Bambang Eka Wijaya (1946-…): Palagan Pemikiran Tidak Kenal Finis

KOLOMNYA hadir tiap hari, sepanjang tahun. Pada 20 Mei 2008 sudah menginjak satu dasawarsa. Buras, himpunan tulisan yang dibuat Bambang Eka Wijaya, Pemimpin Umum Lampung Post, merupakan produk jurnalistik prima. Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) menganugerahinya penghargaan sebagai kolom yang ditulis dengan rentang paling panjang dan setiap hari.

Prima, karena dihasilkan dari pergulatan pemikiran yang merangkai kejadian paling aktual, menautkannya dengan analogi-analogi, dan menuangkannya secara berkelas.

Bambang, kelahiran Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, 6 Oktober 1946, memelihara ketertarikan pada banyak bidang. Dia akrab dengan teori-teori besar, dengan grand naratives, tapi juga cinta detail. “Produknya”, dia senantiasa menghadirkan butir-butir pemikirannya yang komprehensif dan integral.

Kelebihan Buras dibanding dengan kolom-kolom lain, di media massa mana pun, ada pada keterampilan penulisan yang advance. Kata-kata dan kalimat-kalimat digerakkan dengan berbagai perumpamaan yang tidak pernah membosankan; karena sering tidak terduga.

Buras menyimpan ketangkasan yang menyatu dengan seluruh ide atau tulisan; dan sangat terasa karena tulisan Buras memang pendek. Inilah mungkin letak mutu prosa yang baik: Ide tidak membebani gaya dan gaya tidak keluar dari ide.

Buras setidaknya bisa menginspirasi tentang masih diperlukannya suatu apresiasi yang lebih baik tentang tulisan yang disebut “kolom” di media massa, apalagi dengan “gen” humor; suatu teknik dengan tingkat kesulitan tinggi.

Nuansa humor bukan saja bisa “melunakkan” persoalan, tapi juga mampu memberi perspektif melihat suatu persoalan, meninjau sisi lain suatu peristiwa, memperbesar body of knowledge, memperkuat alat analisis, menggiring terjadinya interpretation of meaning, bahkan bisa pula membantu kita melakukan self reflection.

Buras, dengan demikian, memperkaya hari-hari pembaca yang lelah dilimbur puluhan–bahkan ratusan–berita keras, kolom yang serius, atau tulisan yang membikin kening berkerut. Buras, dengan segala keterampilan pembuatannya, mau tidak mau menyatroni kesadaran kita tentang bagaimana hal-hal berat sesungguhnya bisa diolah dengan ringan.

Kemampuan Bambang, yang jarang dimiliki jurnalis lain, adalah kepiawaiannya “memvisualkan” suatu keadaan. Terkadang ada suatu pesan yang tidak dapat dikatakan ataupun dibahasakan kecuali dengan menghadirkan sesuatu yang dapat menjelaskan apa yang hendak dikatakan. Itu sebabnya bahasa biasa terasa tak cukup; perlu visualisasi untuk mengungkapkannya.

Tidak berbeda dengan rumus Phytagoras, yang divisualkan dengan gambar segitiga. Tanpa itu, kita sulit mengekspresikan rumus Phytagoras dalam kehidupan sehari-hari karena lautan angka yang bergelimang di mana-mana.

Begitupun contoh dalam menggambarkan kata-kata. Pemahamannya bukan seperti ilmu linguistik yang lebih berakar pada unsur gramatikal atau fonem, melainkan unsur semantiknya (membahas arti atau makna bahasa). Untuk itu, bahasa tersebut menyimpan potensi filosofis. Keberhasilan memaknainya®MDNM¯lah yang memberikan sebuah pengertian.

Visualisasi bahasa-lugas memang telah lama menjadi idola. Masyarakat yang teraruskan pada pola pemikiran praktis akan sangat terbantu mencari format masalah dengan analogisasi yang tepat. Bukankah karena gagasan manusia ada yang sederhana dan banyak juga yang kompleks?

Ada tawaran penganalogian yang sederhana dalam Buras terhadap ide-ide kompleks. Tentu saja dengan bahasanya sendiri. Ide kompleks itu tidak hanya dari sisi kesulitan menyampaikan sesuatu, tapi juga masalah etis atau tidak etis (yang tak mungkin diungkapkan dengan gambar). Misalnya, analog seksualitas manusia dewasa dengan kelakuan dunia politik, hipokritis moral, dan penghargaan nilai-nilai. Sehingga, secara teoretis, sebuah gambar porno pun bisa dibuat “lain”–halus, santun, bahkan menggelikan.

Ribuan Buras pernah dibuat, termasuk yang tiap hari mengisi Lampung Post sejak 1998 hingga hari ini, memetik ilham dari kejadian sehari-hari yang tertuang di koran. Buras, yang secara rutin dibuat Bambang Eka Wijaya untuk menemani pembaca membuka pagi, menciptakan “ketergantungan” terhadap apa yang paling penting hari itu atau apa yang digarisbawahi dari peristiwa kemarin yang gemanya berlanjut hari ini dan mungkin esok.

Buras, dengan demikian, biasa diperlakukan sebagai makanan pembuka sebelum pembaca mengunyah menu utama: Seluruh berita yang termuat di Lampung Post.

Mengisi Teko

Mengenai kontinuitas gagasan dan materi tulisan aktualnya untuk setiap hari sepanjang dekade itu, setiap ditanya orang bagaimana ia bisa tidak kekeringan ide, Bambang menjawab, “Menulis itu menuangkan isi pikiran.” Tabung tempat isi pikiran itu seperti teko, kalau tidak diisi tidak ada yang dituangkan.
Untuk itu, ia mengisinya dengan mendisiplinkan diri mambaca sekurangnya dua jam sehari. Ditambah mencerap situasi masyarakat dari lingkungan terdekat hingga skala bangsa dan antarbangsa lewat berbagai wahana–media cetak, televisi, internet.

“Prinsipnya, membaca dan mencerap banyak, menulis sedikit!” Itu ajaran Mochtar Lubis yang dipetik dari buku teksnya tentang jurnalistik. Selalu terjadi pemadatan. Masalah berskala luas bisa diartikulasikan dalam tulisan yang ringkas, itu membantu pembaca untuk cepat menguasai inti masalah. Sekaligus, membuat jurnalis selalu lebih kaya informasi dengan lebih banyak tersisa isi tabung “tekonya”.

Pengisian “teko” terutama dari membaca, meski ini pekerjaan melelahkan hingga mudah tergoda kebosanan. Hanya semangat kerja keras yang dimilikinya sejak kecil sebagai keluarga kuli kontrak dari Jawa ke Tanah Deli, yang sampai tamat SD tinggal di bedeng perkebunan Simalungun, ia bisa menaklukkan kebosanan itu.
Ayahnya, Panggih, dan ibunya Tukiyem, 1937 dari Dusun Kebondalem, Kelurahan Madurejo, Kecamatan Prambanan, Yogyakarata, berangkat jadi kuli kontrak di Perkebunan Bahlias–dekat Perdagangan, Simalungun– milik maskapai Horrison & Crossfield, Inggris.

Pada 1940 masa kontrak tiga tahun habis. Perusahaan tidak mampu mengembalikan ke Jawa karena Eropa dilanda Perang Dunia II, keluarga ini pindah ke Pondok Seng, Kerasaan, milik maskapai Sipef Anglo Dutch, Inggris-Belgia. Bambang lahir di situ sebelum Pondok Seng dibakar laskar rakyat saat Agresi I Belanda.
Masa perang kemerdekaan itu keluarganya mengungsi ke Desa Bandar Siantar, Kecamatan Siantar, sampai Penyerahan Kedaulatan dan kembali bekerja di Afdeling VII Perkebunan Bukit Maraja, juga milik Sipef. Di sini Bambang menamatkan sekolah di SR-VI Bukit Maraja. Lalu sambil jualan koran, ia belajar di SMP Teladan, Pekan Bangun (Simpang Bah Jambi), dan SMA di Pematang Siantar.

Belajar menulis sekaligus sebagai inspirator pertama baginya adalah guru agamanya di SR dan SMP, Mohammad Is Damanik–yang menulis riwayat Nabi Muhammad saw. dalam bentuk syair. Lalu guru agamanya di masa SMA, Abdul Khalik Bakran, ahli tamsil–yang mengental jadi daya kreasi Bambang dalam bermetapora dan analogi. Dengan setiap hari melumat bacaan isi koran yang dijualnya, sejak SMA sudah berani mengirim tulisan ke koran mingguan di Medan.

Hingga setamat SMA, Bambang diterima belajar kerja di Waspada Teruna Group (Sketsa dan Warta Teruna) sebagai korektor, merangkap reporter, merangkap jual koran mingguannya setiap terbit, dengan dibimbing menulis oleh Nazar Effendy Erde–pemimpin redaksinya.

Lalu bergabung ke harian Sinar Indonesia Baru (SIB) saat terbit 9 Mei 1970, bersama Nazar Effendy Erde, M. Zaki Abdullah, Rifyan Ganie, dan A.F. Tahir Syam. Kariernya SIB sampai redaktur pelaksana (1985), lalu pindah sebagai redaktur pelaksana harian Prioritas, Jakarta, milik Surya Paloh.

Tahun 1988 ia kembali lagi ke Medan menjadi pemimpin redaksi mingguan Bintang Sport&Film. Awal 1990, Bambang diajak Surya lagi ke Media Indonesia sebagai redaktur khusus, dan akhirnya sejak 1 Juni 1993 menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi harian Lampung Post. n

BIODATA


Nama: Bambang Eka Wijaya
Lahir: Pondok Seng, Kerasaan (Kabupaten Simalungun), 6 Oktober 1946
Ayah: Panggih
Ibu: Tukiyem
Istri: Anisyah
Anak:
1. Fikri Abdillah
2. Dede Safara
3. Wulan Anggraini
4. Komariah
5. Handayani

Pendidikan:
– Sekolah Rakyat VI Bukit Maraja, Kabupaten Simalungun, Sumut
– SMP Teladan, Pekan Bangun (Simpang Bah Jambi), Kabupaten Simalungun
– SMA Pematang Siantar, Kab. Simalungun

Pekerjaan:
– Waspada Teruna Group (Sektsa dan Teruna), Medan
– Harian Sinar Indonesia Baru, Medan, 1970–1985
– Redaktur Pelaksana Harian Prioritas, Jakarta, 1985–1988
– Pemimpin Redaksi Bintang Sport & Film, Medan, 1988–1990
– Redaktur Khusus Media Indonesia, 1990–1993
– Pemimpin Umum Lampung Post, Lampung, 1993–sekarang
– Anggota Dewan Redaksi Media Group, 2004–sekarang

Organisasi:
– Ketua Dewan Kehormatan PWI Lampung
– Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Lampung
– Dewan Pakar Himpunan Dosen Seluruh Indonesia (HIDSI) Lampung
– Dewan Penasihat Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Lampung
– Dewan Penasihat KAMMI Lampung
– Dewan Penasihat SOKSI Bandar Lampung
– Anggota Dewan Pembina Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Jakarta

Sumber: 
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 201-205.

Biodata Viral
Terviral
Logo
Shopping cart