
DUNIA koreografi, tari, dan musik tradisi Lampung tidak akan lengkap tanpa menyebut Raden Hari Widianto Jayaningrat. Lelaki kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 3 Januari 1959 ini tercatat sebagai seorang seniman tradisi yang membesarkan seni budaya Lampung.
Sebagai seniman, kerja Hari tidak cukup berbekal ide, gagasan atau imajinasi. Seni tari membutuhkan riset. Dan ini yang dilakukan Hari Jayaningrat tiap mencipta tari, musik atau kolaborasi tari-musik tradisi Lampung.
Kesadaran berkarya seperti ini yang mendasari Hari Jayaningrat mencipta. Dengan kesadaran ini, sejumlah sendratari yang mengangkat kisah kepahlawanan Radin Intan, Minak Patih Prajurit, maupun yang berangkat dari tradisi dikemas Hari menjadi koreografi yang membumi.
“Saya tidak bisa mencipta tari hanya berangkat dari ide atau sekadar melihat tarian tradisi. Saya harus turun langsung ke daerah asal tarian itu,” ujarnya medio Juni lalu kepada Lampung Post.
Pesan Bagong Kussudiardja, maestro tari yang menjadi guru Hari di Yogyakarta, juga menjadi penyemangat ia berkarya. “Jika kau ingin besar, jujur dan terbukalah pada diri sendiri.” Pesan Bagong Kussudiardja itu menjadi moralitas berkarya Hari.
Hari menganggap pesan guru tarinya itu kontekstual dengan pepatah lawas: Di mana bumi di pijak, di situlah langit di junjung. “Sekarang saya di Lampung. Tentu, tidak ada alasan bagi saya mengangkat, mengeksplorasi, tradisi lain di luar Lampung. Tari Jawa sudah banyak yang mengangkat, begitu juga dengan Bali atau Minang. Saya ingin mengangkat seni budaya Lampung,” ujarnya.
Belum setahun masuk Lampung–persisnya tahun 1985 ia ke Bandar Lampung–Hari menciptakan tari masal sendratari Radin Intan. Sendratari itu dikreasi Hari untuk peresmian Tugu Radin Intan di Hajimena.
Setahun kemudian, Hari membuat sendratari Radin Intan pada acara manunggal ABRI di Bandar Lampung tahun 1986. Ketiga, sendratari untuk HUT RI di Stadion Pahoman, Bandar Lampung, tahun 1987. Keempat, tari massal Radin Intan untuk MTQ Nasional XV di Bandar Lampung tahun 1988.
Di luar sendratari Radin Intan, Hari juga mencipta tari massal untuk pembukaan Kabupaten Lampung Barat tahun 1991. Sendratari Menak Kemalo Bumi yang diilhami dari kehidupan Minak Patih Prajurit di Pagardewa juga lahir dari kreasi Hari. Tarian itu dipentaskan di Taman Mii Indonesia Indonesia (TMII) tahun 1999.
Ini belum termasuk puluhan kreasi tari, tari massal, tari kontemporer, dan sendratari berbasis kultur Jawa seperti tari Diponegoro dalam rangka peresmian Kodam VII Diponegoro (1984) dan tari Jemparing Gagah FFI di Yogyakarta tahun 1984.
Di bidang musik, Hari juga mencipta kreasi musik. Bedayu Muli Cindur dipentaskan di Taman Ismail Marzuki tahun 1989 dan Dzikir Butabuh untuk Festival Istiqlal II tahun 1991.
Pergaulan Hari di pentas seni serumpun maupun luar negeri juga luas. Pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung ini ikut misi kesenian Indonesia ke Belanda dan Vatikan tahun 1977. Lalu, tahun 1982, ia ikut misi kesenian Indonesia ke ASEAN. Dari 1992 sampai 2005, Hari menjalani misi kesenian Lampung ke Eropa, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Malaysia.
Bisa dimaklumi jika Hari punya daya kreasi seni yang kuat. Selain pernah belajar di padepokan seni Bagong Kussudiarja, Hari juga menekuni seni tradisi di Yayasan Pendidikan Seni Surakarta dan Pusat Pendidikan Tari Bali Saraswati, Gianyar (Bali). Di bidang koreografi, Hari belajar pada Didik Nini Thowok–salah satu koreografi kontemporer Indonesia–di Pusat Pendidikan Tari Natya Laskita Yogyakarta.
Bergumul dengan Tradisi
Hari Jayaningrat memang bukan sebatas mencipta tari tradisi. Suami Nyi Ayu Zunaidah ini juga “orang luar”–dalam pengertian antropologis–yang menyelami kehidupan “orang dalam”. Tari tradisi tanpa pemahaman partisipatif, begitu kata Hari, tidak akan bertahan. Karena tari tradisi tanpa keterlibatan dengan tatanan setempat hanya menghadirkan kegenitan budaya. Bukan eksplorasi kultural yang built in.
Ketika mencipta sendratari Menak Kemala Bumi, Hari terjun ke Pagardewa untuk menggali dan menyelami tatanan budaya tempat lahir Minak Patih Prajurit. Ini mesti dilakukan karena ia akan mencipta tarian yang terilhami dari kehidupan tokoh tersebut.
“Oleh tetua kampung, saya diminta ziarah dahulu ke makam Minak Patih Prajurit. Ya sudah, saya berangkat. Bismillah saja, saya doakan beliau karena saya akan membuat tarian dari tradisi di sini,” ujar orang dalam keluarga Bagong Kussudiardja ini.
Begitu juga ketika mencipta tari Hadrah. Hari pun berangkat ke Lemong, kampung tempat asal tari yang syarat gerakan-gerakan silat tradisi itu. Ia menggali kisah, melihat kehidupan masyarakat, dan meresapi nilai budaya asal Hadrah. “Tanpa keterlibatan itu, kita sulit mencipta tari tradisi yang kuat,” kata Hari, memberi makna keberadaannya di tengah kampung-kampung tradisi.
Hari Jayaningrat memang khas seniman organik. Bukan hanya untuk kepentingan berkarya ia menceburkan diri dengan tradisi, Hari juga melakukan penguatan tradisi dengan hadir sebagai instruktur tari di kabupaten-kota di provinsi ini.
“Saya ingin melihat budaya Lampung menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” ujar Hari seperti menyampaikan kredo berkeseniannya. n
BIODATA
Nama: Raden Hari Widianto Jayaningrat
Lahir: Purwokerto, 3 Januari 1959
Pekerjaan: PNS Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung
Alamat: Jalan Laksamana MAlahayati, Gang Masjid IV/52 D,
Telukbetung
Istri: Nyi Ayu Zunaidah
Anak:
1. Raden Evan Gian Amar Putra
2. Raden Gayuh Refri Chawal
3. Roro Gendis Putri Kinasih
Pendidikan formal:
– SD–SMA di Yogyakarta
– S-1 Fisipol Univesitas Saburai
– Program Pascasarjana MM FE Unila
Pendidikan nonformal:
– Padepokan Bagong Kussudiardja, Yogyakarta
– Pusat Pendidikan Tari Bali Saraswati, Gianyar
– Pusat Pendidikan Tari Natya Laskita Didik Nini Thowok
Sendratari (Tradisi Lampung)
– Sendratari Radin Intan (1985, 1986, 1987, 1988)
– Tari Massal Pembukaan Lampung Barat (1991)
– Sendratari Menak Kemala Bumi (1999)
– Sendratari Nyesui Tappak (2001)
– Sendratari Putri Selinggan Alam (2002)
– Sendratari Raja Banitting (2003)
Penata Musik
– Bedayu Muli Cindur (1989)
– Dzikir Butabuh (1991)
Sumber:
Heri Wardoyo, dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post. Hlm. 335-337.
Bagikan ke Teman & Pengikut:
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
- Klik untuk berbagi di X(Membuka di jendela yang baru) X
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
- Klik untuk berbagi pada Reddit(Membuka di jendela yang baru) Reddit
- Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di jendela yang baru) Tumblr
- Klik untuk berbagi pada Pinterest(Membuka di jendela yang baru) Pinterest
- Klik untuk berbagi via Pocket(Membuka di jendela yang baru) Pocket
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
- Klik untuk berbagi di Utas(Membuka di jendela yang baru) Utas
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
- Klik untuk membagikannya ke Mastodon(Membuka di jendela yang baru) Mastodon
- Klik untuk berbagi di Nextdoor(Membuka di jendela yang baru) Nextdoor
- Klik untuk berbagi di Bluesky(Membuka di jendela yang baru) Bluesky