Ekspresi Ekstrem Seni Patung Wuriyanto

PATUNG berukuran setengah badan orang dewasa tidak begitu menyeramkan, meskipun ada tulisan “Saya Iblis”. Patung Wuriyanto itu adalah satu dari sekian karya seninya yang reflektif.

Dari kejauhan yang tampak adalah orang sedang mengenakan jubah yang menutup hingga kepala. Pembedanya ada pada bagian muka, bukan sosok yang seram dan mengerikan, tapi cermin. Setiap orang yang melihat patung itu akan melihat bayangannya sendiri pada cermin yang terpasang.

Patung karya perupa asal Lampung, Wuriyanto, itu dipamerkan dalam Pameran Patung se-Sumatera, di Pekan baru, beberapa waktu lalu. Karya yang berjudul “Saya Iblis” itu memang memikat beberapa peserta yang hadir dalam pameran.

“Bahkan ada pejabat yang hadir dan memperhatikan patung. Pejabat itu heran melihat cermin patung. Patung ini memperlihatkan semua orang yang menatap cermin. Artinya, iblis tidak melulu menyeramkan. Terkadang, iblis juga bisa berpenampilan rapi dan necis,” kata Yanto.

Perupa kelahiran Bandar Lampung 34 tahun lalu ini mengaku suka dengan hal-hal yang menyeramkan dan ekstrem. Dua karya yang diusung ke pameran di Pekanbaru itu kental dengan menyeramkan.

Yanto menjadi perupa yang mewakili Lampung dalam pameran patung se-Sumatera. Dia dianggap salah satu perupa yang menonjol dan mendapat kehormatan untuk menampilkan karyanya dalam ajang se-Sumatera.

Selain “Saya Iblis”, patung lain yang dipamerkan adalah tentang orang yang kecanduan narkoba. Patung itu disimbolkan dengan manusia bertubuh kurus kering yang dirantai dengan nisan. Pada bagian bawah, ada anggur dengan daun ganja. Patung itu menyimbolkan orang yang menjadi pecandu narkoba.

“Saya memang suka dengan yang berbau esktrem dan menyeramkan. Enggak tau kenapa, suka aja,” kata Yanto.

Bahkan ada meja makan di rumahnya di Jalan Pulau Batam IV, Way Halim, yang berbentuk tengkorak. Karya Yanto yang tidak kalah menakutkan adalah peti mati. Peti itu pernah dia pakai untuk touring dengan kendaraan bermotor hingga ke Yogyakarta. “Ini untuk mengingatkan selama diperjalanan. Kalau ngebut, liat peti mati, langsung ingat mati. Jadi enggak ngebut lagi,” kata dia.

Nama Yanto cukup dikenal. Hampir tiap tahun ada saja yang memesan patung kepadanya. Pemesannya adalah perorangan yang memang menyukai patung. Pihak yang meminta dibuatkan patung juga berasal dari kalangan gereja, yang memesan patung Yesus dan Bunda Maria. Instansi pemerintahan pun memesan untuk dibuatkan patung, seperti gajah dan burung balo-balo. Patung karya Yanto dipajang di Kantor Samsat Rajabasa.

Menurut Yanto, balo-balo merupakan burung simbol khas Lampung yang kini coba dikenalkan. Selama ini, patung hanya didominasi gajah dan siger. Balo-balo belum banyak dikenal.

Keahlian Yanto dalam membuat patung dimulai pada saat duduk di bangku SMK. Dia yang mengambil bidang pahatan, tapi sedikit berbeda dengan kebanyakan teman sekolahnya yang lain. Teman Yanto lebih menekuni pada bidang pembuatan mebel. Sementara Yanto memang lebih tertarik dalam membuat patung.

Setelah menyelesaikan pendidikan SMK, dia sama sekali tidak meneruskan pendidikan seni rupa. Pengalamanlah yang membuatnya makin mahir menghasilkan patung-patung yang unik dan kadang memiliki makna yang dalam.

Yanto, yang sangat hobi dengan kendaraan bermotor ini, kini menerapkan pengalaman seni rupa pada modifikasi kendaraan roda dua. Dia dan beberapa rekannya membuka bengkel modifikasi di Jalan Pulau Batam IV. Latar belakangnya sebagai seorang perupa sangat terlihat dalam hasil modifikasi yang dibuat.

Modifikasi yang dibuat, misalnya rangka sepeda motor yang berbentuk tengkorak manusia. Sepeda motor yang berukuran besar ini terlihat menyeramkan sama seperti karya patung yang sudah dibuatnya.

Modifikasi sepeda motor yang dibuat Yanto mendapat pengakuan dari beberapa koran dan majalah sepeda motor nasional, seperti Motor Plus dan Bikers Magazine. Bahkan salah satu sepeda motor modifikasi yang dirancangnya mendapat juara dalam lomba kontes nasional yang digelar Djarum Black.

Menurut Yanto, kini dia menekuni dunia modifikasi dan pembuatan patung secara bersamaan. Jika ada pesanan pembuatan patung, tetap akan dia kerjakan. Begitu pun dengan pesanan modifikasi sepeda motor. “Dapur enggak ngebul kalau hanya membuat patung. Ini sudah jadi kebutuhan, patung dan modifikasi dijalankan bersamaan,” ujarnya.

Suami dari Marlia Sari ini mengungkapkan apresiasi masyarakat Lampung terhadap perupa yang membuat patung rendah. Masyarakat belum menghargai karya perupa dengan layak. “Patung dihargai sangat murah. Bahkan cenderung menawar harga patung yang dihasilkan para perupa,” kata Yanto.

Pemerintah Daerah pun tidak mendukung perkembangan perupa di Lampung. Perupa perlu dukungan supaya bisa terus berkarya dan mendapat pengakuan masyarakat. Misalnya dengan membuat pusat-pusat pembuatan patung yang dipadukan dengan pariwisata, sehingga orang bisa berkunjung dan melihat hasil karya para perupa di Lampung.

Menurut Yanto, Pemda tidak hanya kurang mendukung, tapi juga tidak mengapresiasi karya para perupa. Misalnya, patung yang dibuat burung balo-balo karya Yanto yang seenaknya ingin diubah dan dipotong karena dianggap terlalu besar. “Ini kan namanya tidak menghargai karya perupa,” ujarnya. (PADLI RAMDAN/M-1)

Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Minggu, 08 Juli 2012

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart