, tahun berikutnya dia naik menjadi kepala Jawatan Penerangan Agama Provinsi Lampung pada 1969 sampai 1973. Itu merupakan jabatan terakhirnya hingga dia memutuskan pensiun pada 1 Juli 1979.
Membuka Program Pendalaman Agama Islam
Ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden soekarno pada 1960, sebagian anggotanya bergabung ke Partai Nahdlatul Ulama (NU). Untuk mengobati kerinduannya terhadap kehidupan berpartai dengan rekan yang sama, tidak ada pilihan selain masuk Partai NU. Tahun 1973, Partai NU difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan bergabung juga PSII dan Permusi setelah pemilu kedua Presiden Soeharto.
Pada 1984, NU keluar dari partai dan kembali ke khitahnya (garis posisi perjuangan). Keaktifan Arief dalam ormas NU membuatnya terpilih sebagai wakil rais Syuriah NU pada 1990 sampai 1995. Dalam masa jabatan selama lima tahun tersebut, dia cukupkan untuk aktif sebagai anggota NU.
Berbicara demokrasi, ayahanda dari Andi Arief ini mengatakan penyakit besar tentang reformasi ini masih kentalnya budaya ampowisme. “Manusia tanpa nyawa sama saja bangkai, negara tanpa agama akan sewenang-sewenang,” kata dia.
Bapak dari delapan anak ini mengatakan hendaknya ketika kita memilih pemimpin, pilihlah manusia yang mengimplementasikan ajaran agamanya ke dalam kehidupannya. Jangan memilih pemimpin sesuai angpau yang dikasih. “Pilihlah pemimpin yang kepada Tuhannya bagus, agamanya baik dan kelakuannya baik,” ujar Arief.
Suami dari Mas Amah kini tak lagi menyibukkan diri dengan berjuang melawan penjajah atau sibuk dengan dunia kepartaian. Dia lebih memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai wakil ketua di Masjid Agung Alfurqon mulai Januari 2012. “Keinginan saya agar cepat ada yang menggantikan saya yang sudah berusia 87 tahun ini,” kata dia.
Dengan memajukan dan mendalami Islam, dia bersama tim penggerak membuat program di Masjid Alfurqon, yaitu program At-Tafaqquh Fiddin. Program itu tentang pendalaman Islam yang sudah berjalan empat tahun. Program itu diadakan Sabtu subuh mulai minggu kedua hingga minggu keempat atau kelima setiap bulannya.
“Bagi masyarakat yang ingin mendalami agama Islam, silakan datang untuk mengikuti kajian tersebut setiap Sabtu subuh,” ujarnya. (S1)
BIODATA
Nama: H.M. Arief MahyaKelahiran: Gedungasin (Liwa), 6 Juni 1926
Istri: H. Mas Amah
Anak: 1. Hilyati
2. H. Istamar Arie, S.H., M.B.A.
3. H. Erna Pilih, S.H.
4. H. Prisrita, S.Pd., M.M.
5. Dr. H. Eddy Irawan Arief, S.E., M.Sc.
6. H. Neli Aida, M.Si.
7. Septy Aprilia, M.Pd.
8. Andi Arief, S.I.P.
Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Kamis, 6 Maret 2014
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky