
Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Putri pasangan H. Syarifuddin Umar dan Hj. Nurlela diberi nama lengkap Inggit Putria Marga. Kedua orang tuanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota Bandarlampung.
Anak kedua dari tiga bersaudara ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN 1 Pahoman tahun 1993, SMPN 3 Tanjungkarang tahun 1996, dan lulus SMUN 10 Tanjungkarang pada tahun 1999. Terakhir, ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Holtikultura Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan lulus pada Maret 2005.
Inggit adalah putri satu-satunya, sementara kakak dan adiknya adalah laki-laki. Tidak heran jika kemudian Inggit tumbuh menjadi seorang gadis yang sedikit tomboy. Meskipun demikian, ia tidak ubahnya seperti anak-anak perempuan pada umumnya.
Ketertarikan Inggit pada dunia sastra sudah terlihat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia menggemari Siti Nurbaya karya Marah Roesli dan Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Ketika ia di bangku Sekolah Menengah Umum, sekitar tahun 1999, ia menunjukkan ketertarikan terhadap puisi. Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono saat itu menjadi inspirasi Inggit dalam menulis. Menurut Inggit, karya-karya Sapardi merupakan pembebasan kata-kata dari makna. Setiap kata yang muncul pada setiap bait puisi Sapardi terlepas dari makna yang melingkupinya. Hal inilah yang kemudian dilakukan Inggit dalam setiap karyanya dan menjadi ciri khas dalam karya Inggit.
Matsuo Basho, Octavio Paz, dan Pablo Neruda merupakan beberapa penyair internasional yang sajak-sajaknya dikagumi oleh gadis bersuku Palembang ini. Di samping itu, Inggit pun mengidolakan Goenawan Mohammad dan penyair-penyair lokal Lampung seperti Ari Pahala Hutabarat dan Iswadi Pratama yang merupakan senior sekaligus guru bagi Inggit. Mereka berdua adalah orang-orang yang banyak memberi motivasi dan kritikan pada Inggit. Mereka pula yang senantiasa memacu semangat Inggit untuk terus kreatif dalam berkarya sehingga menjadikan Inggit seorang penyair wanita yang cukup produktif di Lampung.
Selain menulis puisi, kebiasaan lain yang dilakukan Inggit adalah menanam dan menyiram bunga. Kegemaran inilah yang kemudian menyeret langkahnya untuk kuliah di jurusan Holtikultura Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Di bangku kuliah pula ia mulai aktif bergelut dalam dunia kesusastraan. Untuk terus mengembangkan minat dan bakat sastranya, Inggit bergabung dengan Unit Kesenian Mahasiswa Bahasa dan Seni (UKMBS) di Unila.
Proses kreatif tentu tak akan pernah lepas dari perjalanan hidup seorang sastrawan, dari masa kanak-kanak hingga beranjak dewasa. Begitu pula halnya dengan Inggit. Pengalaman-pengalaman kehidupan pribadinya yang berupa pengamatan dan mungkin pencurahan perasaan banyak ia tuangkan dalam setiap sajak yang ia tulis. Dengan kata lain, puisi-puisi Inggit banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta lingkungan di sekitarnya. Ia menemukan inspirasi kapan dan di mana saja. Artinya tidak ada waktu khusus untuk menulis dan menggali ide, semua tercurah secara spontan apa adanya. Menurutnya, puisi bukan sekedar mengandalkan daya imajinasi yang dimuntahkan lewat kata-kata tetapi lebih merupakan sekumpulan energi yang dipengaruhi oleh panca indera atau bahkan oleh indera keenam manusia. Sebagai manusia yang menjalani serta menghayati hidup dan kehidupannya, ia menjalani dan menikmati setiap proses kreatif dalam bersastra.
Perkembangan karir Inggit dalam sastra berlangsung normal dan biasa saja karena menurutnya apa yang telah ia peroleh merupakan hasil dari proses kreatif penulisan puisinya. Tidak ada hal yang istimewa dan juga tidak terlalu sepele untuk dibahas. Proses kreatif yang ia alami berlangsung alamiah, artinya ia tidak terlalu memaksakan diri menemukan sebuah ide untuk menulis sebuah puisi, semua dibiarkan berjalan apa adanya. Let it flows like a stream of water!
Sebagai seorang remaja yang beranjak dewasa, tentu ada teman atau sahabat yang dengan setia mendengar keluh kesahnya. Meski demikian, tidak semua masalah yang ada dalam dirinya layak dijadikan konsumsi umum karena baginya hal tersebut bukanlah sesuatu yang signifikan untuk diungkapkan. Secara lugas ia menyatakan dirinya sebagai orang yang tidak terlalu menyukai pengelompokkan tipe-tipe manusia karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama dan tidak perlu ada pengkastaan atau stratifikasi yang hanya membuat kesenjangan.
Gadis berzodiak Leo ini mempunyai hobi membaca dan bergaul. Ia banyak membaca buku-buku sastra dan bergaul dengan banyak orang, khususnya orang-orang yang bergelut di bidang sastra. Menurutnya, menjalin pergaulan yang luas dan universal, aktif melakukan diskusi, mempelajari hal-hal spiritual, dan musik merupakan media untuk menjalankan proses kreatif. “Seperti kita tahu, kita tidak dapat menemukan inspirasi, tetapi kita yang ditemukan oleh inspirasi.” Prinsip seperti itulah yang diyakininya sebagai proses pembelajaran hidup dengan media sastra. Hal ini pula yang ia sebut dengan menjalani hidup apa adanya.
Kegiatan bersastra, khususnya puisi memang merupakan hobi Inggit. Namun baginya yang juga menekuni dunia tanaman, sastra bukanlah segala-galanya. Sastra hanyalah salah satu di antara cara-cara dirinya menikmati hidup dan kehidupan yang sarat dengan segala kemungkinan. Setiap individu yang mendalami suatu bidang pasti didorong oleh motivasi, baik dari dalam maupun dari luar diri individu tersebut. Ada sesuatu yang menarik sehingga individu itu mau melakukan hal tersebut, dalam hal ini bersastra.
Hal yang sama juga dialami oleh Inggit. Menurutnya ada sesuatu yang menarik dirinya untuk menulis puisi meski ia tidak bisa menjelaskan secara rinci karena menurutnya hal tersebut bersifat subjektif dan relatif. Namun yang pasti, dengan menulis puisi bisa membuatnya bekerja dengan melibatkan pikiran dan hati secara maksimal. Baginya, bekerja dalam bidang apapun membutuhkan totalitas, keseriusan, dan tanggung jawab yang tinggi untuk mencapai hasil maksimal dan memuaskan.
Banyaknya sastrawan Lampung yang berhasil menembus media nasional merupakan hal yang sangat menggembirakan dan menjadi angin segar bagi kehidupan dan kontinuitas kesastraan di Lampung. Menurut Inggit hal ini biasa dan wajar saja dalam setiap proses kehidupan sastra. Ada fase tertentu yang membawa sebuah karya itu mencapai puncak keemasannya, ada pula fase sebuah karya mengalami keterpurukan. Ini merupakan konsekuensi dari sebuah proses.
Partisipasi Inggit dalam mengembangkan sastra daerah Lampung, yang konon hampir punah, memang tidak terlalu intens. Ia bahkan tidak tahu sejauh mana dirinya berperan serta dalam usaha pengembangan tersebut, mengingat ia bukanlah orang Lampung asli. Namun, ia menyadari telah dilahirkan dan dibesarkan di kota Tanjungkarang, Bandarlampung sehingga ia merasa memunyai tanggung jawab untuk ikut berpartisipasi dalam rangka mengembangkan sastra yang ada di Bandarlampung. Dengan kata lain, Inggit yang merupakan salah satu ikon sastrawan Lampung, juga memunyai inisiatif untuk berpartisipasi, seperti berbagi pengalaman melalui acara-acara kesastraan dalam bentuk workshop atau pelatihan, yang tentu saja ada kaitannya dengan puisi. Ia sering mengikuti kegiatan bedah sastra, keluh kesah puisi, diskusi, dan workshop di UKMBS Unila yang diprakarsai oleh Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, dan Ahmad Julden Erwin. Melalui kegiatan inilah, ia semakin tergugah untuk berkarya.
Bagi Inggit setiap kegiatan yang tujuannya membedah sastra merupakan lahan untuk terus belajar menjadi lebih baik dalam menghasilkan suatu karya yang bermutu dan mengandung nilai moral sekaligus seni untuk bisa dibagi dengan khalayak umum. Hal tersebut merupakan kebanggaan tersendiri baginya, dan dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan kreativitas pribadinya dalam bersastra, juga sebagai masukkan bagi para pemerhati sastra yang pada akhirnya dapat memunculkan sebuah kritik sastra. Ketidakpuasan merupakan hal yang sangat manusiawi dan menjadi motivator berkembangnya pola pikir individu. Dengan cepat merasa puas berarti kreativitas individu dapat cepat pula mati dan mengalami ketumpulan ekspresi. Namun dengan tidak cepat merasa puas, keyakinan akan bakat dan kemampuan yang dimiliki menjadi suatu kekuatan dan energi untuk tetap menulis. Keyakinan itu pun akan tetap bersemayam di sanubari. Hal inilah yang terus dilakukan Inggit. Ia sangat terbuka dengan kritik-kritik konstruktif terhadap karya-karyanya.
Setiap hasil karya yang dihasilkannya menjaring banyak asumsi dari orang di sekitarnya. Seperti puisinya yang berjudul “Raung”, menceritakan tentang keadaan kota Tanjungkarang, kota kelahirannya yang menurutnya sudah kehilangan identitas asli daerah. Puisi ini pula yang membawa nama Inggit dikenal di kalangan penyair lokal Lampung karena menang dalam Lomba Cipta Puisi Tentang Tanjungkarang. Hal ini sangat disyukuri Inggit karena karyanya bisa diterima masyarakat.
Puisi-puisi karyanya sempat menjuarai berbagai ajang kompetisi di bidang seni, antara lain juara kedua Krakatau Award tahun 2004 dan Lomba Cipta Puisi pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) 2004. Puisinya yang lain juga dipublikasikan di berbagai media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indoneisa, Lampung Post, Trans Sumatera, dan lain-lain.
Setelah menyelesaikan kuliah, kegiatan Inggit benar-benar total dalam dunia kesenian. Selain menjadi pengurus di Dewan Kesenian lampung, ia pun juga bergabung dalam sebuah komunitas sastra, yaitu Komunitas Berkat Yakin yang diketuai Ari Pahala Hutabarat. Inggit pernah diundang dalam acara International Literary Biennale 2005 yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu pimpinan Sitok Srengenge. Acara yang bertajuk Living Together dan dihadiri oleh penyair dari berbagai negara ini mendaulat Inggit untuk membacakan sajak-sajaknya, seperti Mata Rempah, Senja dan Sedikit Perkiraan Tentangnya, dan Tangan Langit. Tanggal 13 s.d. 15 September 2005, Dewan Kesenian Jakarta mengundang Inggit dan tujuh orang penyair Lampung lainnya untuk menghadiri acara Cakrawala Sastra Indonesia yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Hal ini menunjukkan bahwa karya-karyanya dapat diterima dan diperhitungkan di kalangan sastrawan, baik pada skala lokal, nasional, maupun internasional. Bahkan profilnya telah dimasukkan dalam Leksikon Seniman Lampung. Hal ini merupakan paradigma sekaligus tantangan dalam karir dan kehidupan Inggit untuk tetap eksis menulis dan menghasilkan karya-karya yang segar.
Selama ia menjalani kuliah di Fakultas Pertanian, banyak kosakata bidang pertanian yang juga memengaruhi setiap tumpahan kata dalam puisi-puisinya. Baginya tidak ada hal yang tidak saling berhubungan di dunia ini. Oleh karena itulah, ia menyatakan akan tetap berkesenian dan sekaligus mengembangkan ilmu botani yang pernah ia pelajari. Layaknya seorang anak manusia yang terlahir dengan berbagai cita dan angan, Inggit pun memiliki impian yang ingin diraih dalam hidupnya. Saat ini, Inggit tengah mengolah beberapa hektar lahan untuk usaha budidaya tanaman jahe yang menurutnya memiliki prospek sangat cerah di masa depan. Sementara dalam bidang seni dan sastra, ia ingin terus eksis menulis puisi atau genre sastra lain dan selalu berkarya seperti para maestro dunia. Berikut ini sebagian karyanya.
1) “Ekstase Suri”, 5 September 2002.
2) “Bulir Akhir”, “Maghrib Di Lembang Percik dan Senandung”, dan “Kelebat Seteru” (Maret 2003), Media Indonesia, 23 Maret 2003.
3) Antologi Puisi Gerimis dalam Lain Versi, Logung Pustaka, Dewan Kesenian Lampung, April 2005.
4) “Isi Kepala Rumput” (Antologi Puisi), April 2004.
5) “Tak Ada Riak Daun Berluruhan” (Antologi Puisi), 28 Mei 2004.
6) “Raung” (Antologi Puisi), Mei-Juni 2004.
7) Gerimis Dalam Lain Versi, Logung Pustaka-DKL, 2005.
8) “Hujan Di Pasar Malam dan Melihat Awan Di Jalan”, Koran Tempo, 10 Juli 2005.
9) “Wahyu Sepasang Hujan”, “Penakluk”, dan “Penunggu” (Juli 2005), Kompas, 14 Agustus 2005.
10) “Morass dan Sosok Udara Dan Hujan Jumat” dan “Usia Batang Tebu”, Februari 2005.
11) “Samadhi”, “Hujan Di Lautan”, “Hujan Di Pasar Malam”, “Hujan Di Luar Dapur”, “Hujan Di Pekarangan”, dan “Hujan Di Taman”, April 2005.
12) “Tangan Langit dan Melihat Awan Di Jalan”, Mei 2005.
Sumber:
Agus Sri Danardana dkk. 2008. Ensiklopedia Sastra Lampung. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Hlm. 53-59.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky
