Belasan Panggung Raray dalam Usia Sebelas

NAMANYA Rarai Masae Soca Wening Ati. Di panggung lakon Nyai Ontosoroh yang megah, beberapa waktu lalu, bocah 11 tahun ini tak canggung. Memainkan perannya sebagai May Maraise bersama para senior di Teater Satu, Raray tampak sejajar. Dengan lantang ia ucapkan dialog-dialognya dalam bahasa Prancis.

Rarai Masae Soca Wening Ati (IST)

Putri tunggal pasangan Iswadi Pratama dan Imas Sobariah ini adalah pemain paling belia di Teater Satu. Jika tampak terampil di atas panggung, itu lumrah. Sebab, sejak usia dua setengah tahun ia telah terbiasa mengikuti aktivitas kedua orang tuanya di berbagai ajang pementasan teater di Tanah Air.

Rarai telah mencicipi belasan panggung teater di Indonesia. Di Teater Utan Kayu, Teater Salihara, The Japan Foundation, Gedung Graha Bhakti, dan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, Gedung Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Societet The Harmonie Yogyakarta dan Makassar, Lembaga Indonesia Prancis Yogyakarta, Gedung Kesenian Pekanbaru, dan lain-lain.

Dari sekian banyak perjalanan pentasnya itu, Rarai mengaku paling berkesan dengan pementasan Nyai Ontosoroh, adaptasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang disutradarai sang ibu. Juga di pementasan Aruk Gugat karya dan sutradara Iswadi Pratama.

Bahkan, menurut sang bapak, Rarai sudah minta dilibatkan menjadi pemain sejak usia 3 tahun. “Ketika itu, Teater Satu mementaskan lakon Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Dia merengek mau ikut main lantaran ada peran anak dalam naskah itu. Tapi itu enggak mungkin, soalnya naskah itu masih terlalu berat buat dia,” kata Iswadi.

Mengapa merengek? Rarai hanya tertawa dan bilang, “Kalau aku enggak minta, Bapak enggak pernah nawari. Alasannya, takut aku kecapean. Ya, jadi aku maksa. Habis asyik sih Om. Maen teater itu seru, apalagi kalau bagus dan dapat aplaus penonton. Rasanya seneng banget,” ujar Raray.

Masalah pelajaran di sekolah, Rarai mengaku tak pernah kerepotan meskipun aktivitasnya cukup banyak. “Aku juga pernah ikut klub model dan pernah dapat juara favorit, ikut kursus biola, ikut kursus balet, dan ikut bimbingan belajar,” kata Rarai yang sejak masih di play group tak pernah dipatok jadwal belajar oleh orang tuanya.

“Bapak dan ibu selalu bilang, kalau mau pinter dan maju harus belajar. Mereka tak pernah melarang aku ikut kegiatan macem-macem selama bisa membagi waktu. Jadi, kalau nilai pelajaranku jelek, aku sendiri yang harus tanggung risikonya.”

Saat ini, Rarai masih aktif di berbagai kegiatan. Ia ikut latihan di Teater Satu, kursus bahasa Inggris, mengaji, dan melatih kemampuannya menulis puisi. “Pulang sekolah aku langsung ikut bimbel. Pulang bimbel, aku istirahat atau main sebentar dengan temen-temen, terus ikut latihan Teater Satu. Malemnya, sebelum buka-buka pelajaran sekolah, aku privat ngaji dengan Om Jayen (salah seorang aktor Teater Satu, red). Habis ngaji, baru belajar. Dan kalau belum ngantuk aku buka-buka buku cerita, novel, atau nonton TV, atau nulis puisi,” kata Rarai.

Dalam usianya yang baru 11 tahun, Rarai sudah khatam membaca novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, dua kumpulan cerita pendek terbaik Kompas, beberapa buku kumpulan puisi karya Pablo Neruda, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, buku puisi Isbedy Stiawan Z.S., dan banyak lagi. “Enggak semua buku yang kubaca itu aku mudeng. Banyak juga yang berat. Tapi kata Bapak, enggak apa-apa, enggak harus ngerti isinya. Anggep aja ngelancarin bahasa Indonesia.”

Rarai juga pernah menyabet juara II lomba cipta puisi yang diadakan Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2009. “Waktu itu, aku masih kelas III. Yang ikut lomba anak-anak SD kelas V dan VI. Aku daftar atas kemauan sendiri, bukan sekolah. Alhamdulillah, dapet juara,” kata Rarai.

Menulis puisi dan cerpen sudah dilakukan Rarai sejak kelas II sekolah dasar. “Bapak enggak pernah ngajarin. Jadi, aku suka nguping kalau Bapak sedang kasih pelajaran menulis sastra sama siapa saja yang datang ke rumah,” kata Raray.

Menurut sang ayah, Rarai juga sering memberi kritik jika ada sesuatu yang tidak pas di hatinya. “Yang paling sering dia mengkritik ekspresi saya sehari-hari. Begitu dia lihat wajah saya tegang, dia langsung bilang ‘Pak, Senyum’. Jadi keliatan cerah dunia ini…,” kata Iswadi tertawa.

Saat usia 9 tahun, Rarai juga pernah membuat kaget Ibu Lisabona, mantan Konsulat RI di Portugal. “Waktu itu ada bazar buku di Jakarta, kami habis pertunjukan di Teater Utan Kayu. Rarai diajak belanja buku oleh Ibu Lisa. Dan dia memilih beberapa novel sastra, di antaranya Jatuhnya Sang Imam karya Nawal El Saadawi. Ibu Lisa langsung menemui saya dan bertanya, apa novel-novel seperti itu dibaca Rarai? Saya bilang ya, dia sudah biasa.”

Meskipun banyak terlibat di Teater Satu yang notabene dilakukan oleh orang-orang dewasa, Rarai tetap tak kehilangan dunia anak-anaknya. Sehari-hari ia tetap bermain bersama teman-teman sebayanya. Melatih mereka menyanyi, menari, membantu teman-temannya bikin Facebook, e-mail, menggambar, bergaya bak foto model. (IYAR JARKASIH/M-1)

Sumber:
Inspirasi, Lampung Post, Minggu, 27 Februari 2011

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart