
KOPIAH “tinggi menjulang” menjadi khas Alamsyah Ratuprawiranegara (lahir di Kotabumi, Lampung 25 Desember 1925–wafat di Jakarta, 8 Januari 1998). Dalam Kabinet Pembangunan III (1978–1983) Alamsyah menjabat menteri agama dan dalam Kabinet Pembangunan IV (1983–1988) ia menjabat menteri koordinator bidang kesejahteran rakyat.
Alamsyah menempuh pendidikan dasarnya di Tanjungkarang kemudian melanjutkan di Lampung Gakuen (setingkat SMP) dan tamat SMA di Palembang.
Zaman Jepang, ia pendidikan militer (Gyu-Gun). Setelah kemerdekaan, Alamsyah ke India pendidikan ilmu kemiliteran di Senior Officer Course di Mhow dan melaju ke General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat.
Pangkat kemiliteran terakhirnya, sebelum menjadi anggota kabinet sebagai sekretaris negara adalah letnan jenderal. Alamsyah pernah menjabat duta besar Indonesia untuk Belanda 1972–1974. Setelah itu diangkat sebagai wakil ketua DPA. Karena terkena jantung koroner, Alamsyah operasi di Singapura pada 1989. Setelah KTT Non-Blok di Indonesia 1992, Alamsyah menjadi duta besar keliling Non-Blok untuk urusan Timur Tengah (1992–1995).
Setelah pensiun dari pemerintahan, Alamsyah memimpin perusahan yang bernama Perwira Penanggan Ratu dan menghabiskan waktunya di rumahnya di daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Pada 18 November 1997, Alamsyah terkena serangan asma dan sempat dirawat di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan, Jakarta, dan wafat, 8 Januari 1998, dan dimakamkan secara militer di Kalibata.
Kisah heroik Alamsyah diawali menjelang tuntasnya masa penjajahan Jepang setelah Negeri Sakura itu menyerah kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 yang disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan RI. Tiga hari setelah Proklamasi, pasukan Gyu-Gun Pagaralam dibubarkan dan mereka pulang ke kampung halaman masing-masing. Alamsyah pun pulang ke Lampung.
Namun, pimpinan militer kembali mengonsolidasikan kekuatan untuk melawan Jepang yang belum rela sepenuhnya meninggalkan Indonesia. Alamsyah kembali bertolak ke Sumatera Selatan.
Pada pertempuran lima hari di Kota Palembang, yakni pada 1–5 Juni 1947, Alamsyah telah memegang jabatan kepala pertahanan Komando Divisi II. Inilah masa paling berkesan dalam perjalanan militer Alamsyah. Berikutnya, ia ditempatkan sebagai pejabat Komandan Resimen 44.
Sebelum pecah Agresi II Belanda 21 Juli 1947 Belanda sering melancarkan infiltrasi antara lain di perairan Palembang dan Lampung. Pada waktu Agresi I Sumbagsel terdiri atas tiga front, yakni front kanan, tengah, dan kiri. Kapten Alamsyah membentuk dua pasukan istimewa di bawah Simanjuntak dan Amin Su’ud.
Kemudian, pada 1 Juli 1948 Divisi VIII Garuda direorganisasi menjadi Sub-Komandemen Sumsel yang terdiri dari Sub-Teritorial Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Palembang. Resimen 44 di Lampung diubah menjadi Batalion 12 yang selanjutnya berkedudukan di Tebing Tinggi, Palembang. Perjalanan ke Tebing Tinggi dipimpin Kapten Alamsyah melalui Bukit Barisan selama 40 hari. Sisa pasukan eks Resimen 44 di Lampung diurus Lettu Ryacudu, Letda Asnawi mangku Alam, dan Letda Nuh Macan. Komandan Batalion diserahkan ke Lettu Robanmi. Tidak lama kemudian, Kapten Alamsyah ditarik ke Lampung.
Belanda melanggar Perjanjian Renville dan melancarkan agresi kedua pada 19 Desember 1948 dengan menduduki Yogyakarta dan menawan para pemimpin RI. Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah kilat No.1/PB/D/48.
Sehari kemudian, Lampung menerima kabar pendudukan Belanda terhadap Yogyakarta lalu segera menggelar rapat di Lebakbudi yang dihadiri Komandan Sub-Teritorial Lampung Syamaun Gaharu, Residen Rukadi, Kombes Polisi Cik Agus, Wan Abdul Rahman, Mr.Gele Harun, dan Kapten Alamsyah yang mewakili Sub-Teritorial Palembang.
Rapat antara lain memutuskan terus berjuang mempertahankan Republik Indonesia. Pada 1 Januari, Belanda menyerang Lampung dari laut. Setelah membumihanguskan bangunan-bangunan vital di Tanjungkarang dan Telukbetung, pasukan RI menyingkir dari kota. Alamsyah ditarik ke Ogan Komering usai pertempuran sengit di Gedongtataan dan Gadingrejo.
Di daerah baru ini, pasukan Alamsyah bergabung dengan eks Resimen 44 di bawah pimpinan Lettu Ryacudu dan Letda Asnawi Mangku Alam. Sementara itu, pasukan Lettu Makmun Murod dan Lettu Animan Achyat bergabung kembali dengan induk pasukan di bawah Kapten Dhani Effendi di sektor Palembang Selatan.
Meskipun di beberapa medan pertempuran Belanda secara teoretis dikatakan menang, sesungguhnya posisinya makin sulit. Pasalnya, dalam menghadapi perang gerilya, daerah dan jalur yang harus dilewati Belanda makin luas dan panjang. Selain itu, pihak RI juga berjuang melalui jalur diplomasi dan makin mendapat simpati negara-negara sahabat.
Ketika pasukan Belanda berada dalam tekanan berat, Dewan Keamanan PBB akhirnya memutuskan untuk menghentian tembak-menembak dan mendorong terbentuknya Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat.
PBB membentuk United Nation Commission for Indonesia (UNCI) untuk mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Keamanan.
Pada 1 April 1949 tercapai persetujuan Roem-Royen dan tiga bulan kemudian diumumkan gencatan senjata dari Jakarta. Di Palembang, perundingan baru berlangsung tanggal 24 Agustus 1949, sedangkan gencatan senjata dimulai tanggal 15 Agustus 1949. Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, tentara kita memasuki kota dan menempati pos-pos yang dikuasai Belanda.
Untuk memantapkan pasukan dalam pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Staf Komando Brigade Sumatera Selatan (BSS) menyusun personalianya sebagai berikut: Komandan BSS Letkol Bambang Utoyo, Kepala Staf Mayor dr. Ibnu Sutowo, Wakastaf Mayor D. Kosasih, Operasi Kapten Alamsyah, Personalia Kapten Hutagalung, Intendans/Suplai Mayor Hasan Kassim, Peralatan Mayor Arief, Teknik Kapten Patiasina, Detasemen Staf Lettu M. Noer Nasution, Kesehatan Mayor dr. Nuswir, Perhubungan Kapten Kurkhi, Angkutan Lettu Mulyadi, dan CPM Kapten Yusuf. Sejak 1 Juli 1950 Brigade Sumatera Selatan berubah menjadi Tentara Teritorium II.
Pada 1948 setelah rera (rekonstruksi dan rasionalisasi) Alamsyah menjabat komandan Batalion XII dan STP. Sesudah pengakuan kedaulatan ia dipercaya sebagai kepala asisten operasi Brigade Sumatera Selatan (1949–1954). Kariernya terus melejit. Tahun 1954–1956 menjabat asisten I dilanjutkan kepala staf penguasa perang Sumatera Selatan (1956–1958). Pindah ke Bandung karier militernya naik menjadi perwira di Deputi I Menteri Panglima Angkatan Darat (1960–1963).
Kisah panjang perjalanan Alamsyah menorehkan catatan penting, tidak hanya bagi warga Lampung, juga bangsa Indonesia. Ia meninggalkan banyak kenangan dan harapan kepada generasi penerusnya; tentang keberanian, ketegasan, dan kearifan. Raganya kini telah menyatu dengan tanah, tetapi pejuang sejati tidak pernah mati. n
BIODATA
Nama: Letjen (Purn.) Alamsyah Ratuprawiranegara
Lahir: Penagan Ratu, Kotabumi, Lampung Utara, 25 Desember 1925
Meninggal dunia di Jakarta pada Kamis, 8 Januari 1998,
pukul 09.00, di Rumah Sakit MMC, dan dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata
Istri: Siti Maemunah Alamsjah
Anak: Lima
Cucu: 12
Pendidikan
– SR Tanjungkarang, 1941
– SMP (Lampung Gakuen) Tanjungkarang, 1943
– SMA Palembang, 1952
– Fakultas Hukum dan IPK Universitas Indonesia, Jakarta (1963–1964)
Pendidikan Militer
– Pendidikan Perwira Gyu-Gun (Gyu-Gun Kanboe), 1943
– Senior Officers Course, Infantry School, Mhow, India, 1958
– U.S. Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat, 1962
Karier Militer
– Letnan Dua (Gyu-Gun), zaman pendudukan Jepang, 1943–1945
– Wakil Ketua BPKR Lampung Utara, 1945–1946
– Instruktur Sekolah Cadet Vebum, Palembang, 1946–1947
– Kepala Staf Pertahanan Divisi II, 1947
– Pejabat Kepala Staf Divisi II, 1947
– Pejabat Komandan Resimen 44/Gerilya, 1947–1948
– Letnan Satu, Komandan Batalion XII, 1948
– Komandan S3TP, 1948
– Asisten II Staf Operasi Brigade Sumatera Selatan, 1949–1953
– Kapten, Komandan KMKB Palembang, 1953–1954
– Mayor, Asisten I Staf TT II, 1954–1956
– Kepala Staf Penguasa Perang Sumatera Selatan, 1956–1958
– Kepala Staf Kodam II Sriwijaya, 1958–1959
– Letnan Kolonel, Perwira Diperbantukan kepada KOPLAT Bandung, 1959–1960
– Perwira Diperbantukan kepada Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat, 1960–1963
– Kolonel, Wakil Asisten VII Menteri/Panglima Angkatan Darat, 1963–1964
– Brigadir Jenderal, Asisten VII Menteri/Panglima Angkatan Darat, 1964–1966
– Mayor Jenderal, Deputi Khusus Menteri/Panglima Angkatan Darat, 1967–1968
– Letnan Jenderal TNI AD, 1972
Karier Sipil
– Koordinator Staf Pribadi Pejabat Presiden, Ketua Presidium Kabinet, 1966–1968
– Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1968–1972
– Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, 1972–1974
– Anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1975–1977
– Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, 1977–1978
– Menteri Agama Republik Indonesia, 1978–1983
– Diangkat menjadi anggota MPR 1982–1987
– Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 1983–1988
– Diangkat kembali menjadi anggota MPR, 1987–1992
– Diangkat kembali untuk ketiga kalinya menjadi anggota MPR, 1992–1997
– Duta Besar Keliling Republik Indonesia untuk Wilayah Asia dan Timur Tengah, 1992–1995
Tanda Jasa Dalam Negeri
1. Bintang Gerilya
2. Bintang Sewindu
3. GOM IV (1957)
4. GOM V
5. GOM VII
6. Satyalancana Perang Kemerdekaan I (1958)
7. Satyalancana Perang Kemerdekaan II (1958)
8. Satyalancana Satya Bhakti
9. Satyalancana Sapta Marga
10. Satyalancana Penegak (1967)
11. Bintang Dharma Jaya (1968)
12. Satyalancana Kesetiaan XXIV.
13. Bintang Jalasena Pratama (1973)
14. Satyalancana Setia Dharma
15. Satyalancana Wiradharma
16. Bintang Mahaputra kelas III
17. Bintang Kartika Eka Paksi
18. Bintang Mahaputra kelas II (1982)
Tanda Jasa Luar Negeri
1. Sikatuna (Lakan), Filipina (1967)
2. Panglima Setia Mahkota, Malaysia (1970)
3. Orde van Oranye Nassau, Belanda (1970)
4. Grand Cross II, Jerman Barat (1971)
5. The Grand Cordon of the Order of the Star Honour, Etiopia (1972)
6. Civil Award of Hilal-i-Pakistan, Pakistan (1986)
7. The Grand Cordon of the Order of Al-Kawkab Al-Urduni, Yordani (1987).
8. Grand Officer de L’ordre National du Merite, Prancis (1987)
9. The Grand Cordon of the Order of the Sacred Treasure, Jepang (1988)
Organisasi
– Anggota pendiri dan Pengawas Yayasan Harapan Kita, 1969
– Anggota Dewan Pembina Golkar, 1978–1988
– Anggota Presidium Harian Dewan Pembina Golkar, 1983–1988
– Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pusat Studi dan Pengembangan Islam, Jakarta, yang menaungi TK, SD dan SMP Amaliah, Masjid Amaliah dan Universitas Djuanda di Ciawi, Bogor, 1983
– Ketua Majelis Pertimbangan dan Pengawasan Organisasi SOKSI, 1983
– Pendiri dan Wakil Ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, 1983
– Pelindung Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Tribakti, Kediri, 1985
– Ketua Dewan Pembina Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Jakarta, 1985
– Pelindung Yayasan Pendidikan Pembangunan Islam (YPPI) Palembang, 1986
– Penasihat Agung Institut Agama Islam (IAI) Cipasung, Tasikmalaya, 1986
– Ketua Dewan Penyantun Universitas Islam Assafi’iyah, Jakarta, 1987
– Ketua Dewan Penyantun Universitas Djuanda, Bogor, 1987
– Pinisepuh Dewan Pimpinan Pusat Golkar, 1988
– Ketua Dewan Penyantun IAIN Raden Fatah, Palembang, 1988
– Ketua Pembina Badan Koordinasi Masyarakat Sumatera Bagian Selatan di Jakarta, 1988
– Ketua Dewan Penyantun IAIN Raden Intan, Lampung, 1991
– Penasihat Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI), 1991–1995
– Ketua Dewan Penyantun Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, 1993
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 59-62.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky