Iwan Nurdaya Djafar (1959-…): Mengarungi Karya sampai ke Timur

“MENULIS itu membahagiakan.” Itu kata-kata yang disampaikan Iwan Nurdaya Djafar.

Kata-kata itu menjadi bermakna karena Iwan Nurdaya kini berada di dua dunia: Kesenian dan birokrasi. Ia berkesenian, bergulat dengan sastra sejak 80-an. Sebagai birokrat, Iwan menduduki jabatan eselonering sebagai sekretaris DPRD Kabupaten Lampung Timur.

Sebelumnya, di Pemkab Lamtim, ia antara lain pernah menjabat kepala Badan Promosi dan Investasi Daerah serta kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Kemapanan sebagai birokrat tidak membuat energi kreatif Iwan terbenam. Apalagi menyengajakan diri membenamkannya. “Menulis itu kerjaan saya. Menulis itu kebutuhan. Saya menulis dari tahun 80-an, mulai media kampus terus merambah Pikiran Rakyat (koran terbitan Bandung, red),” kata Iwan kepada Lampung Post beberapa waktu lalu.

Soal berkesenian, soal menulis, Iwan tidak pernah main-main, sekalipun jabatan taruhannya. “Saya enggak ada urusan dengan segala tekanan. Saya berani dicopot dari jabatan kalau memang konsekuensinya harus begitu. Target saya jadi diri sendiri,” kata putra mantan Bupati Lamsel Djafar Amid ini.

Ketegasan sikap Iwan pada pilihan bisa dipahami sebagai totalitas pada kesenian. Pada sastra yang digumulinya sejak 80-an ketika ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung. Babakan sastra modern di Lampung mencatatkan Iwan Nurdaya sebagai salah satu sastrawan angkatan 80-an bersama–antara lain–Isbedy Stiawan Z.S. dan Sugandhi Putra. Iwan juga tercatat sebagai penyair Lampung era 80-an yang diundang pada Forum Puisi Indonesia 87 dam 1989 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Kampus juga yang mengasah rasa berkesenian dan intelektualitas Iwan Nurdaya. Semasa mahasiswa, ia aktif dalam pers kampus, resimen mahasiswa, senat mahasiswa, serta unit kegiatan sastra dan teater. Puisinya Di Bawah Panji Alma Mater memenangi juara ketiga Festival Seni Mahasiswa se-Jawa Barat. Pada festival yang sama, tahun 1983, Iwan terpilih sebagai aktor terbaik pria dengan peran sebagai “Abah” dalam lakon Orang Gila di Atas Atap karya Kikuchi Kan yang diadaptasi dalam budaya Sunda.

Sesekali Iwan juga tampil baca puisi, main sinetron, dan memberi materi sebagai pembicara dalam diskusi kesenian. Tahun 2002, Iwan mewakili Lampung sebagai pemakalah pada Kongres Kebudayaan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Beberapa sinetron pendeknya pernah ditayangkan di TVRI Lampung dan TVRI Jakarta.

Kepeduliannya pada budaya Lampung tampak pada karya suntingannya “Warahan Radin Jambat” dan “Dayang Rindu” serta pengembangan seni warahan sebagai seni pertunjukan. Namun, ketika banyak orang membicarakan Lampung Sai, Iwan justru menolaknya dan menggagas Lampung Plural yang bertitik-tekan pada hubungan antarbudaya yang ada di Lampung. “Lampung itu plural. Kita tidak boleh terjebak pada etnosentrisme dengan mengedepankan budaya Lampung melulu,” kata tokoh kelahiran Tanjungkarang, 14 Maret 1959 ini.

Awal 1990, persisnya tahun 1993, Iwan kembali ke Bandar Lampung. Delapan tahun ia kelanai jagat sastra Bandung, dengan segala kebebasan berekspresi. “Teman-teman saya sudah habis, makanya saya kembali ke sini,” ujar suami Cut Hilda Rina ini.

Kemudian, bersama teman-teman seniman, ia mendirikan Dewan Kesenian Lampung dan menjabat ketua harian selama dua periode (1993–2001). Iwan juga mendaftar sebagai PNS.

Apa pun namanya, seniman juga manusia. Iwan menyadari hal ini. “Saya mesti ada pegangan. Saat itu, penyair belum menjanjikan, saya harus ada pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan, makanya saya masuk PNS,” kata Iwan.

Sastra-Budaya Timur

Sebagai penyair, karya-karya Iwan memang tidak lagi terpublikasi di media massa atau majalah sastra. Tetapi, elan kepenyairan dan intelektualitas Iwan terus hidup. Ini ditunjukkan melalui penerjemahan karya-karya sastra dan pemikiran Timur dari para sastrawan, filsuf, budayawan, dan cendekiawan abad ke-15 hingga abad ke-20. Puluhan karya yang dikerjakan setelah kembali ke Lampung menjadi penanda totalitas Iwan pada karya-karya besar yang mengilhami peradaban.

Iwan bercita-cita mendirikan penerbit yang concern pada seni, sastra, budaya, dan filsafat seperti yang banyak berkembang di Yogyakarta, misalnya. Ia juga bercita-cita menerbitkan tujuh terjemahan sastra yang ditulis sastrawan Timur dari abad ke-15. Terjemahan itu diselesaikannya selama bertugas di Pemkab Lamtim, ada terjemahan puisi-puisi Kabir, Rabindranath Tagore, Dalai Lama II, puisi Shakespeare (The Sonnets And A Lovers Complaint), Jalaluddin Rumi, novel Omar Khayam juga puisi-puisi klasik Jepang. Sebelumnya, ia telah menerjemahkan karya-karya Khalil Gibran antara lain Air Mata dan Senyuman dan Sang Nabi.

Suatu saat, Iwan juga ingin menerbitkan anotasi puisi-puisi Ayatullah Khomeini, pemimpin dan tokoh spiritual Iran. Kini, ia sedang menerjemahkan fiksi sains karya novelis Amerika, Ray Bradbury, The Matian Chronicles (Serangkaian Peristiwa di Planet Mars). Kini, ia merintis penerbitan buku di bawah bendera Kutubuku Publishers.

Kenapa Timur yang dipilih? “Saya ingin mengingatkan masyarakat, sesungguhnya Timur sangat kaya. Sastra tasawufnya mendalam. Khazanah kebudayaan Timur juga demikian. Makanya saya masuki Dalai Lama, Rabindranath Tagore, puisi-puisi klasik Jepang. Genre ini banyak melahirkan sastrawan, khususnya penyair. Inikan sangat menarik,” kata Iwan soal pilihannya pada khazanah Timur.

Sastra Timur menerapkan pendekatan kalbu. Sejatinya, Timur-Barat itu saling pengaruh. “Cara ini juga diambil Barat, baik terang-terangan maupun diam-diam. Misalnya, Dante Allegeri mengambil karya Al Maari. Shakespeare juga terilhami sastra Timur. Kenapa di Jerman pada abad ke-19 muncul gerakan ketimuran, oriental?” n

BIODATA


Nama:  Iwan Nurdaya Djafar
Lahir: Tanjungkarang, 14 Maret 1959
Ayah: Djafar Amid
Ibu: Siti Kalang
Alamat: Jalan Endro Suratmin, Sukarame, Bandar Lampung.
Istri: Cut Hilda Rina (menikah 7 Juli 1991)
Anak: – Rabia Edra Almera
– Selma Ilafi Al Zahra

Pendidikan:
– SD di Pangkal Pinang (1971)
– SMPN 2 Tanjungkarang (1974)
– SMA Xaverius Tanjungkarang (1977)
– Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Bandung.

Karya:
Seratus Sajak (kumpulan sajak bersama Sugandi Putra), Cerita dari Hutan Bakau, Hukum dan Susastra (ditulis bersama Dr. T. Mulya Lubis), Warahan Radin Jambat, Dayang Rindu. Menerjemahkan prosa lirik Khalil Gibran: Bagi Sahabatku yang Tertindas, Airmata dan Senyuman, Sang Nabi.
Terjemahan novel Hidup Cinta dan Petualangan Omar Kayam (Manuel Komroff). Selain itu Vita Sexualis (Ogai Mori), Lelaki dari Timur (Dr. Mohsen El-Guindy), Islam Agama yang Mudah (Harun Yahya), Islam pada Abad Duapuluh Satu (Ziauddin Sardar), Kabah Pusat Dunia (Saad Muhammad Al-Marsafy), Masnawi (Rumi), Soneta (William Shakespeare), Karl Marx: Nabi Kaum Proletar (E. Stepanova), dan Tipologi: Sebuah Metoda Memahami Islam (Ali Syariati).

Sumber: 
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 338-341.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart