Djafar Assegaff Terus Berkarya Hingga Akhir Hayat

Djafar H Assegaff

LANGIT mendung mengiringi prosesi pemakaman tokoh pers nasional Djafar Assegaff, 81, di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin. Duka mendalam tersirat di bola mata ratusan pelayat yang setia mengantarkan jenazah hingga ke liang lahad.

Di balik kepedihan mendalam itu, terbetik sebuah kenangan terakhir yang ditinggalkan Djafar untuk bangsa ini, khususnya bagi para jurnalis muda, yakni buku berjudul Masa-Masa Kejayaan Soeharto (judul tentatif).

“Untuk menulis, butuh ketekunan dan kebenaran. Harus masuk hingga ke sel terdalam (sumber utama) untuk mencari informasi,” ujar Djafar dalam salah satu kesempatan semasa hidupnya.

Satu hal yang cukup memberikan semangat, yaitu hingga hari-hari terakhir hidupnya, Djafar tetap giat menulis. “Sebelum ayah meninggal, ayah sudah rampungkan sebuah buku yang mengupas tentang perjalanan masa keemasan mantan Presiden Soeharto. Semua sudah hampir selesai tinggal memasukan beberapa nama yang dianggap memberi motivasi, seperti Umi (Syfa Assegaf),” ujar putra bungsu almarhum, Mumahad Gazi, seusai pemakaman.

Dalam buku tersebut, Djafar yang juga menjabat Komisaris Utama Media Group berhasil menangkap peristiwa-peristiwa bersejarah saat Soeharto berkuasa di era Orde Baru. “Rencananya, 2.000 eksemplar akan diambil oleh Media Indonesia. Sudah terangkum, tinggal menunggu peluncuran saja,” jelasnya dengan berlinang air mata.

Ada duka mendalam dan ada isak tangis. Namun, kepergian Djafar menghadap Sang Khalik membuat keluarga tetap tabah. “Pengalaman terakhir dengan saya, saat ayah meminta saya mencukur jenggotnya. Memang, ayah selalu ingin kelihatan rapi,” ucap Gazi.

Pemilik nama lengkap Sayyid Djafar bin Husein bin Ahmad Assegaf itu menghembuskan napas terakhir di RS Mitra Kemayoran, Jakarta Pusat, pukul 05.00 akibat sakit usus buntu. Lelaki kelahiran Tanjung Karang, Lampung, 12 Desember 1932 itu meninggalkan satu istri, lima anak (dua di antaranya telah wafat), dan sembilan cucu.

Proses pemakaman secara militer dipimpin inspektur upacara Surya Paloh. Semua pelayat yang tampak larut dalam suasana duka setia mengantarkan sang ayah, opa, sahabat, dan guru itu ke tempat peristirahatan terakhir.

“Ini upacara kebesaran sebagai penghormatan dan penghargaan pemerintah atas jasa dan darma bakti almarhum,” ujar Surya Paloh saat memimpin upacara pemakanan yang dihadiri sejumlah tokoh politik dan media, antara lain Jacob Oetama dan Effendi Gazali itu.

Surya mengungkapkan kepergian almarhum tentu menimbulkan kepedihan mendalam. Sebab Djafar dikenal sebagai sosok yang merangkul berbagai kalangan usia. Selain itu, setiap yang dikerjakannya sangat bermanfaat bagi Tanah Air dan dilakukan dengan penuh semangat.

“Inilah old soldiers never dies. Energik sekali. Tidak pernah merasakan lelah untuk bangsa ini walaupun usianya sudah sepuh,” tutur Surya.

Hal senada juga diungkapkan Jacob Oetama. Dia mengenal Djafar sebagai wartawan yang mandiri dan berpengetahuan luas. “Dia friendly, tapi tidak suka tampil ke depan. Wartawan yang cukup kritis,” ungkapnya.

Di mata keluarga, almarhum dikenal sebagai sosok yang romantis dan penyayang. “Bapak itu sangat romantis dan penyayang,” ujar istri almarhum, Syfa Assegaf, di kediamannya di Jalan Munggang, Jakarta Timur.

Dia mengungkapkan sikap romantis itu telah ditunjukkan sejak berpacaran di tahun 1955. Dan hal itu terus dilakukan hingga akhir hayatnya. “Bapak rela balik lagi ke rumah karena belum mencium saya,” tutur Syfa sambil mengusap air mata.

Langit senja masih tetap mendung. Para pelayat mulai melangkah meninggalkan lokasi permakaman dengan sejuta kenangan. Selamat jalan tokoh pers nasional.

Sumber:
Media Indonesia, Kamis, 13 Juni 2013

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart