
Sebagai pemimpin tertinggi peradilan, kompetensi Bagir memang tidak diragukan lagi. Awalnya pria sederhana ini menimba ilmu hukum di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Lulus tahun 1967, dia melanjutkan studi ke Southern Methodist University Law School Dallas, Texas, AS, dan meraih gelar master of comparative law tahun 1981. Gelar doktor hukum tata negara diraih di Unpad tahun 1990. Kemudian dia mengikuti program belajar tentang sistem pemerintahan di The Academy for Educational Development, Washington, AS. Bagir juga pernah mengenyam pendidikan ilmu hukum di Universitas Leiden, Belanda.
Dengan sederet kepakaran di bidang hukum, khususnya ketatanegaraan, Bagir menjalani karier birokrasi (spesialisasi bidang hukum). Tahun 1974–1976 ia menjadi staf ahli Menteri Kehakiman. Sampai 1998, Bagir sebagai staf ahli di departemen tersebut (Departemen Hukum dan Perundang-undangan).
Sebelum menduduki kursi ketua MA, ia menjabat wakil ketua Komisi Ombudsman Nasional. Di dunia akademis dari tahun 2000 sampai sekarang Bagir juga menjabat rektor Universitas Islam Bandung (Unisba).
Bagir juga gemar menulis tentang perkembangan hukum dan persoalannya sejak di bangku kuliah. Kesukaannya itu terus ditekuni meskipun tenaga dan pikirannya banyak terkuras untuk membenahi Mahkamah Agung dan carut-marut persoalan hukum di Indonesia.
Sejalan dengan kepakarannya, buku-buku yang dia tulis umumnya terkait ketatanegaraan, di antaranya DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Hukum Positif Indonesia, Konvensi Ketatanegaraan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Sistem Peradilan Berwibawa, Lembaga Kepresidenan, Teori dan Politik Konstitusi, dan Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.
Membenahi Peradilan
Boleh dikata beban yang dipikul Bagir Manan lebih berat dibanding dengan ketua Mahkamah Agung sebelumnya. Bersamaan dengan tugasnya membenahi institusi peradilan, ia tidak bisa mengelak dari pusaran arus deras reformasi.
Menyadari tidak mungkin “PR” sebanyak itu dibereskan secara simultan, Bagir lalu membuat pilihan-pilihan. Prioritas awal adalah mengawasi peradilan. Lalu, ia memperkuat SDM dan lembaganya.
Kenapa demikian? “Pengadilan di Indonesia terlalu lama telantar dan ditelantarkan,” kata Bagir, pada masa-masa awal ia menjabat sebagai ketua MA.
Ia melihat gedung-gedung peradilan umumnya dibangun tahun 1982. Peralatan kerja dan sarana pendukung juga rata-rata uzur, seperti mesin tik dan lainnya. Bagir lalu menyusun anggaran bagi 700-an pengadilan di Tanah Air. Tujuannya memacu kinerja di peradilan.
Untuk membenahi sistem dan penegakan hukum di Indonesia, Bagir mengakui bukanlah hal mudah. Sebab, sistem hukum komponennya banyak, meliputi pendidikan hukum, profesi bidang hukum, dan lain-lain. Sedangkan penegak hukum meliputi hakim, jaksa, pengacara, dan polisi.
“Berbicara tentang sistem hukum harus memasukkan budaya hukum. Jika ingin membangun sistem hukum modern, semua komponen harus kita bangun dengan baik,” kata lulusan SMA Tanjungkarang tahun 1961 ini.
Aturan hukum pun merupakan sistem hukum. Untuk membangun sistem hukum yang baik maka pendidikan hukum harus baik, mutu undang-undangnya harus bagus, dan penegak hukum harus bekerja dengan baik.
Tapi, pengaruh masyarakat dalam penegakan hukum juga besar. Logikanya, masyarakat makin taat hukum, makin berkuranglah persoalan hukum. Oleh sebab itu, Bagir menilai kunci utama penegakan hukum adalah membangun masyarakat sadar hukum. “Kita bangun masyarakat yang dapat menyelesaikan sengketanya sendiri, jadi tidak usah ke pengadilan.”
Di sisi lain, Bagir sangat kokoh membentengi kesucian lembaganya. Dia menolak keras istilah mafia peradilan. “Mafia peradilan sebagai organized crime tidak ada. Yang ada adalah orang dalam maupun luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan hukum,” kata Bagir manakala ada isu suap di MA dalam kasasi Probosutedjo, 2005. (Pada masa itu, Probosutedjo mengaku telah mengeluarkan Rp16 miliar untuk mengurus perkaranya mulai dari pengadilan negeri hingga MA. Bagir meminta Probo membuktikan itu dan membeberkan kepada siapa saja uang itu ia berikan. “Supaya kami bisa membongkar kasusnya,” tantang Bagir. Faktanya memang tudingan Probo tidak terbuktikan).
Meskipun demikian, bau tidak sedap yang semakin kencang menguap di MA dan lingkungan peradilan lain bukannya dianggap angin lalu oleh Bagir. Ia terus mencari terobosan–terutama langkah preventif–agar para hakim menjaga integritasnya. Ia buat kebijakan: Biaya perkara dibayarkan melalui bank. Tujuannya membatasi hakim berhubungan langsung dengan pihak-pihak yang berperkara agar tidak terjadi hal-hal yang negatif.
Penuh Kontroversi
Dalam dua periode masa jabatannya (2001–2006 dan 2006–sekarang), Bagir Manan sering dicemooh. Berbagai tudingan miring dialamatkan padanya dan lembaga yang ia pimpin. Dari isu suap, mafia peradilan, hingga korupsi biaya perkara.
Berbagai kalangan dan LSM bahkan mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memecat Bagir. Tapi, posisinya tidak goyah. Presiden tetap memercayakan MA ke tangan putra Lampung ini.
Sikap dan keputusan Bagir memang kerap jadi kontroversi. Contoh, saat ia menyatakan mantan Presiden Soeharto–yang divonis dokter mengidap sakit permanen–tidak bisa diadili secara in absensia. Padahal, publik menginginkan Pak Harto terus diadili. Apa kata Bagir? “Persidangan in absensia dapat dilakukan jika terdakwa tidak hadir sebagai bentuk pembangkangan terhadap peradilan.” Sebuah jawaban yang jitu, tidak lari dari koridor hukum, dan sulit dipatahkan.
Keteguhannya menjaga keagungan MA tidak jarang pula membuatnya dituding macam-macam. Ia juga beberapa kali terpaksa berhadapan dengan lembaga negara lainnya. Seperti tahun 2005, Bagir “konflik” dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) karena lima pegawai MA hendak diperiksa atas tuduhan terlibat suap dalam kasasi perkara Probosutedjo.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai hakim agung, tidak terhitung lagi Bagir Manan memimpin sidang kasus-kasus berat, mengadili orang-orang besar yang menjadi sorotan publik. Seperti kasus Tommy Soeharto (dalam pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita), kasus korupsi BLBI, dan pembunuhan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Munir.
Sikapnya memang sukar ditebak dan sering mengejutkan publik. Agustus 2007, Bagir dan Majelis Hakim MA memvonis Time Asia bersalah telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Pak Harto sebagai mantan Presiden RI. Vonis itu kontroversial bukan karena tidak sesuai dengan keinginan publik, tapi juga bertolak belakang dengan putusan PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Tapi, Bagir tetap berkukuh.
Lain halnya dalam kasus Munir. Saat memimpin sidang Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK), Bagir dipuja-puji karena memvonis Pollycarpus Budihari Priyanto hukuman penjara 20 tahun. Padahal, di tingkat kasasi (notabene diadili hakim MA juga), Pollycarpus dinyatakan tidak terbukti membunuh Munir dan hanya dihukum dua tahun penjara.
Kejutan lain dilakukan Bagir saat Majelis Hakim PN Jakarta Barat hanya memvonis terdakwa korupsi Rp1,29 triliun dari Bank Servitia hukuman 1 tahun penjara. Bagir, waktu itu, mengaku ditelepon Jaksa Agung dan mempertanyakan komitmen hakim dalam pemberantasan korupsi. “Saya bilang, ‘Jaksa Anda suruh segera banding’.”
Nyo maksud Bagir? Ia memberi sinyal pada jaksa untuk memperbaiki dakwaan, dan lebih cermat mengajukan kasus korupsi ke persidangan. “Kalau sudah ketahuan korupsi, jangan tuntut hukuman minimalnya dong. Itu korupsi Rp1,29 triliun kan®MDNM¯ terbukti, tapi kok dakwaannya masih bolong. Kita hanya menjalankan undang-undang,” kata dia.
‘Sangat Lampung’
Meskipun puluhan tahun meninggalkan daerah asalnya, Lampung, Bagir Manan masih “sangat Lampung”. Pola makannya tidak berubah dari kecil: Tiga kali sehari dengan menu lengkap. Dan, makan harus sampai kenyang.
Maka, dia tidak perlu lagi camilan atau tetek-bengek penganan apa pun di ruang kerjanya. Dalam posisi perut selalu penuh, sampai waktu makan berikutnya, konsentrasi Bagir penuh untuk pekerjaan.
Dia tidak pernah mengeluh kecapekan, walau dihadapkan dengan segunung pekerjaan dan persoalan; baik selama menjabat ketua Mahkamah Agung (sejak 2001) maupun ketika berjibaku di dunia akademik, sebelumnya.
BIODATA
Nama: Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL.
Lahir: Kalibalangan, Lampung Utara, 6 Oktober 1941
Agama: Islam
Jabatan: Ketua Mahkamah Agung RI
Isteri: Dra. Hj. Komariah
Anak: Tiga orang
Pendidikan:
– 1967, Sarjana Hukum Universitas Padjadjaran
– 1981, Master of Comparative Law, Southern Methodist University Law School Dallas, Texas, AS
– 1990, Doktor Hukum Tata Negara, Unpad, Bandung
– 1993, Program Belajar tentang Sistem Pemerintahan, The Academy for Educational Development, Washington, AS
– 1997–1998, Program Belajar Hukum Indonesia, Universitas Leiden, Belanda
Pekerjaan:
– 1968–1971, Anggota DPRD Kodya Bandung
– 1974–1976, Staf Ahli Menteri Kehakiman
– 1990–1995, Direktur Perundang-undangan Departemen Kehakiman
– 1995–1998, Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman
– 2000–kini, Rektor Unisba, Bandung
– 2001–kini, Ketua Mahkamah Agung
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 170-174.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky