
Edy Samudra Kertagama, pria kelahiran Bandarlampung 46 tahun silam ini lahir dari pasangan Drs. M. Mochtar ZN (alm.) dan Drs. Suryani (almh.).
Pendidikan yang dilalui Edy ternyata tidak seindah yang dibayangkan, ia bersekolah dari kota yang satu ke kota yang lain. Taman Kanak-kanak (St. Maria) dan Sekolah Dasar, ia habiskan di Bandung. Setelah lulus Edy dan keluarganya pindah ke Jakarta. Edy melanjutkan sekolah di SMPN 16 Jakarta, tetapi hanya sampai kelas dua. Setelah itu, ia dan keluarga pindah ke Lampung dan melanjutkan sekolahnya di SMPN 4 Bandarlampung hingga lulus. Kerinduan dengan Jakarta membuat Edy dan keluarga kembali ke sana. Masa-masa SMA dilewati Edy di SMAN 17 Bulungan Jakarta dan SMAN 3 Bandarlampung.
Setelah Edy menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah, ia melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. STIAL adalah tempat Edy mencoba menggali intelektualitasnya. Di kampus tersebut, ia mengambil jurusan sosial dan politik. Tahun 1989 dan 1990, Edy ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Peristiwa itu berdampak besar terhadap perkembangan psikologisnya sehingga Edy memutuskan tidak melanjutkan studinya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, ia menunjukkan keinginan yang besar untuk maju dengan kembali ke dunia pendidikan. Oleh karena itu, ia bergabung dalam Acting Course Drama dan Film yang ada di Bandarlampung selama satu tahun.
Tahun 1992, Edy Samudra Kertagama menikah dengan Fatihatul Mufarrohah, M.A. hingga saat ini dikarunai satu orang laki-laki dan tiga orang perempuan, Putri Laras Ari Sandi ESK, Aulianisa Saraswati ESK, Nanda Enggar Tiasta ESK, dan Fitri Anisa Cahyani ESK.
Darah seni Edy mulai mengalir ketika ia masih duduk di bangku sekolah. Majalah dinding di sekolahnya tidak luput dari puisi-puisi Edy. Puisi-puisi yang dimuat pada saat itu masih terinspirasi oleh puisi-puisi romantis Kahlil Gibran. Seiring berkembangnya waktu tanpa sengaja Edy mulai tertarik dalam seni sastra dan teater.
Kecintaannya pada seni melatarbelakangi Edy Samudra Kertagama dalam menulis puisi karena melalui media puisi itulah ia dapat menuangkan kreativitasnya. Puisi menurut Edy adalah ungkapan rasa dari penyair, tuntunan ke arah pemahaman nilai-nilai artistik. Puisi juga memberikan berbagai macam makna empiris yang jelas, sehingga puisi dapat lebih diinterpretasi oleh pembacanya. Selain itu, sebagai masyarakat yang bertanggung jawab terhadap budaya, ia ingin mengembangkan kesusastraan Indonesia, khususnya di Lampung, serta ingin memberikan pengetahuannya tentang sastra kepada masyarakat luas.
Pria yang menggeluti sastra sejak 1979 ini banyak terinspirasi oleh sastrawan besar, seperti Kahlil Gibran, Sapardi Djoko Damono, dan WS Rendra. Menurut Edy, ketiga sastrawan itu merupakan sosok orang yang penuh dan padat terhadap kontrol sosial masyarakat, mereka juga santun dalam berkesenian, serta kedekatan pada Tuhan yang menjadikan karya-karya mereka kuat. Oleh karena itu, dalam proses kreatifnya berpuisi, tanpa disengaja Edy mencirikan dirinya sebagai penulis puisi yang bertemakan kritik sosial.
Tahun 1979, puisi pertama Edy yang berjudul “Tanah Lapang”, lahir. Puisi pertamanya itu, seakan-akan mengisyaratkan lahirnya Edy Samudra Kertagama sebagai Penyair. Dalam puisi itu, Edy ingin menyuarakan penderitaan yang dialami rakyat kecil, mereka kehilangan hak atas tanah mereka akibat keserakahannya orang-orang kaya, seperti yang termaktub dalam larik-larik berikut ini, tak ada lagi tanah lapang // habis tergusur traktor-traktor // tak terlihat sapa ramah tawa riang // semua bungkam, semua sepi, semua merindukan tanah lapang.
Untuk menyosialisasikan karya-karyanya, Edy melakukan pembacaan puisi ke beberapa tempat di Indonesia, seperti Universitas Lampung, IAIN Radin Intan, Taman Budaya Lampung, Universitas Trisakti (Jakarta), Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Nasional (Jakarta), dan Gelanggang Remaja Jakarta.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Kering (1997), Embun Putih (1997), dan Nyayian Sunyi (2002). Selain terangkum dalam buku-buku itu, karya Edy pernah dimuat dalam antologi puisi Jung (DKL), Senandung Penyair Lampung (Festival Penyair Lampung), Cetik (DKL), dan Wajah (1997).
Sejalan dengan proses kepenyairannya, Edy juga menggeluti bidang teater. Tahun 1980, Edy mendirikan sebuah komunitas teater yang diberi nama Teater Kuman. Berbagai pementasan pernah disutradarai olehnya, seperti; “Gempa” karya B. Soelarto (1987), “Pijar-Pijar Krakatau” (1987), “Satu Lawan Sebelas” karya Alfred Hithcok (1988), “Rumah Kertas” karya N. Riantiarno (1998).
Sepuluh tahun kemudian, Edy Samudra Kertagama mendirikan Lembaga Deklamasi Lampung (LDL) bersama beberapa temannya. Lembaga Deklamasi Lampung didirikan atas dasar pembinaan seni untuk kalangan muda khususnya seni sastra. Metode baca puisi, diskusi-diskusi sastra, dan pengembangan sastra adalah acara rutin yang diselenggarakan oleh LDL.
Di samping itu, ia tidak hanya mengetuai LDL, tetapi beberapa organisasi kesenian maupun di luar kesenian, seperti tahun 1990, ia pernah menjabat ketua HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam) di Lampung, tahun 2001, ia menjabat Ketua komunitas seni Lampung (Jakarta-Lampung-Palembang), tahun 2002, ia menjadi staf pengajar seni SMAN 10 Bandarlampung, tahun 2003, menjadi Redaktur Pelaksana buletin Sastra dan Budaya, tahun 2005, ia mengajar Sebagai dosen lepas di Universitas Terbuka Lampung untuk mata kuliah seni musik, tari, dan drama, dan tahun 2006, ia menjadi Ketua Komunitas Sastra Mata Dunia di Lampung. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Koordinator bidang budaya di KNPI cabang Lampung pada kurun waktu 1992—1994. Ia juga pernah menjabat sebagai pengurus Dewan Kesenian Lampung tahun 2002—2004.
Sekitar tahun 1995 hingga 1998, banyak tulisan Edy yang dimuat di surat kabar nasional maupun daerah. Tulisan-tulisan Edy saat itu, banyak menyoroti dunia teater yang ia geluti, seperti yang dilansir Lampung Post, Rabu, 27 November 1996 dengan topik “Makyong: Cermin Umum Teater Rakyat”. Kesenian Makyong merupakan pertunjukan yang ditujukan bagi kalangan bangsawan di daerah Riau.
Kepedulian terhadap perkembangan teater di Lampung juga menjadi sasaran Edy untuk berbagi pengalaman. Hal ini tertuang dalam sebuah artikel yang dimuat di Lampung Post, 4 Januari 1997, berjudul “Menatap Wajah Teater Lampung Tahun 1997”. Dalam artikel tersebut, Edy mengatakan bahwa generasi muda teater Lampung saat ini banyak bermunculan, ibarat hujan yang datang saat musim panas. Menurut Edy, pada kurun waktu 1990 hingga 1997, usaha yang dilakukan generasi muda teater Lampung cukup banyak. Ironisnya, usaha mereka menjaga kesemarakan tersebut dilakukan dengan cara merogoh kocek sendiri. Tak sedikit pula pekerja teater yang harus berjalan kaki menuju tempat latihan.
Tanggapan atas proses kreatif Edy Samudra Kertagama dikemukan oleh Naim Emel Prahana melalui Lampung Ekspress, Senin, 30 Desember 2002. Menurut Naim, Edy dalam buku Nyanyian Sunyi yang diterbitkan oleh Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, tahun 2002, banyak menyoroti masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Gaya penulisan Edy yang keras, menukik tajam, dan berkesimpulan diperlihatkan dalam menulis puisi. Edy mencoba untuk menelanjangi arti kehidupan yang ada, berusaha memberikan kesadaran ke depan dari apa yang terjadi saat ini. Permasalah-permasalah itu dengan tegas diungkapkan Edy melalui puisi “Sajak Nyai Rossina”, “Perempuan di Cakrawala”, dan “Sajak Tuna Netra”.
Dalam puisi “Hutanku Luka”, ia menggambarkan betapa berkuasanya orang-orang yang mempunyai uang, jabatan, kedudukan, sampai kekuasaan, menginjak-nginjak orang-orang yang tak mempunyai status hebat, seperti yang tersirat pada bait berikut ini, “kaki kasar berjalan di atas rumput hijau // menggeleparlah rumput-rumput // batu terlempar dan kepalan tangan // merintihlah hewan di atasnya // matilah ia”.
Dalam puisi tersebut, Naim Emel Prahara melihat Edy sebagai sosok yang sangat objektif, riil dan alami memberikan gambaran kehidupan masyarakat pada saat ini, kemudian melalui keterampilannya menyusun dan menulis kosakata yang tidak sulit untuk ditebak, “asal” dan “muaranya”.
Puisi-puisi Edy memang sudah mempunyai ciri yang khas, format, cerita dan tujuan arah alam yang dimasukinya. Ciri yang demikian menurut Naim adalah milik para seniman murni, seniman yang dibesarkan berdasarkan hati nuraninya, semakin kental ia memasuki wilayah sosial, semakin kental pula kesadarannya untuk membela kaum yang lemah, seperti yang tertuang dalam puisi “Aku Kekasih Junaenah”.
Syaiful Irba Tanpaka, Bandarlampung News No. 34 Tahun 23—29 Januari 2003, menanggapi puisi “Plong” dan “Nyanyian Sunyi” karya Edy Samudra Kertagama. Manusia selalu memiliki harapan-harapan baru untuk mengaktualisasikan diri untuk memelihara dan mempertahankan daya kehidupannya. Menurut Syaiful, puisi-puisi Edy Samudra Kertagama tampil dengan tema yang bersahaja, pemilihan kata (diksi) cukup cermat, fenomena-fenonema sosial tentang tragedi kekerasan, ketidakadilan, dan nasib kaum marjinal yang terpinggirkan.
Dalam puisi kumpulan “Nyanyian Sunyi” yang diterbitkan Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, Edy belum menampakkan capaian puitik yang maksimal. Meskipun secara tematik cukup bersahaya dalam menyentuh realitas realitas kekerasan yang mengepung eksistensi perempuan. “Aku Kekasih Junaenah” dan “Tragedi Sapri” mengungkapkan maksudnya dalam bahasa denotatif, tapi pemilihan diksi lebih terjaga. Demikian pula idiom-idiom yang digunakan cukup membangun kekuatan isi dan pesan didalamnya.
Tanggapan Saiful Irba Tanpaka Dalam Buku Antologi Puisi Sajak-Sajak Embun Putih “Sajak Pendek Dengan Makna Yang Panjang”. Membaca sekumpulan sajak pendek Edy Samudra Kertagama dalam antologi Embun Putih, saya terngiang-ngiang akan tradisi haiku. Haiku adalah sebutan sajak-sajak pendek dalam khazanah sastra Jepang yang berkembang pada abad 17. Haiku merupakan gambaran totalitas pribadi seorang penyair sebagai buah kontemplasi terhadap berbagai persoalan kehidupan. Dengan biografinya sebagai penyair, Syaiful Irba Tanpaka meyakini bahwa Edy Samudra Kertagama mempunyai bekal yang cukup kuat untuk menulis sajak-sajak pendek. Dalam buku antologi puisi Embun Putih Edy Samudra Kertagama menyodorkan beragam tema yang bersahaja. Tema religius juga dihadirkan Edy Samudra Kertagama dalam “Malam”, “Hujan turun tengah malam / mata hitam mencari mangsa / namun, Tuhan melihatnya. Menikmati sajak-sajak Edy Samudra Kertagama dapat memperkaya wawasan kita mengenai keanekaragaman bentuk sajak itu sendiri. Berikut ini beberapa karya Edy Samudera Kertagama.
1. Puisi
1) Antologi Puisi Sajak-Sajak Pendek Embun Putih, Lembaga Deklamasi Lampung, Lampung, 1997.
2) Antologi kumpulan puisi Nyanyian Sunyi, Lambaga Advokasi Damar, Lampung, 2002.
3) Antologi kumpulan puisi Kering (1997).
4) Antologi puisi bersama Jung, Dewan Kesenian Lampung,
5) Antologi puisi bersama penyair Lampung Senandung Penyair Lampung (Festival Penyair Lampung).
6) Antologi bersama Cetik (DKL).
7) Antologi bersama Wajah (1997).
2. Pementasan Drama yang disutradarai Oleh Edy Samudra Kertagama
1) “Gempa” karya B. Soelarto (1987),
2) “Pijar-Pijar Krakatau” (1987),
3) “Satu Lawan Sebelas” karya Alfred Hithcok (1988),
4) “Rumah Kertas” karya N. Riantiarno (1998).
3. Esai
1) “Makyong: Cermin Umum Teater Lampung”, Lampung Post, Rabu 27 November 1996.
2) “Menatap Wajah Teater Lampung Tahun 1997”, Lampung Post, Sabtu 4 Januari 1997.
3) “Teater Kita Masih Seperti Sabun Mandi”, Lampung Post, Sabtu 1 Maret 1997.
4) “Hilang Lahan Teater, Hilang Lahan Kreativitas”, Lampung Post, Sabtu 17 Mei 1997.
Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm.44-50.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky
