Jurnalis di Titian Birokrat

Oleh Sudarmono

Nilai-nilai dari profesi pelayan informasi publik (wartawan) ia transformasikan ke pekerjaannya sekarang sebagai birokrat.

SENIN pagi. Rapat proyeksi reporter Lampung Post di ruang yang cukup lega dan dingin itu terasa sumuk. Belasan wartawan yang hari itu merancang liputan mengajukan rencana hunting (berburu) berita. Namun, sang pemimpin rapat menunda pembahasan dan mengajak semua mengevaluasi koran yang terbit hari itu.

Dengan rigid, satu per satu berita disigi hingga per kata. Satu per satu isu dibahas, ditapis. Saat satu berita tidak lengkap atau narasumber tidak tertembus, penanggung jawab operasional koran itu mulai menagih.

Pemimpin rapat itu adalah Heri Wardoyo. Saat itu, ia redaktur pelaksana di koran harian terbesar dan tertua di Lampung itu. Ketelitian, kecermatan, pertimbangan, dan pandangannya tentang isu dan isi koran membuat setiap wartawan yang menulis harus dag-dig-dug saat beritanya dinilai.

Satu yang ditekankan kepada semua wartawan adalah kemampuan menembus sumber. Bagi dia, sumber yang kuat dan berkompeten serta hasil liputan ditulis dengan kecermatan tinggi akan menjadi jaminan suatu berita dipercaya oleh pembaca.

“Jangan pernah bilang sumber tidak bisa dihubungi. Jika kalimat itu tercetak di beritamu, maka turun satu level kepercayaan pembaca. Tugas wartawan adalah untuk menembus sumber yang tidak mudah ditembus orang biasa!” kata dia bersungguh-sungguh.

Mantan wartawan majalah Tempo dan Forum Keadilan itu memang tidak pernah main-main soal isi berita. Ia tidak cuma menuntut kemampuan wartawan menembus tabir, tetapi juga memberikan tips-tips jitu untuk itu.

“Biasanya yang sulit ditemui itu kan pejabat atau pengusaha. Kalau kita jeli, sebetulnya mudah sekali. Di Lampung, rasanya cuma Alzier yang tidak ke bandara setiap Jumat sore dan balik lagi Minggu sore atau Senin pagi. Jadi, tidak ada alasan kita enggak bisa menembus!” tegas dia.

Alumnus Pascasarjana Jurnalistik Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) Jakarta itu melanjutkan, “Kalau enggak ada di Branti, tengok di lapangan golf atau di kafe hotel, pasti ketemu. Jangan cuma mengandalkan telepon, SMS, atau menunggui di depan ruang kerja kantor. Jadikan narasumber sebagai mahkota berita kalau kita ingin menang dari kompetitor,” kata Heri.

Jabatan wakil pemimpin redaksi di Lampung Post memberi keleluasaan bergerak bagi Heri Wardoyo. Tugas kantornya tidak lagi berkutat dengan teknis meramu berita dan menyajikan fakta informasi kepada publik. Lebih dari itu, Heri sebagai unsur pimpinan dituntut membuka arah institusi dan merajutnya dengan idealisme pemberitaan menuju kemaslahatan bersama.

Membawa bendera institusi membuat suami Zaidirina ini kerap bersentuhan dengan dunia politik dan birokrasi. Ia juga selalu dicari saat suatu lembaga akan mengadakan seminar, lokakarya, diskusi, dan sejenisnya untuk menjadi petugas pengatur traffic sebagai moderator. Puluhan acara diskusi dan seminar per tahun pasti dipandu Heri dengan baik.

Intensitas persentuhan dengan birokrasi dan politik tampaknya mengubah arah pandang Heri. Pesona Heri dalam performa dan argumentasi menarik perhatian beberapa petinggi partai untuk merekrut menjadi makmumnya. Tak butuh waktu lama, satu partai besar memancangkan dirinya menjadi calon kepala daerah.

Pria berkumis ini memang terbiasa dengan dialog interaktif di kalangan intelektual dan cendekiawan. Saat harus berkampanye di hadapan publik heterogen, bahkan lebih banyak rakyat jelata dengan strata pendidikan rendah, banyak pihak meragukan gaya komunikasinya yang ilmiah-artikulatif.

Heri tampil seperti mbah Google. Dia tidak menyaru diri agar terlihat sama kastanya dengan audiens yang mayoritas petani guram, tetapi menjawab pertanyaan mereka dengan bahasa yang nyambung, sejajar-sepadan dengan kesederhanaan bahasa dan ketegasan intonasi.

“Itu keuntungan jadi wartawan. Kita tahu banyak hal. Ketika ketemu sama petani padi, ya saya paham dengan tanam jajar legowo, mluku, berbagai varietas padi, dan lainnya. Ketika ketemu orang lagi lek-lekan, ya saya juga bisa ngatum di gaplean. Saat ngobrol wayang, ya saya tahu siapa itu Pendowo Limo atau Punokawan yang beranggota Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Itu untungnya,” kata dia.

Siasat menangkap simpati Heri rupanya ampuh. Setiap pertemuan dengan warga, Heri mendapat sambutan hangat. Tak heran jika pada pemungutan suara pada 27 September 2012, pasangan Hanan A. Rozak-Heri Wardoyo (Handoyo) menang mutlak dengan lebih dari 64%.

Kini Heri Wardoyo terus mendayung birokrasi di kabupaten berpenduduk 400 ribu jiwa lebih ini. Dengan program unggulan Membangun dari Kampung, ia mewakafkan diri memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai dari profesi pelayan informasi publik ia transformasikan ke pekerjaannya sekarang. Ia adalah wartawan cum birokrat. (S3)

Biodata:
Nama                : Heri Wardoyo, S.H.
Kelahiran             : Tanjungkarang, 28 Mei 1967
Istri                : Zaidirina, S.E., M.Si.
Anak       
                          1. Asyraf Vivaldi Wardoyo
                          2. Athaya Calista Sastyaviana
                          3. Admiral El-Ghaaziy Wardoyo
Agama                : Islam
Pendidikan terakhir    : Program Pascasarjana Jurnalistik Dr. Soetomo
Jabatan sekarang    : Wakil Bupati Tulangbawang
Alamat rumah        : Jalan Kelapa No. 18, Sepangjaya, Kedaton
                  Bandar Lampung
Alamat rumah dinas    : Jalan Cemara No. 356, Gunungsakti, Menggala
Alamat kantor        : Jalan lintas timur Km 112, Tiuh Tohou,
              Menggala, Tulangbawang

Riwayat Pendidikan Umum:
1. SD Persit Kartika Tanjungkarang, 1980
2. SMP Persit Kartika Tanjungkarang, 1983
3. SMEA Negeri Tanjungkarang, 1986
4. Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1991
5. Pascasarjana Jurnalistik Dr. Soetomo, Jakarta, 1995

Tanda jasa/penghargaan:
1. Pemegang Sertifikat Ahli Dewan Pers Nasional 2009 Dewan Pers RI

Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Jumat, 18 Juli 2014

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart