Oyos Saroso HN.: Guru, Wartawan yang Juga Sastrawan

Oyos Saroso HN
LELAKI kalem ini lahir 16 Maret 1969 di Desa Sawit, sebuah desa kecil di Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Ketidaksukaannya pada dunia keguruan justru mengantarkannya pada dunia sastra yang digelutinya selama ini.

Bungsu dari lima bersaudara ini dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang menjadi abdi negara. Putra dari pasangan Hardjo Karsono dan Nuk Sastro Dihardjo ini pun diharapkan keluarganya dapat meneruskan langkah mereka. Ayahnya M.H.K. Hardjo Karsono saat itu adalah seorang lurah di Desa Sawit. Kakak tertuanya, Dachlan H.N., berprofesi pula sebagai lurah di desa kelahirannya. Sudjoko, kakak keduanya, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Sri Suparti H.N., saudara perempuan satu-satunya, bekerja sebagai guru negeri di Jawa Tengah.

Karena berlatar belakang keluarga seperti itulah, setelah lulus dari SMPN 2 Brebes, kakak perempuannya memaksa Oyos untuk meneruskan sekolah ke SPG dengan harapan setelah lulus nanti dia akan menjadi guru. Namun, Oyos tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Saat itu, yang ada di angannya adalah meneruskan sekolah ke SPMA dan berharap dapat menjadi insinyur pertanian.

Di luar harapannya untuk menjadi insinyur pertanian, Oyos tidak ingin menentang dan membantah keinginan keluarganya. Oyos akhirnya mengikuti kemauan orang tuanya untuk masuk SPG. Kemudian, Oyos melanjutkan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta-UNJ).

Ia memulai profesi jurnalistik sejak 1991, yaitu sejak tulisannya berupa opini dan esai budaya sering dimuat di media massa cetak terbitan Jakarta. Dia merasa benar-benar menjadi jurnalis ketika diterima menjadi wartawan Lampung Post pada 1996.

“Saya ditugaskan di kantor Lampung Post biro Jakarta. Bertugas di Jakarta memungkinkan saya tetap bisa bergaul dengan habitat seniman. Selain sebagai jurnalis, saya juga produktif menulis puisi dan esai budaya untuk media selain Lampung Post,” kata dia.

Ketika ditugaskan ke Lampung pada 1997, cakrawala Oyos tentang kehidupan bertambah. Dia kemudian mengenal dunia NGO. Itu terutama terjadi pada 1999, tepatnya menjelang pemilihan presiden. Nalurinya sebagai jurnalis ketika itu mengatakan bahwa Pemilu 1999 sangat rawan.

Para jurnalis harus dibangkitkan kesadarannya agar tidak hanya menjadi tukang menulis berita dan meminta informasi dari panitia pelaksana pemilu atau lembaga pemantau pemilu. “Maka, saya kemudian mengajak kawan-kawan jurnalis di Lampung untuk membentuk Jaringan Jurnalis Pemantau Pemilu (JJPP).”

Sebagai jurnalis baru yang datang dari Jakarta, ketika itu saya sangat senang karena sebagian besar jurnalis di Lampung (baik yang senior maupun junior) mendukung saya. JJPP ketika itu sukses mengawal Pemilu 1999. JJPP kemudian mencatatkan diri sebagai cikal bakal atau kawah candradimuka terbentuknya beberapa lembaga baru. Misalnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, Komite Antikorupsi (Koak), dan Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (Pussbik). Para pendiri lembaga-lembaga itu sebagian besar adalah aktivis JJPP.

Sejak 2002, dia resmi menjadi koresponden harian The Jakarta Post. Tetapi, dia sebenarnya adalah seorang pengacara (pengangguran banyak acara). Selain tetap membantu AJI Bandar Lampung, dia tercatat sebagai anggota Majelis Pertimbangan Organisasi AJI Pusat, konsultan media, dan akhir-akhir ini mengajar Bahasa Indonesia di FISIP Unila.

“Mengajar saya niatkan sebagai kegiatan ibadah atau penebus dosa saya yang terlalu lama tidak mempraktikkan ilmu saya sebagai guru,” kata Oyos merendah.

Saat ini Oyos juga sedang merintis sebuah koperasi bersama alumni teater di kampus UNJ. Ini adalah koperasi padat sumber daya manusia (bukan padat modal). Anggotanya adalah para alumni teater yang dulu dia dirikan di kampus UNJ yang kini sudah tersebar di beberapa daerah di Indonesia.

Menulis Puisi dan Berteater

SELEPAS dari SPG, Oyos ditawari kakaknya untuk menjadi guru di sebuah SD. Tapi, karena pada dasarnya Oyos tidak pernah bercita-cita menjadi guru, dia menolak permintaan kakaknya itu. Diam-diam Oyos berkeinginan menjadi sastrawan dan pada 1988 Oyos melanjutkan pendidikan ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

“Di UNJ sebenarnya saya ditawari menjadi dosen. Tapi, saya tolak, karena saya waktu itu mulai mencintai dunia jurnalis dan sastra,” kata dia kemarin.

Berbekal minat yang besar terhadap sastra, Oyos mendapat tempat pelarian, yaitu dengan cara aktif di teater, baik teater kampus maupun luar kampus. Bersama teman-teman kuliahnya, Oyos membentuk sebuah kelompok teater mahasiswa, yang diberi nama Teater Zat. Teater ini masih tetap aktif hingga kini dan dikelola oleh mahasiswa-mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNJ.

Melalui Teater Zat, Oyos mengasah kepekaan dan minatnya terhadap sastra, khususnya teater. Oleh karena itu, tidaklah heran jika pertunjukan teater yang digelar di berbagai tempat (seperti Taman Ismail Marzuki, Teater Utan Kayu, dan komunitas sastra lainnya) menjadi santapan Oyos dan kawan-kawannya sehari-hari. Kebiasaan baru inilah yang membuat Oyos, yang saat itu tinggal bersama sepupunya, mulai merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk mencoba hidup sendiri.

Saat di Jakarta, Oyos lebih giat mengikuti beberapa pertemuan sastra di komunitas-komunitas sastra di Jakarta. Lama-kelamaan setelah banyak membaca dan berdiskusi, Oyos merasa bagian-bagian di otaknya menjadi penuh.

Banyak hal menumpuk di otaknya, mulai dari masalah sastra, sosial, politik, puisi, dan peristiwa lain. Berpijak pada masalah-masalah yang terpendam di otaknya tersebut, Oyos mulai berpikir ingin menjadi penulis dan sejak saat itulah Oyos akhirnya memutuskan untuk menekuni dunia tulis-menulis dengan lebih serius.

Beralih dari dunia teater, pada 1993 mulai mengaplikasikan ilmu dan hobi menulisnya dengan bekerja di Pertamina sebagai editor bahasa. Di samping itu, hobinya berpuisi pun kembali dilakoninya. Berbagai puisinya sering menghiasi rubrik di berbagai media massa. Kemudian, iseng-iseng Oyos mengirimkan hasil meditasinya yang berbentuk puisi ke panitia Lomba Cipta Puisi Sanggar Minum Kopi Bali (SMKB) di Denpasar.

Beberapa bulan kemudian, Oyos memperoleh informasi dari berita di sejumlah media massa bahwa puisinya yang berjudul Ekstase Kematian masuk 10 besar puisi terbaik versi SMKB.

Kemenangan puisi Ekstase Kematian di Bali menjadi awal kebangkitan minat Oyos untuk terus menulis puisi dan memublikasikannya di sejumlah media. Sejak itu, dia senantiasa bersemangat dan rajin mengirimkan puisi ke Republika dan Media Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, dia lebih sering menulis esai sastra.

Oyos mengakui bahwa menulis puisi dan esai seperti berebut dan bersaing dengan teman seangkatannya, Nurzain Hae dan Iwan Gunadi. Mereka saling berlomba mengaktualisasikan diri lewat puisi dan esai. Tak jarang isi diskusi mereka bertiga bersama teman-teman lain tiba-tiba muncul di media massa dalam bentuk esai atas nama Oyos Saroso, Nurzain Hae, dan Iwan Gunadi.

Kisah Cintanya Dipengaruhi Puisi

OYOS Saroso sendiri pun pernah memiliki sebuah kelompok diskusi yang diberi nama Kelompok Dialog Atas Angin. Penamaan ini tidak lain karena mereka memang tidak memiliki tempat diskusi yang tetap, artinya mereka bisa berdiskusi di mana dan kapan saja.

Di luar kampus, mereka bertiga (Oyos, Nurzain, dan Iwan) sama-sama menjadi inisiator terbentuknya Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Hingga kini, rekan Oyos yang masih bergiat di komunitas tersebut adalah Iwan Gunadi.

Tahun 1996, setelah menyelesaikan pendidikan di IKIP Jakarta, Oyos mulai menekuni profesi barunya sebagai wartawan, sebuah profesi yang tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya sejak kecil hingga remaja. Profesi ini pula yang membawa langkah Oyos menuju Pulau Sumatera, tepatnya Lampung. Di Lampung ini Oyos mencoba peruntungannya menjadi wartawan di harian Lampung Post dan menjalani profesi ini selama tiga tahun (1996-1999).

Bagi Oyos, menghasilkan sebuah puisi adalah menciptakan sebuah musikalitas dan kehidupan ini merupakan puisi yang kaya akan musikalitas.

Sementara, menulis adalah mengungkapkan segala sesuatu yang diketahuinya secara pasti dan dekat dengan dirinya.

Bahkan, menurut Oyos, dia hanya akan menghasilkan puisi romantis ketika dia betul-betul sedang jatuh cinta. Sebuah perasaan sekaligus peristiwa yang maknanya sangat universal dan sakral bagi Oyos. Dia juga mengakui bahwa kisah cinta dengan istrinya sedikit banyak dipengaruhi oleh puisinya.

Istri Oyos, Mas Alina, adalah seorang muli Lampung, lulusan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Berkenalan ketika Oyos menjadi wartawan Lampung Post dan Mas Alina saat itu pun berprofesi sebagai wartawan di media yang sama. Perkenalan mereka dilanjutkan ke jenjang pernikahan pada 1998. Dari pernikahan Oyos dengan Mas Alina, kini telah melahirkan sepasang putra dan putri.

Tidak berhenti sampai di sini, Oyos terus menekuni karier di bidang jurnalistik dengan menjadi wartawan di Trans Sumatera dari 1999 hingga 2001. Terakhir, dia mengabdikan diri sebagai wartawan The Jakarta Post dari 2001 hingga 2005. Oyos juga tercatat sebagai salah seorang yang turut memprakarsai terbentuknya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, dan kemudian dipercaya untuk memimpin komunitas ini selama satu periode.

Di pentas sastra nasional, nama Oyos juga telah diakui. Namanya ditulis dalam Leksikon Susastra Indonesia (Rampan: 2000, 344). Di samping itu, karya-karyanya terkumpul dalam berbagai antologi bersama, di antaranya Batas Diam Matahari (1996), Rahasia Sebatang Lidi (1996), Titik Diam di Mata Karmin (1996), dan Penyair Ujung Pulau (2002). (LUKMAN HAKIM/S-1)

BIODATA

Nama              : Oyos Saroso H.N.
Tempat/tanggal Lahir : Purworejo (Jawa Tengah), 16 Maret 1969
Agama              : Islam
Alamat : Jalan Dewi Sartika No. 76A, Bandar Lampung
Ayah : M.H.K. Hardjo Karsono
Ibu : Nuk Sastro Diharjo
Istri : Mas Alina Arifin
Anak :
1. Maulana Hanif Ananditya Ning Prabandaru (SMP)
2. Lintang Sabrang Kumala Ning Ratih (SD)
3. Pandu Satrio Muhammad (alm.)

Pendidikan:
– SD Banyuurip, Purworejo (Jateng) 1982
– SMP Pusponegoro Brebes (Jateng) 1985
– SPG Negeri Brebes (1988)
– Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
– Program Ekstensi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

Karya-Karya
Puisi :
– Sanggar Minum Kopi Bali (1993)
Dari Bumi Lada (1997)
Angkatan 2000 dalam Kesusasteraan Indonesia (2001)
Membaca Dunia (1991)
Ekstase Kematian (1993)
Orasi Perjalanan (1993)
Megatruh (1996), Juli (1996)
Amnesia 1 dan Amnesia 2 (2004).

Naskah Teater :
– Yang Berumah di Atas Angin dipentaskan di Teater Arena, Taman Ismail Maszuki, akhir Desember 1995.

Riwayat Organisasi:
– Pendiri Jaringan Jurnalis Pemantau Pemilu (JJPP) Lampung (1999)
– Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung (Maret 2001-Maret 2003)
– Pengurus AJI Indonesia (Jakarta, Oktober 2003-Oktober 2005)
– Koordinator Gerakan Jangan Pilih Politisi Busuk (GJPPB) Lampung, Januari 2004-Januari 2005
– Pengurus Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI, 2007-2010)

Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Kamis, 7 Februari 2013

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart