Solfian Akhmad (1932-1998): Mullah Pers Lampung

SEBAGAI orang pers, karier Solfian Akhmad tergolong sempurna. Mulai jabatan pemimpin redaksi, pemimpin umum, hingga ketua organisasi kewartawanan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pernah dia raih.

Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia, menjulukinya “Mullah Pers Lampung”. Pandangan Rosihan, keuletan dan visi jurnalistik Solfian menegakkan fondasi kehidupan pers di Lampung membuatnya layak mendapat gelar itu.

Maka, sewaktu Bang Sol–panggilan akrabnya di kalangan pers–meninggal pada 2 Mei 1998, Lampung Post pun menuliskan beritanya di halaman depan dengan judul: Mullah Pers Lampung Telah Berpulang. PWI Lampung pun menamai sekretariatnya sebagai Gedung H. Solfian Akhmad.

Sebutan mullah bagi Bang Sol dianggap sebagian orang terlalu agung. Tapi, Lampung Post menilai mullah bisa juga berarti cendekiawan (Kamus Bahasa Indonesia). “Siapa bisa menyangkal Bang Sol sebagai cendekiawan di Lampung,” kata Syamsul Nasution, Redaktur Pelaksana Lampung Post, saat memberi judul berita itu.

Darah jurnalis sudah mengaliri tubuh Solfian ketika masih SMP di Lampung. Ia suka menulis dan memotret. Kemudian ia ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan SMA. Lulus, ia langsung terjun ke dunia pers.

Bang Sol mengawali karier sebagai juru foto IPHOS di Jakarta. Dari situ ia menjadi wartawan harian Pemandangan, Jakarta, milik Anwar Tjokroaminoto (1955–1959) dan harian Suluh Indonesia, Jakarta (1959–1960).

Ketika bekerja di pers nasional, ia menyimpan obsesi memiliki koran sendiri. Maka, selain tulis-menulis, dia pun mempelajari seluk-beluk percetakan. Impiannya memiliki koran sendiri akhirnya terwujud setelah menikah dengan Lindriyati (1959) dan memutuskan tinggal di Lampung.

Awalnya, anak ketiga dari delapan bersaudara ini menerbitkan Rajabasa Post. Di situ Solfian mengepalai redaksi sekaligus sebagai pemimpin umum. Ia gigih menjaga agar korannya eksis.

Di surat kabar mingguan itu ia didik anak-anak muda Lampung yang tertarik menjadi wartawan. Dia seperti ayah bagi wartawan muda dan bawahannya. “Bagi saya, semua orang adalah saudara,” kata Bang Sol.

Obsesi

Menerbitkan koran pada masa itu tidak bisa semata bergantung pada idealisme, tapi juga rentetan kerja keras. Tugas pewarta tidak sebatas meliput dan menuliskan berita, tapi juga memasarkan dan menjual iklan. Maka, jadilah setiap wartawan merangkap tenaga marketing.

Kurun 1960–1965, tiap penerbitan pers sedang mencari jati diri. Ada persaingan antara kelompok wartawan berhaluan kanan dan kiri. Solfian yang bercita-cita menerbitkan koran daerah yang mandiri dan berwawasan nasional, menepis gelombang PKI yang mengincar dunia kewartawanan itu karena dianggap sangat strategis.

Atas sikapnya yang tegas menolak ideologi komunis, PWI Pusat kemudian menganugerahi Solfian piagam penghargaan Penegak Pers Pancasila. “Waktu itu saya hanya ingin menegakkan Pancasila sebagai ideologi bangsa lewat pers. Banyak juga wartawan terseret komunisme; dan mereka sulit dibedakan,” kata Bang Sol yang dekat dengan mantan Menteri Penerangan Harmoko itu.

Berselang tahun, Solfian bersama M. Tahir Rajakapitan, Arsyad Effendy, dan M. Harun Muda Indrajaya pada 1969 menerbitkan mingguan Poesiban. Kemudian Solfian (dengan Poesiban-nya) merger dengan Independen di bawah Yayasan Masa Kini, atas saran PWI/SPS agar kedudukan koran daerah lebih kuat. Yayasan Masa Kini lalu berubah menjadi Yayasan Masa Kini Mandiri dan menerbitkan Lampung Post pada 10 Agustus 1974.

Obsesinya memiliki koran daerah berwawasan nasional tercapai sudah. Solfian bukan tidak menyadari sulitnya menerbitkan surat kabar harian. Modal SIUPP saja tentu tidak cukup; harus didukung redaksi yang ulet dan profesional, serta modal dan manajemen yang kuat.

Tapi, sikapnya sudah bulat. Sampai-sampai ia pernah menjual gelang sang istri agar surat kabarnya bisa naik cetak. Kegigihannya itu membuat Lampung Post tumbuh menjadi koran yang disegani dan akhirnya “dipinang” Surya Persindo (milik Surya Paloh) tahun 1989.

Diikuti Anak

Solfian selain membidani surat kabar, juga aktif mengembangkan organisasi pers. Keinginannya berhimpun di bawah PWI sudah dirintis sejak 1959. Tapi, PWI Cabang Lampung baru terbentuk 1967, walau baru pada 1970 mulai diadakan pembenahan organisasi.

Kepiawaian Bang Sol berorganisasi memang diakui banyak pihak. Buktinya, ia memimpin PWI Lampung empat periode berturut-turut (1974–1990).

Selain pers, ia juga memimpin organisasi sejumlah cabang olahraga di Lampung. Uniknya, meski tidak suka main sepak bola, ia menggilai sepak bola. “Untuk menghibur diri, dia menonton sepak bola,” kata istrinya.

Aktivitasnya mulai turun dalam mengelola media maupun organisasi, tatkala penyakit menggerogoti tubuhnya. Setelah empat tahun sakit-sakitan, Mullah Pers Lampung ini mengembuskan napas terakhir Sabtu, 2 Mei 1998. Namun, dia telah meninggalkan warisan besar bagi Lampung: Kehidupan pilar keempat demokrasi.
Semasa hidup Bang Sol sangat dekat dengan anakanaknya. “Dia memang keras mendidik anak-anak, tapi mereka diberi kebebasan memilih karier,” kata Hj. Lindriyati.

Di luar dugaan, meski tidak pernah diarahkan, kecintaan Bang Sol pada jurnalistik ternyata diikuti empat dari tujuh putra-putrinya: Rio Teguh, Cri Qanon, Jaya, dan Febrina. Benar kata pepatah, “Buah mangga takkan jauh jatuh dari pohonnya.” n

BIODATA
Nama: H. Solfian Akhmad
Lahir: Menggala, 5 Juli 1932
Meninggal: Bandar Lampung, 2 Mei 1998
Istri: Hj. Lindriyati
Ayah: H. Akhmad Nurul Yakin
Ibu: Zainab binti Arsyad
Anak-Anak:
Akhmad Rio Teguh
Bolan Ria Amanda
Cri Qanon Ria Dewi
Jaya Rio Dikari
Elkana Rio Adil
Febrina Ria
Gus Ria Sari

Karier dan Jabatan:
– Juru foto IPHOS, Jakarta
– Wartawan Pemandangan, Jakarta (1955–1959)
– Wartawan Suluh, Jakarta (1959–1960)
– Pendiri Rajabasa Post, Lampung
– Pendiri SKM Poesiban, Lampung (1969)
– Pendiri Lampung Post, Lampung (10 Agustus 1974)
– Ketua PWI Lampung selama empat periode (1974–1990)

Penghargaan:
– Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI (15 Agustus 1981)
– Penegak Pers Indonesia (4 Oktober 1990)
– Perintis Pembinaan Olahraga di Lampung



Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post.Hlm. 91-94.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart