
KAIN tapis, identitas Lampung terkemuka, nyaris hilang era 1970-an. Saat itu, bahan baku tapis seperti benang emas tidak diproduksi. Beruntung, salah satu wakil rakyat kita waktu itu, Ida Mustika Zaini, tergerak “menenun” kembali filosofi dan melacak keberadaan serta keberagaman kain tapis yang sudah menyejarah ratusan tahun.
Sebagai wakil rakyat pada era 1970-an tersebut, Ida dan lembaga DPRD serta pemerintah daerah sering menerima tamu-tamu penting dari luar Lampung, terutama pejabat negara. Beberapa kesempatan acara seremonial semestinya menjadi kesempatan Lampung untuk unjuk eksistensi budaya, termasuk kain tapis.
Pada masa itu, kain tapis sangat sulit didapat. Hampir-hampir tidak ada produksi kain tapis selama beberapa tahun. Masyarakat tidak memproduksi kain tapis karena bahan baku yang dibutuhkan sangat langka, terutama benang emas.
Di masa lampau, kain tapis digunakan untuk acara pernikahan. Seorang gadis yang menikah akan dinilai rajin atau tidak dari bagus atau tidak kain tapis yang dipakainya. Makin bagus kain tapis yang dipakai, berarti ia adalah gadis yang rajin. Sebaliknya, makin jelek kain tapis yang dikenakan, berarti ia adalah gadis pemalas.
“Saya merasa malu sebagai anggota dewan. Sebab, setiap ada kesempatan acara tertentu, kita malah memakai pakaian khas daerah lain. Padahal Lampung punya kain tapis yang tidak kalah indah,” tutur nenek 13 cucu ini.
Melalui bantuan istri gubernur saat itu, Kartini Zainal Abidin Pagar Alam, Ida Mustika mereproduksi motif-motif kain tapis. Kebetulan, Nyonya Gubernur memiliki koleksi 50-an kain tapis tua peninggalan orang tuanya.
Tidak ingin usahanya sia-sia karena salah langkah, wanita energik kelahiran 23 Juni 1939 ini berkonsultasi dengan banyak tokoh adat di seluruh pelosok Lampung demi mengetahui asal-usul kain tapis yang akan direproduksi. Dengan motivasi tinggi, Ida menemui Ibu Bazar (ibunda Zainal Abidin Pagar Alam) di Blambangan Umpu, untuk berkonsultasi. Ida juga mengunjungi Ibu Pangeran Buai Nyurang di Negeri Sakti serta Ibu Ali Tuan Junjungan Sakau dan Ibu Masmu Azis di Bumu Ratu.
Atas restu dan bimbingan para tokoh adat itu, Ida mulai memproduksi kain tapis dengan motif konvensional/klasik. Setelah itu, Ida mulai rajin mengikuti pameran. Ia rutin berpartisipasi dalam Pekan Raya Jakarta (PRJ) setiap tahun. Wanita kelahiran 25 Juni 1939 ini pun merambah mancanegara dengan mengunjungi Beijing, Singapura, Spanyol, Australia, Malaysia, Taiwan, dan negara lainnya.
Dewasa ini, perkembangan motif dan peruntukan kain tapis makin berkembang. Bahkan, kain tapis pun kini sudah sangat dikenal di Indonesia sebagai identitas Lampung. Oleh sebab itu, Ida Mustika Zaini pun sangat bersyukur bahwa usaha kerasnya puluhan tahun yang lalu tidak sia-sia.
Atas usaha dan jerih payahnya mengembalikan keberadaan kain tapis itulah kemudian Ida mendapat penghargaan Upakarti Bidang Kepeloporan dari Presiden Soeharto tahun 1992. Ida dianggap berjasa besar melestarikan dan mengembangkan budaya daerah.
Dalam perkembangannya, pemakai kain tapis juga dapat dikenali dari motifnya. Gadis remaja biasanya memakai tapis bintang perak dengan motif bunga-bunga. Seorang ibu yang belum lama menikah biasanya mengenakan kain tapis dengan kain tapis motif pucuk rebung. Lalu, seorang nenek akan memakai kain tapis dengan motif cucuk pinggir.
Dewasa ini, perkembangan motif dan peruntukan kain tapis makin berkembang. Bahkan, kain tapis pun kini sudah sangat dikenal di Indonesia sebagai ikon Lampung. Sebab itu, istri dari almarhum H.M. Zaini ini pun sangat bersyukur bahwa usaha kerasnya puluhan tahun yang lalu tidak sia-sia.
Pada usia muda, Ida dua kali menjadi wakil rakyat. Pada 1970-an, ia duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung. Ia kembali dipercaya menjadi wakil rakyat periode 1992–1997.
Ida Mustika juga lama menjadi seorang pendidik. Ia pernah mengajar di KPG Kota Palembang pada 1960–1961. Kemudian ia juga menjadi guru SKP Xaverius Palembang pada 1960–1962. Pada 1962 hingga 1971, Ida Mustika mengajar di SKP Tanjungkarang. Dalam kurun waktu 1977–1992, Ida Mustika juga bertugas di Kanwil Depdikbud Lampung sebagai wakil kasi Tenaga Teknis Bidang Pendidikan Masyarakat.
Ida juga sangat berpengalaman di dunia politik bersama Golkar. Kiprah politiknya bersama Golkar dimulai pada 1970. Beragam posisi pernah diduduki di Golkar, mulai ketua Biro Politik hingga penasihat sampai tahun 2005.
Walaupun usianya sudah menginjak angka 69 tahun, Ida Mustika Zaini tetap seorang wanita yang sarat dengan aktivitas setiap harinya. Beberapa jabatan ketua dan penasihat pada beberapa organisasi kini masih dalam tanggung jawabnya. Setiap hari, ia aktif menunaikan tanggung jawab di beberapa tempat.
Ida juga adalah wanita yang tegar membesarkan enam putra-putrinya setelah ditinggal selama-lamanya sang suami tercinta, H. M. Zaini, pada 1982. Di antara keenam anaknya, salah satu putrinya, Tri Eka Sukawati, kini meneruskan usahanya memproduksi kain tapis. n
BIODATA
Nama: Ida Mustika Zaini
Lahir: Ogan Komering Ulu (OKU), 25 Juni 1939
Suami: Alm. H.M. Zaini
Anak:
– M. Lakoni Halim (lahir tahun 1962)
– Dewita Ria (1963)
– Tri Eka Sukawati (1965)
– Ulfah Irastika (1967)
– M. Bahar Halim (1971)
– M. Otto Derajat Halim (1972)
Organisasi:
– PKK Kota Bandar Lampung (Penasihat)
– SLB PKK di Sukarame (Pelaksana Harian)
– Yayasan Gedung Wanita (Pelaksana Harian)
– Federasi Nasional Cacat Mental (Ketua Pengda Lampung)
– Majelis Taklim As Sajdaah (Ketua)
Jabatan:
– Anggota DPRD Provinsi Lampung 1971–1977
– Anggota DPRD Provinsi Lampung 1992–1997
Penghargaan:
– Karya Bakti dalam kepengurusan PKK dari Mendagri Suparjo Rustam, 1984
– Upakarti dalam pembinaan industri kecil kerajinan tapis Lampung dari Presiden RI, 1991
– Satyalancana Karya Satya kelas III dari Presiden RI, 1992
– Piagam Adhi Bakti Utama PKK dari Mendagri Yogi S.M., 1996
– Penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Marzuki Usman pada Seminar dan Pelatihan
Tenun Tradisional, 1999
– Adhi Bakti Utama PKK atas pengabdian dan kesetiaan 25 tahun mengelola PKK dari Mendagri Hari Sabarno, 2002
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 155-157.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky