
GERAKNYA tetap energik dalam 77 tahun usianya. Djafar H. Assegaff, wartawan senior Indonesia kelahiran Tanjungkarang, 12 Desember 1932, telah mewarnai pelbagai putaran zaman di negeri ini.
Sejak masih pelajar hingga usia kepala tujuh, ia mengabdi dalam dunia jurnalistik. Mantan Redaktur Politik harian Indonesia Raya (1956–1959) ini, kini menjadi anggota Dewan Redaksi harian Media Indonesia. Bagi Assegaff, tidak pernah ada kata pensiun untuk seorang wartawan.
Panjang sekali jejak yang dilalui suami Syifa Abdullah serta ayah dari lima anak (seorang meninggal) tersebut sejak dilahirkan di kawasan Kampungsawah, Tanjungkarang. Bukan semata jalur kewartawanan, beragam jalan telah dilewatinya. Djafar Assegaff terjun dalam kegiatan menulis sejak 1950-an saat tercatat sebagai siswa Sekolah Dagang Menengah di Jakarta.
“Dahulu saya tentara pelajar, sebelumnya aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Pejuang Lampung. Ketika sekolah di Jakarta jadi anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Ormas ini punya majalah Pemuda Masyarakat. Di sana saya belajar menulis artikel,” kata Assegaff. Kapan pensiun? Assegaff tertawa. “Tidak pernah ada kata pensiun untuk seorang wartawan.”
Lorong-lorong karier yang dilaluinya memang penuh tercetak prestasi yang nyaris tanpa padanan, khususnya dalam hal beralih tempat tugas. Djafar Assegaff pernah menjadi redaktur politik Indonesia Raya (1956–1959). Koran ini mati ditutup Bung Karno sehingga dia harus mencari tempat pijakan baru, diterima sebagai wakil pemimpin redaksi harian Abadi (1959–1960). Abadi juga dimatikan. Assegaff lantas menganggur.
Sesudah 12 tahun eksis sebagai wartawan, dan setelah Orde Baru menumbangkan Orde Lama, Assegaff kembali terjun ke media massa. Ini dilakukannya ketika Indonesia Raya diizinkan terbit kembali (1968), kali ini dalam posisi selaku redaktur pelaksana.
Tahun 1972 harian Suara Karya disegarkan. Ali Moertopo, dedengkot Golongan Karya, langsung menunjuk Assegaff sebagai pemimpin redaksi. Dua dasawarsa kemudian Assegaff tercatat menjadi pemimpin redaksi majalah Warta Ekonomi (1990–1993), sebelum kemudian menjejak kursi pemimpin redaksi Media Indonesia (1997–2001).
Dalam kasus Indonesia Raya (pertama) juga Abadi, jelas kedua koran ini dihentikan penerbitannya karena berseberangan dengan kebijakan penguasa. Bagaimana pengalaman di koran-koran lain?
“Saya masuk Suara Karya sesudah meminta izin kepada Mochtar Lubis, bos Indonesia Raya. Dia setuju dengan alasan pembaruan dunia politik Indonesia perlu, dan peluangnya masa itu memang hanya bisa lewat Golkar. Dalam perjalanan waktu Ali Moertopo meninggal, disusul pergantian pimpinan puncak di Golkar,” kata dia.
Pimpinan baru ternyata memberlakukan langkah de-Ali-Moertopoisasi, mereka yang dinilai pernah dekat dengan Pak Ali digeser, “Termasuk saya. Nama saya tetap tercantum sebagai pemimpin redaksi sampai 1983, sekadar memenuhi ketentuan surat izin terbit (SIT). Namun, sejak 1977 saya praktis berada di luar sebab pimpinan Golkar memerintahkan saya (hanya) aktif di PWI mendampingi Ketua PWI Harmoko.”
Persoalan yang akhir-akhir ini tampil sebagai perdebatan hangat dalam media adalah masalah editorial policy. Akar masalahnya adalah karena surat kabar sudah tumbuh menjadi sebuah industri besar. Juga, adanya kenyataan sebagian media telanjur dikuasai konglomerat atau kekuatan politik.
Mereka kemudian ingin menggunakan medianya untuk bisa berkampanye. Tujuannya, membela kepentingan bisnis atau politik tertentu; selain dipakai memukul lawan bisnis atau lawan politik sang pemilik media.
Menurut Assegaff, “… Redaksi serta wartawan bisa saja terancam kebebasannya dalam menyiarkan sesuatu berita akibat datangnya intervensi dari pemilik. Ini lebih terasa sebab bagi wartawan profesional, kredo mereka adalah keinginan mengabdi kepentingan publik. Di atas segala-galanya, seorang wartawan harus berjuang menegakkan kebenaran dan memenuhi hasrat rasa ingin tahu khalayak pembacanya.”
Kiprah Assegaff memang tidak hanya wartawan. Alumnus angkatan pertama jurusan publisistik Universitas Indonesia ini sejak tahun 1964 menjadi dosen di almamaternya. Dia kemudian diperbantukan di Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi (Koti) 1964–1968. Sebagaimana dia akui, “Pada masa-masa itulah saya mulai akrab dengan sejumlah tokoh militer, sebab di Koti setiap hari harus bergaul dengan mereka.”
Kedekatan inilah yang mungkin telah melapangkan jalan bagi Assegaff naik memimpin harian Suara Karya, di samping dipercaya ikut dalam kegiatan tim diplomasi non-Deplu. “Pertama, tahun 1970-an ke Eropa Barat dan Inggris, untuk meyakinkan pemerintah dan masyarakat setempat mengenai kebijakan baru Pemerintah Indonesia. Kemudian 1980-an ke Uni Soviet dan Eropa Timur, meyakinkan mereka apa alasan (waktu itu) Timor Timur harus dibebaskan dari penjajahan Portugal.”
Bukankah gaya diplomasi semacam itu potensial untuk mengacau jalur resmi? Assegaff menjawab, “Pernah ada seorang menteri luar negeri mengeluh, perumus kebijakan politik luar negeri Indonesia ternyata bukan hanya dia sendiri. Tapi saya justru yakin diplomasi dua jalur amat bermanfaat. Sebab, kami hanya ingin menunjang kebijakan resmi dan melakukannya demi membela kepentingan bangsa dan negara, nothing personal….”
Setiap pilihan akan selalu membuka sebuah wacana. Bagaimanapun, berkat pengalaman terlibat dalam kegiatan gaya diplomasi tersebut, tidak mengherankan apabila Djafar Assegaff kemudian bisa dipercaya menjabat dubes Republik Indonesia di Vietnam 1993–1997. Penghargaan sekaligus tugas negara yang sepantasnya memang dia peroleh.
Semangatnya, seperti juga daya ingatnya, tidak pernah luntur. Assegaff memberi inspirasi bagaimana kerja wartawan sesungguhnya mampu menembus ruang dan waktu. n
BIODATA
Nama: Djafar Husin Assegaff
Lahir: Tanjungkarang, Lampung, 12 Desember 1932
Agama: Islam
Istri: Syifa Abdullah
Anak:
1. Hasanudin (wartawan ®MDRV¯Kompas®MDNM¯), meninggal.
2. Soraya (50 tahun).
3. Andi Alwi, meninggal
4. Akhmad Rukny, 40 tahun
5. Muhamad Gazy
Pendidikan:
– Sekolah Dagang Menengah di Jakarta
– Jurusan Publisistik FISIP Universitas Indonesia (1964)
Pekerjaan:
– Redaktur Politik Harian Indonesia Raya (1956–1959)
– Wakil Pemimpin Redaksi Harian Abadi (1959–1960)
– Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi (Koti) (1964–1968)
– Managing Editor Indonesia Raya (1968)
– Pemimpin Redaksi Harian Suara Karya (1972–1990)
– Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi (1990–1983)
– Dubes Republik Indonesia di Vietnam (1993–1997)
– Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia (1997–2001)
– Wakil Pimpinan Umum Harian Media Indonesia 2002
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 104-107.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky