Cinta Sang Antropolog Berlabuh di Lampung

Bartoven Vivit Irsan  

TERLAHIR dari keluarga yang memiliki kesadaran pendidikan tinggi,
terlebih ayahnya berprofesi sebagai dosen dan ibunya guru sekolah dasar
(SD) di Sumatera Barat, membuat dia menutup mata terhadap profesi yang lain, selain pendidik.

Profesi yang memang dari dahulu dia impikan untuk bisa mengabdikan diri
kepada negeri ini, membuka cakrawala kehidupannya untuk aktif dalam
memajukan budaya Lampung. Perempuan satu ini pun berperan aktif sebagai
antropolog yang bertanggung jawab tentang budaya di tanah harapan yang
telah dia jalankan selama 8 tahun.

Bartoven Vivit Nurdin, begitu namanya. Dia semula hidup di ranah Minang
35 tahun lalu. Dia merupakan sosok yang biasa dengan prestasi biasa
juga. Ketika Vivit masuk SD PPSP di Padang pada 1989, dia hanya mampu
mendapatkan peringkat 10 besar di kelas.

“Saya itu biasa saja, prestasi juga biasa-biasa saja. Tapi, saya punya
tekad yang kuat akan cita-cita,” kata perempuan yang akrab disapa Bu
Vivit oleh mahasiswanya.

Lulus dari SMA Negeri 8 Padang pada 1994, niatnya melanjutkan pendidikan
di salah satu perguruan tinggi negeri di Padang, memacunya belajar
lebih giat. Dua kali mengikuti tes ujian masuk perguruan tinggi negeri
(UMPTN) saat itu. Akhirnya, membuat dia tertahan di Jurusan Antropologi
Universitas Andalas (Unand) yang sama sekali tidak pernah dia pikirkan
sebelumnya.

“Saya enggak pernah terpikir masuk antropologi waktu itu, dua kali ikut
UMPTN dulu, pilihan saya selalu teknik. Makanya, sampai sekarang saya
kagum sekali dengan orang eksak,” kata ibu dari Audrey ini dengan
senyum.

Memasuki
jurusan yang bukan prioritas utamanya, membuat dia tidak menyerah
dengan keadaan. Pada 1998, ketika dia berhasil meraih gelar sarjana
antropologi, Vivit memulai hidup dengan berkarier dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain, sampai akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan studi
magisternya di Universitas Indonesia (UI).

“Dulu saya berpikir, kalau lulus S-1 antropologi susah mencari
pekerjaan. Tapi, karena dahulu saya ingin sekali menjadi dosen, akhirnya
saya putuskan untuk melanjutkan S-2 di UI,” kata dia.

Memperoleh gelar magister sains di 2001, Vivit berkeinginan melanjutkan
pendidikan doktor di universitas yang sama, hingga akhirnya dia berhasil
meraih beasiswa Sasakawa Nippon Foundation dan lulus sebagai doctor of
philosophy pada 2006.

“Saya dulu tidak pernah berpikir kalau dulu berani sekali kuliah jauh.
Baru sadar betapa beraninya saya dari Padang ke Jakarta sendirian.
Padahal, saya anak perempuan sendiri di rumah. Bagi orang Minangkabau
anak perempuan itu sangat berharga. Sama halnya anak lelaki sulung di
Lampung.”

Tapi, karena dia selalu ingat pesan ayahnya, kalau mau maju jangan di
kampung terus, lihat negerimu dari negeri orang. Maka kamu akan tahu
betapa luasnya dunia ini. “Artinya, wawasan kita harus luas, jangan
seperti katak dalam tempurung, di atas langit masih ada langit. Kita
hebat sekarang, masih ada yang lebih hebat, hidup jangan sombong,” kata
perempuan wanita berkacamata ini, mengenang pesan ayahnya.

Anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bucharinurdin dan Darislen ini
menceritakan betapa perjuangan kerasnya ketika masih mengenyam
pendidikan di UI, Jakarta. “Kampus saya dulu masih di Salemba. Dulu,
indekos saya memprihatinkan dari tripleks. Saya kan bukan anak babe,
yang ke mana-mana banyak fasilitas. Jadi, saya harus benar-benar gigih
dalam mengejar cita-cita. Apalagi kuliah di Jakarta,” kata dia.

Tertarik Budaya Lampung

Tahun
2004, jodoh mempertemukannya dengan pria asal Lampung bernama Irsan
Idris, yang akhirnya menikahinya pada 2005. Mau tidak mau, Vivit harus
tinggal di tanah lada ini.

Dia bahkan sempat berpikir dan ragu untuk menjalankan hidup di Lampung.
Tapi, suaminya meyakinkan provinsi ini memiliki perguruan tinggi negeri,
tempat beliau sekarang mengabdi sebagai dosen. Sejak itu dia mulai
tertarik dengan budaya Lampung, daerah yang tidak semua orang mengkaji
tentang ini.

“Masyarakat di luar sana tahunya Lampung itu Palembang. Tahunya Lampung
itu dekat Jawa sehingga saya jadi tertarik untuk belajar lebih banyak
tentang Lampung,” kata Vivit.

Seorang antropolog, dia merasa jauh lebih objektif ketika belajar budaya
lain. Mungkin saja, orang Minangkabau tahu budayanya, tapi dia tidak
bisa menilai. Untuk itu, antropologi mempelajari budaya orang lain.

“Ternyata ada budaya Lampung. Budaya itu harta kekayaan kita. Sekalipun
terlalu banyak kontroversi dan terbatasnya referensi tentang asal-usul
orang Lampung, tapi itu tantangannya sehingga saya lebih banyak mencari
data di lapangan melalui wawancara tentang Lampung di masa lalu,” kata
dia.

Vivit pun mulai mengelompokkan suku-suku di Lampung, macam dan ragamnya,
dan budaya Lampung lainnya sehingga wajar kalau untuk riset yang
dilakukan menghabiskan waktu satu tahun untuk satu kabupaten. “Karena
kita bukan melalui pendekatan historis. Kalau historis pengkajiannya
lebih ke material (arkeologi). Antropologi lebih kepada aspek perilaku,
budaya, dan apa yang ada sekarang, seperti kearifan lokal yang bisa
memajukan Lampung,” kata Vivit.

Menurut dia, antropologi lebih banyak mengamati bagaimana peristiwa
tersebut ditempatkan pada konteks sosial yang lebih luas. Bagaimana
suatu kejadian diletakkan oleh subjek yang menyaksikan kejadian itu.

Lazimnya, mengkaji tentang lembaga, pranata, dan sistem yang semuanya
diterangkan secara lebih jelas. Yang harus diungkapkan bahwa struktur
itu adalah produk dari suatu perkembangan di masa lampau.

Dia juga menjelaskan Lampung mempunyai konsep untuk menangani konflik
yang sebenarnya tidak perlu mengambil konsep dari luar. Seperti konsep
pengangkatan saudara (muakhi), anak tua sebagai pengayom, kearifan lokal
yang bisa diteladani, atau tradisi berladang ngumo. “Yaitu, membuka
lahan melalui ritual-ritual tertentu yang mengajarkan kita, sebenarnya
etnik Lampung memiliki pengetahuan khusus untuk merawat alam.”

Lampung juga mempunyai filosofi bagaimana mengelola dan merawat
lingkungannya. “Tidak sembarangan dan punya aturan khusus. Rangkaian
ngumo itu menunjukkan bagaimana memanfaatkan hutan sambil merawatnya.
Pengetahuan lokal yang arif seperti inilah yang seharusnya terus
dikembangkan,” kata dia.

Jual Lampung ke Internasional

Pada 2009, dosen di Unila yang memiliki hobi travelling ini juga
mempresentasikan tentang budaya Lampung di Universitas Peking, Beijing,
yang disponsori Nippon Foundation. Selain itu juga di Malaysia pada 2010
dan Thailand pada 2012.

“Membawa budaya Lampung ke level-level internasional itu yang bisa saya
perbuat. Karena, menurut saya budaya itu modal sosial, dan saya sangat
interest dan belum terlambat belajar tentang budaya Lampung,” kata
Vivit.

Dosen sosiologi FISIP Unila yang mempunyai mimpi punya buku tentang
Lampung ini mengatakan dalam seminar-seminar tersebut dia menjelaskan
tentang kearifan lokal. “Orang Lampung mempunyai ketahananan pangan.
Banyak hal soal sosial yang bisa terselesaikan. Budaya Lampung bisa
menjadi pemimpin Asia. Itu yang saya jual,” kata dia.

Dia juga menuturkan tidak ada suatu bangsa yang meninggalkan budayanya
dan tidak ada bangsa yang maju dengan meninggalkan budayanya. Jepang,
contohnya, apa saja merek produk hasil pabriknya selalu menggunakan
nama-nama yang masih berbau Jepang. Salah satu permasalahannya saat ini,
generasi muda kini menganggap adat itu ribet sehingga mereka cenderung
mencari yang simpel dan cenderung dengan ketidakjelasan.

Padahal, kalau kita memahami adat dengan benar, adat itu adalah hal-hal
biasa dalam hidup kita. Adat itu tidak kuno, dia berada sepanjang masa,
banyak hal-hal baik yang bisa kita ambil. “Nilainya yang kita ambil
bukan simbolnya. Misalnya, etos kerja, etika, bukan berarti kita harus
pakai tapis sepanjang hari,” kata Vivit.

Saat masih menjabat sebagai ketua Pusat Studi Budaya Unila, beberapa
kegiatan telah dia lakukan, seperti membuat film dokumenter tentang
Lampung. Selain itu, mengkaji tentang makanan khas Lampung yang berasal
dari ikan, mempelajari tapis, ngumo, serta seminar-seminar tentang
pengetahuan lokal dan kearifan lokal.

Wanita asal Padang yang masih terus belajar tentang budaya Lampung ini
pun berharap agar menjadikan budaya itu modal dasar untuk maju, tanpa
meninggalkannya. “Ambil nilainya tanpa kita mengambil konsep dari luar,
tapi dari Lampung yang kita kembangkan. Lampung itu heterogen. Kita
harus punya deteksi rentan dengan kearifan lokal sehingga jangan
meninggalkan budaya. Budaya Lampung adalah modal sosial untuk kemajuan
Lampung, dan tidak ada suku bangsa meninggalkan budaya, terus dia
menjadi maju,” kata Vivit. (KARLINA APRIMSYITA/S-3)

BIODATA

Nama : Dr. Bartoven Vivit Nurdin
Tempat/tanggal Lahir : Padang, 1 April 1977
Suami : Irsan Idris
Anak : Audrey Huvaira Irsan (6)
Pekerjaan : Dosen Sosiologi Universitas Lampung

Organisasi :
– SYLFF (Sasakawa Young Leaders Fellowship)
– ADS (Asian Dialogue Society)
– BABA Building a better asia

Karya Terpublikasi :
– Budaya Makan Ibu Hamil Penderita Gizi Buruk (Konferensi Sains dan Teknologi National, Unila, 2007).
– Ritual-Ritual dalam Tradisi Ngumo: Kearifan Lokal Masyarakat Adat
Lampung Pepadun dalam Memelihara Hutan (Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan, Juli 2008).
– Perempuan dalam Mitos Matrilineal (Universitas Udayana, Bali, 2002).

Sumber: 
Inspirasi, Lampung Post, Sabtu, 23 Maret 2013

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart