![]() |
Farida Ariyani |
MEDIO September 1998, suasana baru mewarnai dinamika lingkungan kampus Universitas Lampung (Unila). Riuh percakapan antarmahasiswa terdengar berbeda dari biasanya. Mereka bertutur menggunakan logat yang tidak mirip sama sekali dengan logat Betawi meski saat itu menjadi tren di kalangan mahasiswa.
Mereka memilih menggunakan bahasa Lampung, bahasa ibu dengan logat khas ketika melafalkan kata berhuruf /r/. Bukan tanpa sebab, pada tahun itu Unila baru saja membuka Jurusan Bahasa Lampung. Sebanyak 800 orang mendaftar di jurusan baru tersebut.
Namun, kini telah menjadi kenangan bagi Farida Ariyani. “Saat itulah bahasa Lampung menggeliat di kalangan masyarakat kampus,” ujar Farida mengenang.
Farida mengaku bangga ketika bahasa Lampung digunakan banyak mahasiswa, khususnya mahasiswa bahasa Lampung di lingkungan kampus. Apa yang telah dirinya perjuangkan bersama dengan beberapa rekannya bisa menjadi kenyataan. Perjuangan untuk tetap menjaga bahasa ibu yang saat itu mulai ditinggalkan.
Saat itu Farida adalah dosen di Jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah di Fakultas Keguraun dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila. Bersama beberapa dosen, Farida merumuskan pendirian Jurusan Bahasa Lampung.
“Saat itu kami lembur sampai tiga malam untuk merumuskan proposal pembentukan jurusan,” kata dia, sambil menunjukkan satu ruangan di kediamannya yang dahulu dipakai.
Sampai akhirnya Farida mempresentasikan proposalnya tersebut di hadapan rektor, anggota senat, dan dekan. “Saat itu Rektor Unila Muhajir Utomo,” ujar dia.
Akhirnya, Jurusan Bahasa Lampung terbentuk. Saat itu Farida diminta menjadi ketua jurusan. Dengan semangat berkobarnya untuk terus mengembangkan jurusan baru tersebut, Farida sempat kaget ketika mendapatkan sebuah undangan. “Waktu itu saya diundang oleh Pak Sjachroedin ke Jakarta saat beliau masih bertugas di Markas Besar Polri.”
Farida sebenarnya merasa waswas dengan undangan tersebut. Akan tetapi, akhirnya dirinya paham. Saat itu Sjachroedin mengajaknya untuk menggagas sebuah seminar pertama tentang bahasa Lampung. Tema seminar adalah Menyongsong punahnya bahasa Lampung.
Hal ini sempat menjadi kekhawatiran para tokoh adat dan masyarakat. Bukan tanpa sebab, saat itu Hasyim Gunawan, yang juga dosen Universitas Indonesia, membuat sebuah disertasi tentang kepunahan orang Lampung dan dipublikasikan di Belanda.
Farida dilibatkan karena waktu itu dirinya dianggap mewakili akademisi yang konsentrasi terhadap pelestarian bahasa daerah meskipun dirinya bukan asli suku Lampung.
Tulis Kamus Bahasa Lampung
Perjalanan putri keempat dari sepuluh bersaudara ini untuk bergelut dengan bidang akademik dan pengajaran bahasa Lampung sempat terhenti. Sejak awal 2000, dirinya hijrah dan tinggal di Way Kanan, sebuah kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara.
“Saat itu saya harus mendampingi suami menjalankan tugas sebagai sekretaris kabupaten di Way Kanan,” kata dia, saat ditemui di kediamannya beberapa hari lalu.
Namun, kegiatan barunya tersebut tidak menghalangi semangatnya untuk terus bergelut mencari berbagai cara agar bahasa Lampung tetap lestari.
Di Way Kanan, yang mayoritas penduduknya bersuku Lampung, Farida menulis sebuah Kamus Bahasa Daerah Lampung dialek Way Kanan. Karya yang menjadikan bahasa daerah tersebut tidak pernah akan hilang.
Di daerah tersebut juga Farida aktif membina masyarakat, khususnya para ibu, untuk mengembangkan budaya Lampung. “Sampai enggak ada yang tahu sebenarnya saya asli Surabaya,” kata dia, dengan logat Jawa yang dibuatnya disertai tawa.
Hingga kabar yang cukup membuatnya tersentak terjadi. Sore itu usai menjalankan tugas sebagai ketua II tim penggerak PKK di Way Kanan, Farida menyempatkan membaca koran di rumah dinas yang dirinya dan sang suami tempati. “Saya kaget, saat itu ada berita bahwa Jurusan Bahasa Lampung ditutup.”
Tanpa buang waktu, Farida saat itu mengaku langsung mengonfirmasi berita tersebut kepada dekan FKIP. Setelah mendapatkan penjelasan penutupan tersebut adalah sementara, Farida mengaku lebih lega. “Bagaimana tidak sedih, saya merintis jurusan itu dari awal,” ujar dia.
Farida menjelaskan saat itu penutupan dilakukan karena sudah banyak lulusan Jurusan Bahasa Lampung, tetapi kuota untuk pengangkatan pegawai belum begitu banyak. Belum ada kesepakatan antara universitas dan pemerintah daerah. Selain itu, juga jurusan D-3 juga untuk FKIP memang dihilangkan karena guru harus menempuh jenjang S-1.
Hingga penganugerahan gelar doktor itu berlangsung, 28 Januari 2014, di sebuah gedung Universitas Padjajaran Bandung, rektor Unila beserta dekan dan para kolega menjadi saksi pengukuhan Farida sebagai doktor linguistik.
Tidak jauh dari panggang. Disertasinya lagi-lagi tentang bahasa Lampung yang sudah sejak awal berusaha dirinya selami. Seorang ibu yang terus berjuang demi bahasa ibunya. Farida teguh akan prinsipnya.
Di mana bumi dipijak di situ langit dipandang. Kata-kata yang sengaja dirinya ubah tanpa mengubah makna untuk mencintai Sai Bumi Ruwa Jurai, tempat dirinya lahir dan dibesarkan.
Perjuangkan Jurusan Bahasa Lampung
Farida Ariyani memiliki keyakinan besar, bahasa Lampung tidaklah akan punah. Keyakinan yang mungkin menurut sebagian besar orang menjadi sebaliknya.
Namun, Farida tidak berbicara tanpa dasar. Dirinya mengungkapkan salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), suatu suku akan mudah mengalami kepunahan dalam berbahasanya, kecuali suku suku yang memiliki aksara.
Hal tersebutlah yang menjadi motivasi Farida berkeyakinan bahasa Lampung akan tetap terjaga, jika semua masyarakatnya juga menjaganya. “Kami harus berbangga karena Lampung termasuk dari delapan suku yang memiliki aksara di nusantara,” ujar pengisi program Pandai Cawa di RRI Lampung ini.
Menurut Farida, peran bahasa daerah sangatlah penting sebagai pembawa identitas suku bangsa selain dari pakaian adat dan bentuk rumah. Oleh karena itu, semua masyarakat yang tinggal di Lampung tanpa memandang apakah suku asli ataupun pendatang harus belajar dan berusaha untuk menggunakannya dalam percakapan. Pasalnya, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan daerah.
Menurut dia, kebudayaan daerah tidak boleh dihilangkan. “Kami harus pertahankan bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan Lampung, seperti Islam mempertahankan Alquran,” ujar dia.
Baginya adat budaya adalah pegangan hidup masyarakat itu sendiri untuk tetap dapat melanjutkan hidup.
Farida mengaku sedikit lega dan makin semangat untuk terus fokus dengan pengembangan bahasa Lampung. Kini, perjuangannya akan kembali dimulai karena beberapa waktu lalu Farida mengikuti pertemuan antara dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unila dan pihak pemerintah daerah.
“Pak dekan telah menyatakan siap untuk kembali membuka program S-1 Pendidikan Bahasa Lampung dan pemerintah juga sudah siap,” ujar dia.
Berkat Sang Ibu
Pringsewu akhir 1971. Sore itu Farida kecil tengah bersantai bersama sang ibu. Aktivitas inilah yang ia lakukan setelah seharian belajar di SD Islam Pesantren K.H. Ghalib. Melihat jam menunjukan angka lima sore, Farida pun bergegas mengajak sang ibu mencari daun pisang.
“Waktu itu saya ingin membeli lambangsari buatan tetangga bukan dengan uang, melainkan menukarnya dengan daun pisang,” ujar Farida.
Dengan menyeka air mata yang perlahan mengalir di pipinya, Farida mengungkapkan kisahnya bersama sang ibu. “Saat itu tanpa sengaja pisau yang dikaitkan di kayu sewaktu mengambil daun terlepas dan mengenai kepala ibu.”
Namun, masih beruntung sang ibu masih bisa tertolong meskipun kepalanya sempat terluka dan berdarah. Sementara Farida mengaku dimarahi sang kakak.
Keadaan tersebutlah yang menurut Farida membuatnya dapat menjadi seperti sekarang. Farida bukanlah dari keluarga yang berada. Meskipun orang tuanya masih termasuk salah satu keponakan K.H. Ghalib, pendiri pesantren di daerah Pringsewu, akan tetapi setelah berkeluarga sang ayah memutuskan untuk pindah. Meninggalkan rumah di pesantren yang sebenarnya cukup layak dan mewah.
Saat itu Farida masih kelas VI SD. Di sebuah rumah berdinding bilik, Farida dan tiga kakaknya dibesarkan. Belajar hanya dengan menggunakan lampu teplok sebagai penerangan. Tidak ada lantai marmer pengganti tanah kasar lantai rumahnya. “Namun, di sanalah saya belajar tentang kehidupan.”
Sang ayah yang juga imam masjid tidak pernah absen untuk mengajaknya ke masjid dan menimba ilmu agama di pesantren. Aktivitas tambahan juga wajib Farida lakukan. “Menggulung dan menggelar tikar masjid,” kata dia.
Hingga Farida tumbuh dan dewasa. Saat itu Farida sangat ingin menjadi guru dan bersekolah di sekolah pendidikan guru (SPG). Meskipun mulanya orang tua melarang, tetapi Farida akhirnya dapat meyakinkan.
Hingga perjalanan hidup membawanya menjadi orang yang kerap menjadi penggagas dan pelopor berbagai kegiatan, termasuk menggagas Jurusan Bahasa Lampung dan pelopor berbagai program kemasyarakatan di daerah Way Kanan, mendampingi tugas Bustam Hadori, sang suami.
“Mungkin inisiatif sewaktu saya kecil itulah yang sampai saat ini masih tertanam pada diri saya,” ujar Farida. (S1)
BIODATA
Nama : Dr. Farida Ariyani, M.Pd.
Kelahiran : Pringsewu, 14 Desember 1960
Agama : Islam
Suami : Ir. Bustam Hadori, M.M.
Anak :
1. Dr. Nurul Azizah Bustam
2. Kania Anindita Bustam
3. Hadyan Arifin Bustam
4. Fauziyah Paramita Bustam
5. Maskuri Abdilah Bustam
Pekerjaan : Dosen Bahasa dan Seni FKIP Universitas Lampung
Alamat : Jalan Hayam Wuruk No. 57 Bandar Lampung
Pendidikan:
1. SD Islam Pesantren K.H. Gholib Pringsewu, lulus 1971
2. SMP Islam Pesantren K.H. Gholib Pringsewu, lulus 1974
3. SPG Negeri Pringsewu, lulus 1977
4. S-1 Bahasa Indonesia dan Daerah FKIP Unila, lulus 1982
5. S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang, lulus 1997
6. Program Doktor Fakultas Ilmu Budaya Unpad, lulus 2014
Buku:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988
2. Kamus Bahasa Indonesia–Lampung (Dialek A), 1999
3. Kamus Dwibahasa Lampung–Indonesia, 2009
4. Kamus Dwibahasa Indonesia-Lampung, 2013
5. Buku Saku Percakapan Sehari-hari Bahasa Lampung, 2013
Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Senin, 24 Februari 2014
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky